Site icon KaltengPos

Berawal dari TPA, Kini Menjadi Gontornya Kalteng

TAHFIDZ QURAN: KH Muchamad Wildanul Munir (kiri depan) saat membersamai program Tahfidz Quran Santri, usai melaksanakan salat Ashar berjemaah, Selasa (25/10). FOTO: ROHANSYAH AHAN/KALTENG POS

Sederetan nama besar seperti Prof Dr KH Hasyim Muzadi, Prof Din Syamsuddin, Prof Nurcholis Madjid, Dr Hidayat Nur Wahid, dan Emha Ainun Nadjib merupakan alumni Pondok Modern Darussalam Gontor atau lebih dikenal dengan Pondok Modern Gontor. Tak perlu jauh ke tanah Jawa, di Kalimantan Tengah (Kalteng) pun sudah ada Pondok Gontor-nya.

ROHANSYAH AHAN, Palangka Raya

HUJAN turun dengan derasnya saat penulis memulai perbincangan dengan Pimpinan Pondok Modern Al Mujahidul Amin, KH Muchamad Wildanul Munir, Selasa sore (25/10).

Gemuruh hujan pada atap seng di pendopo pondok menemani Kyai Wildan memulai cerita awal berdirinya pondok, yang sejatinya sudah berusia sembilan tahun ini. Ya, sejak akhir 2013, tepatnya Oktober 2013 sudah diikrarkan akan dibangun sebuah pondok di Jalan RTA Milono Km 9,5, Kelurahan Kereng Bangkirai, Kecamatan Sebangau, Kota Palangka Raya ini.

“Sejak saat itu namanya sudah ada, Pondok Modern Al Mujahidul Amin, meski secara fisik belum ada,” tutur Kyai Wildan.

Karena minimnya sumber daya manusia (SDM) saat itu, mereka pun membangun pondok secara bertahap. Mulai dari Taman Pendidikan Al-Quran (TPA), berlanjut ke SDIT, hingga akhirnya pada 2019 mereka kedatangan dua orang pimpinan Pondok Medern Gontor. Diawali dengan Prof Dr KH Amal Fathullah Zarkasyi MA, disusul KH Hasan Abdullah Sahal.

“Kyai Amal menyebut tidak ada pilihan kecuali mengikuti Gontor. Kemudian pada 2020, bismillah kita mewujudkan Pondok Modern Al Mujahidul Amin secara keseluruhan, dimulai dari satu orang santri mukim, lalu terus berkembang hingga sekarang,” ucapnya.

Kyai Wildan lalu menjelaskan, Pondok Modern Al Mujahidul Amin merupakan Pondok Alumni Gontor yang penerapan kurikulum pengajarannya sama seperti Pondok Modern Gontor.

“Kami menggunakan kurikulum Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI), kurikulum itu terdiri dari ilmu pengetahuan umum 100 persen dan ilmu pengetahuan agama 100 persen, artinya antara ilmu agama dan ilmu umum tidak dapat dipisahkan, semuanya ilmu Islam, semua bersumber dari Allah dengan segala ciptaan-Nya atau segala sesuatu yang lahir dari ciptaan-Nya,” sebutnya.

Secara mendasar, tujuan pengajaran kedua ilmu tersebut untuk membekali santri dengan dasar-dasar ilmu menuju kesempurnaan (insan kamil). Kurikulum KMI tidak terbatas pada pelajaran di kelas saja, melainkan keseluruhan kegiatan di dalam dan di luar kelas. Suatu proses pendidikan yang tak terpisahkan.

KMI merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program akademis bagi santri Gontor pada jenjang pendidikan menengah, dengan masa belajar enam tahun. Jenjang itu setingkat Tsanawiyah dan Aliyah.

“Sama seperti Gontor, kami di sini memiliki visi sebagai lembaga pendidikan pencetak kader-kader pemimpin umat, menjadi tempat ibadah talab al-ilmi, dan menjadi sumber pengetahuan Islam, bahasa Al-Quran, dan ilmu pengetahuan umum, dengan tetap berjiwa pesantren,” terangnya.

Dengan misi mendidik dan mengembangkan generasi mukmin-muslim yang berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas, serta berkhidmat kepada masyarakat. Mengajarkan ilmu pengetahuan agama dan umum secara seimbang menuju terbentuknya ulama yang intelek.

Diceritakan Kyai Wildan, tiap hari para santri memulai aktivitas sejak subuh, tepatnya pukul 03.30 WIB dini hari, dengan melaksanakan salat Qiyamul Lail, Tahajud, taubat, dan lainnya. Dilanjutkan dengan salat Subuh berjamaah, lalu melaksanakan hafalan Quran hingga pukul 05.45 WIB. Kemudian ditutup dengan salat Syuruq dan pembagian kosa kata bahasa Arab.

“Setelahnya mereka persiapan mandi, sarapan, dan berangkat masuk kelas hingga Dzuhur. Setelah Dzuhur mereka makan siang, lalu kembali ke kelas sampai sebelum Ashar,” tuturnya.

Setelah Ashar, dilanjutkan murojaah hafalan Al-Qur,an lagi. “Kita bukan pondok tahfiz, tapi tetap memiliki program hafalan Quran bagi santri kita, di mana satu semesternya kami targetkan santri hafal 1 juz Mutqin, sehingga saat lulus nanti minimal bisa hapal 10 juz Al-Quran Mutqin,” terangnya.

Sore harinya santri dipersilakan bebas beraktivitas, ekstrakulikuler, olahraga, mandi, cuci, dan lainnya. “Dan menjelang magrib, mereka wajib menyelesaikan 1 day 1 juz,” tuturnya.

Setelah salat Isa, dilanjutkan program tahfiz Quran hingga pukul 20.15 WIB. Kemudian lanjut belajar di kelas untuk evaluasi pelajaran hari itu hingga pukul 21.30 WIB, lalu ditutup dengan doa bersama dan persiapan tidur.

“Prinsipnya santri di pondok betul-betul mendapatkan ilmu pengetahuan umum 100 persen dan ilmu pengetahuan agama 100 persen. Sehingga jauh dari aktivitas umumnya anak-anak luar yang sibuk dengan gadget, televisi, dan berbagai pergaulan bebas lain,” terangnya.

“Jadi mereka diharapkan bisa betul-betul menjadi kader-kader terbaik pemimpin umat,” tutupnya.

Alhamdulillah hujan reda dan azan Ashar berkumandang. Kami pun mengakhiri pembincangan, bersiap melaksanakan Salat Ashar bersama puluhan santri dan para ustaz dan ustazah. (*/ce/ala)

Exit mobile version