JAKARTA – Asosiasi petani Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) menilai bahwa proyek food estate yang diselenggarakan oleh pemerintah membutuhkan waktu untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan nasional secara mandiri atau swasembada.
Ketua Umum KTNA Yadi Sofyan Noor dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Rabu, mengatakan pembentukan lahan-lahan baru pertanian dan produksi hasil taninya membutuhkan waktu untuk bisa produktif dalam skala yang lebih besar.
Menurutnya, food estate tidak bisa langsung dilabeli proyek yang tidak berhasil hanya karena pencetakan lahan baru dan produksi yang dihasilkan di dalamnya belum bisa mengimbangi penyusutan lahan pertanian lokal yang mencapai 150 ribu hektare per tahun.
“Tidak bisa dibilang gagal, baru dicetak sudah dibilang gagal. Kita butuh waktu. Seperti saya pengalaman ke lokasi transmigrasi dulu itu, memang awal-awal tidak bisa langsung produktif,” kata Yadi mencontohkan program transmigrasi pemerintahan Orde Baru untuk menanam kelapa sawit.
Yadi meyakini kecukupan pangan lokal akan bisa terjaga seiring dengan upaya pemerintah untuk memenuhi hal tersebut yang salah satunya melalui program food estate.
“Karena ya Kementerian Pertanian, kalau bahasa saya, sudah habis-habisan juga menjaga pangan kita,” kata dia.
Menurut Yadi, program food estate yang digawangi oleh Kementerian Pertanian merupakan peluang positif untuk merealisasikan kemandirian pangan Indonesia atau swasembada.
Berdasarkan pengamatannya saat berkunjung ke lokasi-lokasi food estate, Yadi mengatakan realisasi lahan baru terbilang cukup cepat yaitu mencapai 28 ribu hektare dari proyeksi pembukaan lahan baru sebesar 65 ribu hektare.
“Jadi kalau kita lihat langkah pemerintah itu sangat baik. Kami sangat dukung,” katanya.
Di sisi lain ia mengakui pencetakan lahan sawah baru di luar Pulau Jawa memang tidak bisa semulus di Pulau Jawa, sehingga membutuhkan waktu untuk bisa menghasilkan produksi tinggi karena terkait kesuburan lahan dan faktor terkait lainnya.
“Kita tidak bisa main sulap, dicetak langsung bisa produksi tinggi. Karena lahan pertanian, terutama sawah, perlu adaptasi,” katanya. (and/adi/fai/ko)