Peralatan pelengkap di Masjid Kiai Gede memiliki banyak keunikan yang kaya akan nilai sejarah. Konstruksi bangunan yang didominasi kayu ulin tidak hanya melekat pada tiang, lantai, dinding, maupun atap, tapi juga beduk masjid dan perlengkapan lainnya. Juga terbuat dari bahan yang dikenal dengan kayu besi ini.
RUSLAN, Pangkalan Bun
BANYAK faktor yang menjadi kesuksesan ulama dalam menyebarkan Islam. Selain karena metode dakwah yang digunakan, kesuksesan juga tidak terlepas dari alat yang digunakan untuk menunjang dakwah dalam menyebarluaskan ajaran Islam. Di antaranya keberadaan mimbar di Masjid Kiai Gede yang hingga kini masih terawat dengan baik.
Salah satu yang menjadi faktor pentingnya berkembangnya ajaran Islam di Kotawaringin adalah metode dakwah yang diyakini mengunakan gaya berdakwah para sunan dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Selain itu, keberadaan masjid dan fasilitas pendukung lainnya menjadi faktor penting berkembangnya ajaran Islam di Kotawaringin hingga menyebar hampir ke suluruh wilayah Kalteng yang saat itu masih didominasi penganut agama tertentu. Salah satu fasilitas masjid yang digunakan dalam syiar Islam adalah mimbar masjid yang digunakan untuk berdakwah pada ibadah salat Jumat.
Tak heran keberadaan mimbar menjadi hal yang penting dan mutlak dalam sejarah perkembangan ajaran Islam di kabupaten berjuluk Bumi Marunting Batu Aji ini. Keberadaan mimbar dan beduk di Masjid Kiai Gede menjadi bukti kuat sekaligus menjadi saksi bisu sejarah perkembangan Islam di tanah Borneo.
Kala itu keberadaan mimbar dan beduk di masjid bukan hanya sebagai fasilitas pelengkap semata. Namun memiliki pesan penting, mengingat wilayah Kesultanan Kutaringin yang berpusat di Kotawaringin mencakup hampir separuh wilayah Kalteng. Saat itu merupakan satu-satunya kerajaan Islam terbesar di Bumi Tambun Bungai.
Seperti mimbar pada umumnya, mimbar yang terdapat di Masjid Kiai Gede terbuat dari kayu. Khusus di wilayah Kalimantan, kebanyakan mimbar dibuat dari kayu ulin yang merupakan kayu khas Kalimantan. Mimbar Masjid Kiai Gede sendiri berbetuk kotak memanjang dengan penutup pada sisi kiri, kanan, serta belakang.
Mimbar dilengkapi dengan beberapa anak tangga. Hal ini sengaja dibuat agar posisi orang yang berdiri di mimbar lebih tinggi dari jemaah yang hadir, sehingga lebih leluasa saat melakukan tausiah atau ceramah dari depan masjid dan terlihat oleh semua jemaah hingga barisan bagian belakang.
“Mimbar masjid ini salah satu bukti sejarah perkembangan Islam di Kotawaringin, yang sampai sekarang masih berfungsi dan sering digunakan untuk kegiatan ibadah, terutama saat khotbah Jumat,” kata Ketua Pengurus Masjid Kiai Gede, Muhammad Padli.
Akan tetapi, Muhammad Padli mengaku tidak tahu persis sejak kapan mimbar yang terbuat dari kayu ulin tersebut mulai digunakan. Hanya diketahui bahwa masjid tersebut diresmikan pada tahun 1728 Masehi dengan nama Masjid Jami Kutarangin. Masjid Kiai Gede terletak di pinggir Sungai Lamandau, tepatnya di Jalan Merdeka, Kelurahan Kotawaringin Hulu, Kecamatan Kotawaringin Lama. Hanya berjarak 100 meter dari Astana Al Nusari milik Kesultanan Kutaringin kala itu. (*/bersambung/ce/ala/ami)