Site icon KaltengPos

Jauhkan Anak dari Kekerasan..Sehatkan Dulu Mental Ibunya

Ns. Munqidz Zahrawaani, MKep., Sp.Kep.A

Oleh : Ns. Munqidz Zahrawaani, MKep., Sp.Kep.A

 

“Jauh dilubuk hatinya ibumu sebenarnya tidak marah, orang sakit kadang terlihat seperti marah”. Kata kata yang diungkapkan pemeran ayah dalam series Family by choice untuk menenangkan anak laki lakinya saat melihat ibunya yang sedang depresi akibat kehilangan anak perempuannya sedang mengamuk dan melemparkan barang barang. series ini hanya menggambarkan bagian kecil dari gambaran perilaku dan sikap seorang ibu memberikan dampak jangka panjang bahkan trauma seumur hidup bagi seorang anak jika tidak ditangani dengan benar.

Salah satu dari faktor penyebab seorang anak menjadi pelaku kekerasan disaat menginjak usia produktif (dimulai sejak remaja awal usia 12 tahun sampai dewasa awal 18 tahun) adalah trauma masa kecil, dari wawancara terhadap 20 orang anak pelaku kekerasan yang di asuh di Lembaga pembinaan khusus anak kelas I Jakarta terungkap kalau pada saat mereka masih kecil mereka sering melihat percekcokan diantara kedua orang tua mereka. Kondisi orangtua yang tidak pernah akur saat mereka berada di rumah membuat mereka memilih kabur dan mencari tempat curhat dari teman sepermainan, tanpa pandang bulu bisa jadi mereka menemukan teman yang juga mengalami masalah yang sama kemudian membentuk group group yang menjadi cikal bakal terbentuknya geng motor di daerah perkotaan.

Kekerasan yang terjadi pada anak di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, tercatat pada tahun 2011 terdapat sebanyak 216 kasus yang meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2012 menjadi 412 kasus. KPAI (2016) mencatat pada tahun 2014 terdapat 656 kasus kekerasan pada anak baik sebagai korban maupun pelaku, persentase kasus yang tertinggi (66,69%) terjadi di lingkungan sekolah dibanding di keluarga dan masyarakat, ini menunjukkan bahwa sebenarnya pelaku kekerasan pada anak lebih banyak berasal dari kalangan yang dekat dengan anak. Pelaku kekerasan fisik yang ditemukan pada kelompok umur 13 – 17 baik berjenis kelamin laki laki maupun perempuan dengan persentase yaitu perempuan sebanyak 73, 11% laki laki 74, 37% dan dilakukan saat mereka di sekolah.

Masalah kesehatan mental remaja seperti trauma merupakan masalah yang ditemukan pada populasi remaja yang pernah melakukan kekerasan. Anak yang sering mengalami penganiayaan dari orang tua juga beresiko berperilaku diluar nalar, juga ditemukan bahwa diantara anak pelaku kekerasan sebenarnya merupakan anak yang pernah mengalami kekerasan fisik dan perlakuan tidak menyenangkan. Hal ini akan mengarahkan mereka kepada sebuah pemikiran bahwa perilaku kekerasan adalah hal yang wajar untuk dijadikan kebiasaan.

Persoalan remaja menjadi pelaku kekerasan memerlukan perhatian dari semua pihak dan pembinaan yang maksimal, bukan tidak mungkin dimasa yang akan datang kesengsaraan dan hambatan perkembangan anak akan menimbulkan masalah yang lebih pelik. Adapun langkah nyata yang harus dilakukan untuk menurunkan kasus kekerasan pada anak seperti promosi kesehatan, pelatihan manajemen stress pada orangtua khususnya ibu. Seorang ibu merupakan guru pertama dalam kehidupan anak, selain menjaga kesehatan dan memenuhi kebutuhan fisik anak ibu juga mengajarkan nilai nilai kehidupan. Bagian terpenting yang sangat mudah diserap oleh anak adalah bagaimana sikap seorang ibu dalam kesehariannya. Saat kita perhatikan bagaimana seorang anak berpakaian dan berkomunikasi disitu kita dapat melihat cerminan dari seorang ibu. Anak yang pendiam berasal dari ibu yang kalem dan cenderung intovert, sebaliknya anak yang lebih komunikatif memiliki kecenderungan ibu yang lebih jago dalam public speaking dan komunikasi sehari hari.

Seorang ibu menjadi sosok pertama yang memperkenalkan dan mengajarkan anak terhadap kehidupan dunia ini, sehingga inspirasi seorang ibu akan membentuk pola pikir anak. Ibu yang memiliki perasaan negatif seperti marah dan depresi akan lebih sulit memberikan respons yang tepat dan efektif terhadap anak anaknya. Baik ibu rumah tangga ataupun ibu yang bekerja akan mengalami stressor atau tekanan mental yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti manajemen stress yang kurang baik, saat mengalami stress ibu tidak mendapat dukungan dari pasangan maupun keluarga. Sedangkan ibu yang berperan ganda akan mengalami kesulitan dalam membagi waktu serta tidak memiliki waktu untuik diri sendiri atau istilah kerennya me time.

Menjadi ibu baik ibu rumah tangga maupun wanita karir sebaiknya tidak mendapatkan diskriminasi dari masyarakat, kebanyakan karena gunjingan atau suara miring dari lingkungan sekitar yang membuat mereka mengalami kesulitan untuk mengendalikan emosinya. Pastikan setiap anggota keluarga untuk menjalin komunikasi ditengah kesibukan ibu, jangan biarkan ibu melampiaskan kekesalannya dalam bentuk tindakan fisik yang dapat menjadi bayangan buruk dan trauma seumur hidup bagi anak.

Tidak memaksakan ibu untuk menjadi wanita yang sempurna, karena setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, bagaimanapun ibu berusaha untuk menjadi superhero dalam keluarganya mustahil bisa mengerjakan semuanya dengan baik. Karena itu berikanlan dukungan bagi ibu dengan memberikan bantuan untuk mengerjakan pekerjaan ringan rumah tangga atau meminta bantuan pasangan untuk menyewa jasa asisten rumah tangga (ART) jika memungkinkan.

Beristirahat merupakan kunci yang sangat diperlukan ibu dalam menjaga keseimbangan fisik dan mental. Ibu memerlukan istirahat untuk menata kembali keruwetan pikiran setelah menjalani hari hari yang melelahkan. Berikanlah waktu untuk ibu menjalankan hobi seperti membaca, menanam bunga atau bersantai dengan perawatan di salon bahkan berbelanja dan makan bersama keluarga adalah suatu hal yang sangat menyenangkan buat ibu. Istirahat yang cukup dan mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang serta rutin berolahraga akan menjadikan ibu yang sehat baik secara fisik dan mental sehingga dapat memiliki akar positif untuk menjadikan anak yang sehat secara fisik maupun mental sehingga anak terhindar dari mental perilaku kekerasan dimasa yang akan datang. (*)

Penulis adalah Pembimbing Praktek Laboratorium Keperawatan Anak di Poltekkes Kemenkes Palangka Raya.

Exit mobile version