Site icon KaltengPos

Merefleksikan Roh Perhutanan Sosial

Destano Anugrahnu

PENGELOLAAN, pemanfaatan dan perlindungan akan tanah dan hutan memang sebuah topik bahasan klasik yang nampak terus menjadi jalan panjang tidak berujung. Adanya pergantian angka dari sebuah waktu dan masa dengan diiringi pergantian berbagai rezim kekuasaan nampaknya juga membuat begitu beragamnya program di dalam upaya pemecahan masalah atas pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan atas tanah dan hutan.

Namun sayangnya, tetap saja fakta lapangan yang terpampang dan terjadi justru kasus tersebut nampak hanya menjadi gumpalan benang kusut yang bingung untuk diurai dari mana.

Sudah berbagai program yang dibuat namun hasilnya sama, nampak hanya seperti ular berganti kulit belaka–sementara bisa/racunnya tetap sama saja. Apakah ini disebabkan kita terjebak hanya pada estetika penamaan program yang menjadi kata indah namun nihil substansi masalah? Ataukah kita mengalami kegagalan didalam menganalisa inti atau pokok masalahnya sehingga solusi yang dibuat dalam bentuk perencanaan dan pelaksanaan program kerja menjadi “jauh panggang dari api”?

Atau, inti dari kesemuaannya itu adalah ketiadaan niat ‘Political will’ Negara yang sehat dan benar lewat para pemangku jabatan kekuasaan, yang justru berkelindan sedemikian rupa dengan meminjam tangan kaum cerdik pandai dan berijazah perguruan tinggi yang kaya akan teori-teori berbahasa tinggi. Tentunya,  untuk menunjukan sisi keberpihakan pada kaum akar rumput di tengah nafsu besarnya untuk memuluskan dan memberikan karpet merah kepada arus besar investasi yang tidak berkelanjutan? Tentu kita punya argument yang beragam atas ini.

Selanjutnya, kita akan mengupas salah satu program yang terus didengungkan secara massif oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni Perhutanan Sosial. Perhutanan sosial sebenarnya bukan program baru di dalam pengentasan permasalahan tenurial dan keadilan atas lahan dan hutan bagi masyarakat akar rumput dan atau masyarakat adat yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan.

Program ini dengan satu tujuan utama yakni pemberian akses legal bagi masyarakat yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan.Pengaturan untuk legalitas akses masyarakat atas sumber daya alam sekali lagi tidak baru, dia sudah dimulai sejak tahun 1995 lewat Kepmenhut nomor 622 tahun 1995 tentang pedoman Hutan Kemasyarakatan (HKm) tertinggal ±25 tahun dari peraturan mengenai pemanfaatan dan penggunaan hutan seperti HPH, HPHH, atau HTI yang telah dimulai sejak tahun 1970.

Nampak jelas bagaimana upaya perlindungan, pelestarian lingkungan dan ekologi selalu konsisten untuk tertinggal dari nafsu terstruktur dan masif kekuasaan untuk melakukan eksploitasi dan pengrusakannya. Dengan roh penuntun ‘pengentasan permasalahan tenurial dan keadilan atas lahan dan hutan bagi masyarakat akar rumput dan atau masyarakat adat yang berada didalam atau sekitar kawasan hutan’, sudah barang tentu perhutanan sosial sebenarnya merupakan satu tarikan nafas dengan cita dan mimpi dari kakak tertuanya yakni “Reforma Agraria”.

Namun yang banyak terjadi dan penulis amati justru keduanya nampak seperti tidak terkoneksi pada sebuah rencana besar yang utuh dalam satu kesatuan, entah karena leading sector program ini berbeda, dimana perhutanan sosial pada KLHK sedangkan reforma agraria diasuh oleh ATR/BPN, jika benar demikian betapa dangkalnya kita memahami sistem pengelolaan ketatanegaraan kita, atau justru lebih parah jika ini disebabkan terjebak pada ego sectoral kedua lembaga tinggi negara kita. Sungguh potret ironi untuk kesekian kalinya masyarakat di tingkat tapak menjadi korban dari keangkuhan kaum cerdik pandai kita.

Kenapa penulis merasa penting untuk mengajak publik merefleksikan kembali ketersambungan antara perhutanan sosial dan reforma agraria, karena permasalahan pendudukan (okopasi) atas kawasan hutan yang menjadikan pecahnya konflik antara masyarakat yang berada didalam atau sekitar kawasan hutan bukan hal baru. Di hutan-hutan Jawa pernah sangat tajam.

Khususnya dengan Perhutani yang akhirnya melahirkan program Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) ditetapkan dengan SK Direksi Perhutani No.136/Kpts/Dir/2001 yang mana esensi dasarnya yakni pemberian legalitas atas pemanfaatan kawasan hutan dengan pola khusus tanpa menuntut hak kepemilikan atasnya (Bambang Eko Supriyadi, 2013: 175), sampai tahun 2015 program ini tidak menghasilkan apa-apa.

Hanya mempertajam konflik yang ada, karena semestinya mengacu pada tangga reforma agraria kehutanan, PHBM maupun Perhutanan Sosial mesti dibentuk dalam satu arah pada tingkat atau level tertinggi dari semuannya yakni kepemilikan atas tanah dan hutan itu sendiri oleh masyarakat yang berada didalam atau sekitar kawasan hutan (Barid Hardiyanto 2015: 65), tanpa blueprint yang seperti itu maka Perhutanan Sosial justru bergerak mundur dan terjebak dalam kuantitas jumlah legalitas yang diterbitkan–yang sesungguhnya tidak membawa perbaikan nasib dan penghidupan bagi kaum akar rumput, semacam nampak sudah berbuat banyak tapi miskin perubahan.(*)

*Penulis adalah Pegiat Sosial Masyarakat Adat & Desa di Kalimantan Tengah

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version