Tidak terasa, catatan Kalteng Pos menapaktilasi jejak perjuangan tokoh Islam di tanah Barito memasuki edisi terakhir. Diawali dengan syiar Islam ulama Ya’far Siddik di Kampung Santalar, dan ditutup dengan ulasan terkait proses pengusulan Panglima Batur sebagai pahlawan nasional.
Keturunan Panglima Batur yang masih hidup hingga kini yakni Muhammad Yusuf. Sebagai bentuk penghargaan pemerintah atas kontribusi sang panglima yang telah memimpin perjuangan masyarakat melawan penjajah hingga wafat, keturunannya yang selama ini menetap di Anjir Barunai, direlokasi ke Muara Teweh.
Sekitar 116 tahun silam, Panglima Batur dijatuhi hukuman gantung oleh pihak Belanda. Panglima Batur dinyatakan sebagai pemberontak paling dicari kala itu. Pejuang di tanah Barito ini ditangkap ketika memenuhi panggilan penjajah untuk berunding di Muara Teweh.  Â
Panglima Batur memimpin pasukan Tanah Pagustian menyerang Benteng Rakit Montallat. Dalam penyerangan itu, Panglima Batur dibantu Panglima Kumis Baja, Haji Muhammad Amin, dan rakyat Montallat. Benteng dikepung selama empat hari empat malam.
Panglima Batur bin Barui merupakan putra dusun yang lahir pada tahun 1852 di Desa Buntok Kecil, Kabupaten Barito Utara (Batara). Batur beragama Islam dan sangat taat menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Ayahanda bernama Barui, dari Suku Bakumpai, keturunan orang hulu Benteng Bahandang Balau.
Sekitar empat tahun lamanya, terhitung sejak 1902 hingga 1906, Panglima Batur mencatatkan sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda. Ia meneruskan perjuangan Pangeran Antasari, Temanggung Surapati, dan Sultan Muhammad Seman.
Sultan Muhammad Seman tak hanya dikenal sebagai pahlawan yang mempertahankan tanah Kalimantan dari penjajah Belanda, tetapi juga pahlawan agama yang mempertahankan agama Islam di daerah aliran sungai (DAS) Barito pada abad ke-18.
Perjuangan menggempur para serdadu Belanda di tanah Barito terus berlanjut. Setelah Pangeran Antasari dan pejuang lainnya wafat, perlawanan dilanjutkan oleh tokoh Islam berdarah Dayak, Muhammad Seman. Putra dari Pangeran Antasari ini bersama rakyat terus bertempur dengan pasukan penjajah.Â
Nama Panglima Batur, Tumenggung Mangkusari, dan Tumenggung Surapati merupakan sederet nama pejuang yang memimpin pertempuran melawan serdadu Belanda saat Perang Barito. Selain nama-nama itu, ternyata ada juga pejuang perempuan yang dengan gagah berani ikut berperang melawan penjajah. Salah satunya adalah Ratu Zaleha. Â Â Â
Datu Malik bin Karma dan Datu Sura bin Karma atau yang dikenal dengan Datu Mangkomot memiliki peran besar dalam syiar Islam di tanah Barito sekitar abad ke-18. Sampai saat ini, kecintaan masyarakat Barito terhadap Datu Mangkomot tidak pernah pudar. Makam keduanya yang terletak di Desa Benangin I selalu ramai dikunjungi peziarah.