Site icon KaltengPos

Dengar Suara Orang Memanggil, Tidur di Pohon saat Malam Hari

Ramang Sahdi menceritakan pengalamannya selama tersesat di hutan saat mencari kayu di wilayah Kelurahan Petuk Katimpun. AKHMAD DHANI/KALTENG POS

 

Ramang Sahdi atau yang akrab disapa Abah Dipo tak terlihat batang hidungnya usai mencari kayu. Rabu pagi (16/11/2022) merupakan hari terakhir warga melihat pria bertubuh kurus itu. Kemudian lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai pencari kayu itu dinyatakan hilang. Warga di Kelurahan Petuk Katimpun gempar. Setelah empat hari menghilang di hutan, pria 43 tahun tersebut ditemukan. Berikut ceritanya selama tersesat di hutan. 

 AKHMAD DHANI, Palangka Raya

RABU pagi (16/11/2022) langit terlihat mendung. Di Kelurahan Katimpun Bawah, kompleks tempat tinggalnya, dengan penuh keyakinan Ramang Sahdi menghidupkan mesin kelotok yang mengantarnya menuju hutan Katimpun untuk mencari kayu. Memang itulah pekerjaan sehari-hari ayah beranak dua itu. Waktu tempuhnya sekitar satu jam. Sahdi berangkat pagi itu sekitar pukul 07.00 WIB.

Kendati indra pendengarannya bermasalah, tapi tak menghalangi langkah pria itu untuk bekerja sendiri di hutan mencari kayu. Sudah biasa bagi pria berusia 43 tahun itu.

“Itu pekerjaan sehari-hari saya, jadi sudah biasa, kalau air sedang pasang, saya ke hutan untuk mencari kayu,” tutur Sahdi saat ditemui Kalteng Pos, Minggu (27/11/2022).

Selang beberapa menit perjalanan, tutur Sahdi melanjutkan cerita, ia menyusuri rintis atau jalur setapak (hutan rawa di sungai yang ada jalur kecil khusus untuk kelotok). Jalur yang biasa dilewati ketika banjir. Berbeda dengan banjir sebelumnya, kali ini rintis yang dilaluinya rimbun. Jalur menuju lokasi tujuan hampir tertutup. Sahdi menggunakan parang yang dibawanya untuk membuka kembali jalur.

 

Satu per satu rimbun ditebas. Jalan kecil pun tercipta. Kelotok yang membawa tubuh kurusnya bergerak pelan. Meski keraguan memenuhi pikiran Sahdi, tapi ia bisa sampai ke lokasi tujuan. Lalu mengumpulkan 10 potong kayu untuk dibawa pulang. Sampai akhirnya jarum jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, Sahdi memutuskan untuk pulang. Nahas, jalan rintis atau jalan setapak yang sebelumnya sudah ia bersihkan, tidak bisa ditemukan.

“Waktu itu saya jam masih pukul dua siang, kataku dalam hati, ini masih sempat (pulang), tanpa ragu saya memutar arah perahu, lalu menghidupkan mesin, tahu-tahunya setelah balik dari ujung untuk mencari jalan rintis yang tadi sudah dibersihkan, enggak ketemu lagi,” tuturnya.

Pria bertubuh kurus itu pun bingung. Jalur yang tadi dibersihkan seolah raib begitu saja. Ia pun memutuskan berkeliling lokasi hutan yang dapat dilalui dengan berjalan kaki, untuk mencari titik yang dapat dilalui kelotok sebagai arah jalan pulang. Berusaha menemukan jalur yang sudah dibuat sebelumnya.

“Saya mutar-mutar, lama, sampai tembus ke arah pematang, saya tidak bisa menyebut jamnya, karena (jamnya) saya tinggalkan di kelotok, mutar-mutar cari arah, kembali lagi ke tempat asal, dalam hati saya bilang, mungkin saya nyasar,” ungkapnya.

Setelah berkeliling beberapa jam, Sahdi kembali di titik awal lokasi perahu terparkir. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Langit mulai gelap. Ia hanya mengenakan baju tipis dan celana training. Perlahan hawa dingin mulai terasa.

Tak lama kemudian, Yadi mendengar suara orang memanggilnya. Persis seperti suara mertuanya. Dua kali memanggilnya. Ia pun bergegas mencari sumber suara itu. Setelah berjalan beberapa langkah, suara itu makin terdengar jelas. Namun betapa terkejutnya, karena di lokasi sumber suara itu tidak ditemukan orang.

“Sekitar jam limaan ada yang memanggil, dua kali, seperti suara mertuaku, terus kudekati ke sana, tapi enggak ada orangnya, hanya dengar suaranya saja, terus suara yang kedua kudatangi lagi, engga ada juga orangnya,” tutur Sahdi.

Keanehan yang dialaminya tak sampai di situ. Sekitar pukul 18.00 WIB, ia mendengar suara musik dari arah hutan. Namun saat itu ia tidak bisa ke mana-mana lagi, karena sudah gelap.

“Sudah gelap, sekitar jam enam, ada kudengar suara musik di hutan, eggak tahu kenapa ada suara musik, tapi enggak liat orangnya,” ucapnya.

Malam itu Sahdi pasrah menghadapi segala keanehan yang terjadi. Ia berjuntai lesu di atas pohon kayu gerunggang dan pantung.

“Cari jalan nggak ketemu, akhirnya tidur, namanya air dalam di musim hujan, pendopo tidak ada yang timbul, maka tidurnya itu di atas pohon, pada kayu yang bercabang dua, cuma bisa tidur bujur kaki dan pantat saja,” bebernya. (*bersambung/ce/ala)

Exit mobile version