Dugaan Korupsi Tunjangan Guru Terpencil di Katingan yang Merugikan Negara Rp5,8 Miliar
Malang sekali nasib guru di Kabupaten Katingan. Pengabdiannya di daerah yang terpencil dan terpelosok bukannya dihargai dan diapresiasi. Malah, apa yang menjadi hak-nya tak sepenuhnya diterima.
AGUS JAYA, Palangka Raya
DARI total Rp16,8 miliar anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dikucurkan untuk tunjangan guru daerah terpencil di Kabupaten Katingan, setidaknya Rp5,8 miliar uang negara itu lenyap. Jumlah itu berdasarkan laporan hasil pemeriksaan khusus (LHPK) Nomor: 700/05/LHP-K/INSP/2018 tanggal 30 April 2018 yang dibuat oleh Inspektorat Kabupaten Katingan.
Uang sebanyak itu diduga “disunat” oleh oknum yang ada di Dinas Pendidikan (Disdik) Katingan. Ada satu terdakwa yang saat ini sudah diadili di Pengadilan Tipikor. Dia adalah Supriady alias Ujup, yang saat itu menjabat sebagai Bendahara Pengeluaran di Disdik Kabupaten Katingan.
Dalam sidang yang digelar Selasa (28/6), jaksa penuntut umum ( JPU) dari Kejari Katingan menghadirkan tiga orang saksi yang merupakan pegawai sekretariat daerah Kabupaten Katingan dan juga Inspektorat Kabupaten Katingan. Mereka adalah Akhmad Rubama, Sayora dan Mujianto.
Akhmad, yang merupakan Asisten Perekonomian dan Pembangunan dalam kesaksiannya menerangkan, pada tahun 2017 dirinya adalah anggota tim anggaran Kabupaten Katingan. Terkait masalah tunjangan guru ini, Akhmad menyebut jika pada tahun 2017, Pemkab Katingan memang ada mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) non fisik untuk membayar tunjangan khusus guru di daerah terpencil dalam APBD tahun 2017. Anggarannya kurang lebih Rp16,8 miliar.
Terkait DAK pembayaran tunjangan khusus guru terpencil Rp16,8 milliar ini, Akhmad mengatakan bahwa dana yang dibayarkan oleh Pemerintah Pusat tersebut langsung dimasukkan ke dalam struktur APBD Kabupaten Katingan 2017.
“Tim anggaran tidak bisa mengutak-atik dana itu, tidak bisa ditambah atau dikurangi dan langsung diarahkan kepada dinas teknis yang berhak membelanjakannya,”ujar Akhmad yang mengaku tidak tahu siapa saja penerima dana tersebut dan merasa tidak perlu ikut campur siapa yang berhak menerima DAK tunjangan guru itu.
Terkait adanya permasalahan ini, Akhmad mengaku tidak pernah mengetahui kalau terjadi permasalahan terkait penyaluran DAK untuk guru terpencil. Ia baru mengetahui permasalahan ini sesudah dipanggil oleh pihak Kejari Katingan untuk dimintai keterangan terkait dana DAK tersebut. “Mendengar pun tidak pernah, saya tahunya saat saya dipanggil jaksa,”kata Akhmad ketika ditanya oleh penasihat hukum terdakwa, Abdul Sidik.
Saksi berikutnya adalah Saroya, Ia mengatakan dirinya mendapat tugas untuk menyelidiki laporan adanya penyimpangan terkait penyaluran DAK tunjangan guru daerah terpencil tahun 2017 tersebut. Saroya yang merupakan petugas pengawas pemerintahan di Inspektorat Kabupaten Katingan ini menerangkan bahwa terkait persoalan penyaluran tunjangan guru tahun 2017 tersebut, Bupati Katingan memang pernah menugaskan kepada pihak Inspektorat untuk melakukan pemeriksaan khusus.
“Karena ada laporan tentang adanya pungutan, juga ketidaksesuaian data yang menerima tunjangan guru ini,”terang Sayora yang sudah bertugas di Inspektorat Kabupaten Katingan sejak tahun 2010.
Pihak Inspektorat, sebutnya, menemui langsung guru yang ada di pelosok yang menerima tunjangan tersebut. Hasil dari pemeriksaan itu, pihaknya menemukan guru yang uang tunjangannya “disunat”. Selain itu, Inspektorat juga menemukan guru penerima tunjangan yang semestinya tidak masuk kriteria. “Hasilnya memang ada yang dipotong dua bulan, ada juga yang empat bulan,”ujarnya.
“Memang kriteria guru penerimaan itu seperti apa?”tanya Ketua Majelis Hakim, Irfanul Hakim yang memimpin jalannya persidangan tersebut.
“Guru penerima adalah guru yang berada di daerah yang susah transportasinya Pak,”ujar Sayora seraya menyebut selain kriteria tersebut tidak ada kriteria lainnya.
Dasar hukumnya, lanjut Sayora, kriteria untuk guru penerima tunjangan khusus dari pemerintah pusat tersebut sudah diatur berdasarkan SK Bupati Katingan nomor 890 tahun 2014 tentang Penetapan Sekolah yang Berada di Daerah Khusus Terpencil di Wilayah Katingan.
Ada juga Peraturan Bupati (Perbup) Katingan Nomor 55 tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Laporan APBD Kabupaten Katingan dan juga Permendikbud RI Nomor 13 tahun 2015 terkait Kriteria Daerah Khusus Dalam Rangka Pemberian Tunjangan Khusus Bagi Guru yang Bertugas di Daerah Khusus.
Dari hasil LHP Inspektorat Kabupaten Katingan terkait dana tunjangan tersebut, pihaknya menghitung terdapat sekitar kurang lebih Rp5,8 miliar dari anggaran DAK sebesar Rp16,8 miliar yang tidak jelas peruntukannya.
Inspektorat menyarankan di antaranya agar penanganan perkara ini diserahkan kepada pihak aparat hukum. Selain itu memerintahkan kepada kepala Disdik Kabupaten Katingan menarik kembali dana tersebut dan menyetorkan ke kas daerah.
Sayora mengakui dirinya tidak mengetahui adanya surat dari Sekda Katingan di tahun 2018 yang menyebutkan bahwa permasalahan tersebut telah selesai.
Sayora juga mengakui bahwa di dalam LHP yang dibuat Inspektorat Kabupaten Katingan tersebut memang tidak ada tertera nama terdakwa Supriady untuk dimintai pertanggungjawabannya terkait penyaluran dana tersebut.
Keterangan Sayora ini menjawab pertanyaan dari salah satu penasihat hukum terdakwa, Aria Madia yang menanyakan siapa saja yang diminta pertanggungjawaban terkait permasalahan ini. “Ada gak nama Supriady dalam LHP itu?”tanya Aria Madia.
“Tidak ada,” jawab saksi.
Sementara itu, saksi ketiga Mujianto dalam keterangannya hampir sama dengan saksi Sayora. Pegawai kantor Inspektorat Kabupaten Katingan ini mengatakan bahwa berdasarkan hasil lipsus LHP, Inspektorat menemukan terjadi salah sasaran dalam penyaluran dana tunjangan guru daerah tertinggal tahun 2017 di Kabupaten Katingan.
“Ada guru-guru yang sebenarnya tidak berhak menerima dana tersebut karena tidak termasuk berada dalam kriteria sebagai wilayah khusus daerah terpencil dan terbelakang, tetapi ternyata ikut menerima dana tersebut,” kata Mujianto.
Seusai sidang, penasihat hukum terdakwa, Abdul Sidik menyatakan bahwa dari keterangan para saksi persidangan dirinya menilai, bahwa keterangan para saksi menguntungkan kliennya Supriady.
“Seperti dari keterangan saksi pertama yakni asisten sekda, yang menyebutkan bahwa aturan yang digunakan adalah aturan dari pemerintah pusat dan bukan dari peraturan bupati, juga dari saksi kedua dari Inspektorat yang menyebutkan bahwa di dalam LHP tersebut tidak ada rekomendasi atas nama Supriady,”ujar Abdul Sidik kepada Kalteng Pos.
Sidik kemudian menilai bahwa kasus perkara korupsi ini sengaja dipaksakan oleh sebagian pihak untuk menjadikan kliennya Supriady sebagai pihak yang disalahkan dalam kasus ini.
“Perkara ini sengaja dipaksa untuk menjadikan dalang semuanya, pada hal didalam LHP itu tidak ada menyebutkan nama Supriady,”serunya.
Di dalam nama LHP itu tertera nama lain. Seperti Jefri Suryatin Binter dan Stephanus. Namun nyatanya nama-nama tersebut tidak ada diperiksa dan dinaikkan perkaranya.
“Semoga majelis hakim bisa memberikan keadilan karena dari Inspektorat sendiri tidak ada merekomendasikan kalau perbuatan itu dilakukan oleh Supriady,”katanya.
Untuk diketahui, dalam perkara dugaan korupsi ini, sebenarnya pihak Kejari Katingan menetapkan dua orang tersangka yang dinyatakan terlibat dalam perkara ini. Selain Supriady, koprs Adhyaksa juga menetapkan tersangka mantan Kadisdik Katingan, Jainudin Sapri.
Namun, upaya pihak Kejari Katingan menyeret Jainudin Sapri sebagai terdakwa dalam persidangan kasus korupsi ini harus kandas.
Jainudin Sapri yang sempat ditahan, kemudian melakukan perlawanan terhadap penetapan status tersangka dirinya tersebut.
Lewat sidang praperadilan, permohonan Jainudin Sapri yang juga merupakan mantan Asisten I Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Katingan dikabulkan oleh hakim tunggal Cesar Antonio Munthe pada 13 September 2021. Penetapan status tersangka terhadap Jainudin Sapri tidak sah dan memerintahkan jaksa untuk mengeluarkannya dari tahanan.(ram/ko)