PALANGKA RAYA-Saling klaim kepemilikan lahan di Jalan Jintan dan Pramuka masih berlanjut. Pihak Kelurahan Menteng terpaksa turun tangan memediasi kedua belah pihak yang sama-sama mengklaim sebagai pemilik tanah yang sah. Dalam forum mediasi tersebut, mereka saling adu kuat bukti kepemilihan tanah. Mediasi dilaksanakan di Aula Kantor Kelurahan Menteng, Kamis (2/2/2023).
Dalam forum mediasi tersebut, kedua belah pihak sama-sama menunjukkan bukti kuat untuk memvalidasi klaimnya. Dari pihak warga diwakili kuasa hukum Akhmad Taufik dan pihak pengklaim tanah Singkang W Kesuma. Selain itu juga hadir perwakilan dari instansi terkait untuk memberikan saran serta masukan agar masalah tersebut bisa segera diselesaikan.
Dalam forum itu kedua belah pihak saling menunjukkan bukti. Bukti surat-menyurat dan tanda hitam di atas putih saling dijelaskan oleh kedua belah pihak. Selaku pihak pelapor, dalam forum itu Akhmad Taufik sebagai pengacara warga dipersilakan untuk lebih dahulu menjabarkan bukti kepemilikan warga atas tanah yang diklaim oleh Singkang.
Ia pun menjelaskan asal usul tanah warga yang berada di Jalan Pramuka, Jalan Jintan, Jalan Antasari, Jalan Merica, Jalan Yos Soedarso IX. Sambil menampilkan tiga buah baliho berisi bukti surat menyurat kepemilikan, Taufik menjelaskan bahwa dasar kepemilikan warga di RT 03 yang meliputi lokasi Jalan Jintan, Jalan Merica, Jalan Antasari, dan G Obos IX adalah surat tanah yang terbit pada tahun 1982 yaitu dasar kepemilikannya oleh orang bernama Ardjan Bajau.
“Dalam surat ini diperlihatkan bahwa perbatasan tanahnya mulai dari Masjid Raya sampai Yos Soedarso,” kata Taufik menjelaskan.
Selanjutnya, kata Taufik, terdapat dalam surat tanah nomor 144 milik H Hapid yang mana sebelah utara dan sebelah timur juga berbatasan dengan tanah Ardjan Bajau. Dalam sebuah pernyataan H Hapid juga mengakui bahwa perbatasan tanah tersebut betul.
“Surat ini saya dapatkan waktu saya digugat secara pribadi oleh Singkang W Kesuma atas nama surat kuasa dari H Hapid tertanggal 31 Mei 2008. Lalu mengajukan surat ke BPN pada tanggal 2 Juni 2008,” katanya.
Taufik menyebut pada saat pasca kerusuhan tahun 2001, pada tahun 2002 tanah Sukarjo Ardjan Bajau dibagi-bagi dengan beberapa depa. “Dari pagar IAIN 70 Meter ke arah Yos Soedarso sepanjang 220 Meter ke arah G Obos IX itu serahkan kepada masyarakat,” katanya.
Tanah sepanjang 70 Meter itu kemudian dibagi-bagi lagi untuk dijual. “Dalam tanah itu ada atas nama Zaen Panalu, Sumber Dinata, dan banyak pejabat lainnya, H Ijay juga termasuk ada. Yang SKT-nya ini adalah tahun 2002, jadi warga masyarakat yang ada di sini merujum dari situ, SKT pembaruannya tahun 2002 yang sekarang sudah banyak beralih tangan,” katanya sambil menunjukkan surat-menyurat terkait.
Dari tanah 70 Meter itu juga, tanah seluas 54 meter×220 meter itu dijual kepada Akhmad Taufik atas nama Helni karena Akhmad Taufik telah kebanyakan membeli tanah atas namanya karena dirinya merupakan pengembang (developer). “Yang bersengketa sekarang ya tanah ini, yang lain nggak sengketa,” ucapnya.
Selain itu Taufik juga menyorot surat tanah milik Singkang yang ditandatangani oleh Lurah Menteng sebelumnya, yaitu Zein Panaru dan Sumberdinata. Dikatakannya, dalam Berita Acara Pemeriksaan Tanah Nomor 5 Tahun 1994, yang terbit pada 14 Maret 2007, surat itu, oleh Zein Panaru dan Sumberdinata sendiri, dalam surat pernyataan yang mereka tulis tanggal 24 Januari 2023 tidak pernah membuat surat tanah tersebut.
“Jadi mereka berdua, lurah menteng sebelumnya itu, sudah menuliskan pernyataan bahwa mereka tidak pernah menuliskan surat itu,” jelasnya.
Maka dari itu, Taufik menegaskan jika memang Singkang sudah lama memiliki tanah sejak tahun 2000 dan lunas tahun 2007 sesuai pernyataannya itu, maka sudah barang tentu Singkang akan ribut lebih awal dengan warga. Sementara Singkang sendiri baru mulai mempermasalahkan kepemilikan tanah itu atas warga baru sejak tahun 2010. Terhitung sejak tahun itu Singkang sudah empat kali mempermasalahkan tanah warga di lingkungan tanah Jalan Pramuka dan Jalan Jintan.
Taufik menjelaskan pada waktu itu tanah di belakang masjid Raya Darussalam terdapat dua pemilik, yang satu adalah Sukarjo Ardjan Bajau yang surat tanahnya 1982, yang kedua adalah H Hapid dengan surat tanah 1984.
Ia juga menyoroti bahwa dalam tuntutan Singkang ke BPN luas tanah H Hapid sebesar 7,5 hektare sedangkan ke masyarakat menuntut 6,5 hekatre. “Sementara berdasarkan hasil survei tim BPN tanahnya H Hapid sudah tidak ada karena 80 persen diserahkan ke Masjid Raya, kemudian sisanya ke H Romli,” ujarnya.
Selanjutnya Singkang W Kesuma mengajak agar seluruh pihak dapat beradu data legalitas tanah yang sah. “Kita bukan adu ngomong tapi adu data,” ucapnya.
Berkenaan dengan keabsahan kepemilikan berikut bukti-bukti suratnya, Singkang menimpali seluruh surat yang tadi dijabarkan oleh pihak warga melalui pengacara Akhmad Taufik. Dari surat-surat paparan Akhmad Taufik, Singkang menuding bahwa semua surat berikut bukti-bukti negasi atas suratnya itu bahwa semua orang bisa membuat seperti serupa.
“Akan saya perlihatkan SK (Surat Keputusan) wali kota yang menjadi bukti legalitas hak kepemilikan saya,” kata Singkang. Sejurus kemudian ia pun menunjukkan SK wali kota kepada para mediator seperti lurah, camat, kapolsubsektor setempat, dan perwakilan dari Polda Kalteng yang hadir, beserta seluruh jajaran dari instansi terkait.
Untuk mendukung data itu Singkang juga menunjukkan register Kecamatan Pahandut dan permohonannya untuk memastikan lokasi tanah yang ia klaim. Ia pun menantang pihak warga terkait keaslian surat yang mereka bawa ke dalam forum itu. “Saya minta surat yang asli ditunjukkan dalam forum ini, kalau tidak ada yang asli sori,” katanya.
Singkang menyebut pada tahun 2007 ia punya pos sebelah kiri masuk Jalan Pangeran Antasari. Dalam pos itu juga ada portal. “Lalu Dirpolda Kalteng saya bawa untuk memasang pelang di situ, rupanya karena saya sibuk sebagai pegawai negeri pada waktu itu ada yang mengambil, dan bos saya masih ada, saya minta tolong tim nanti ngecek lagi,” jelasnya.
Singkang menceritakan pada tahun 2009 ia dan Akhmad Taufik pernah ke BPN, namun, lanjut Singkang, saat itu Taufik menyajikan datssssssa bohong.
“Semua merah, type-x merah semua, nggak ada, ini surat waktu kita mediasi, waktu itu saya picik (pencet) perut bapak di BPN karena menyajikan data bohong, oleh karena itu buktikan surat anda dengan yang aslinya, kalau tidak ada yang asli, foto copy ke foto copy, sori ini terakhir kita mediasi,” pinta Singkang.
Ia pun menanyakan kepada Akhmad Taufik dan warga dengan siapa mereka membeli tanah tersebut. “Tolong tanya dengan orang tempat kalian membeli, jangan menyalahkan saya tapi tanya ke orang yang jual, kalau nanya saya sementara saudara membeli dari orang yang salah, anda penadah, masuk pak polisi, saya sampaikan ke kepolisian nanti,” jelasnya.
Singkang meminta apabila ada mediasi berikutnya agar warga membawa data yang asli, jangan data dari hasil foto copy. “Jangan bawa data dari hasil foto copy, tapi ayo bawa data asli,” ucapnya.
Di akhir memberikan pernyataan pertama Singkang pun menyatakan apabila surat pernyataan yang ia sajikan tidak benar maka ia secara pribadi sanggup dituntut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di akhir mediasi Lurah Menteng Rossalinda Rahmanasari menegaskan bahwa pihaknya tidak punya keberpihakan sedikitpun dalam penyelesaian sengketa tanah antara Singkang dan warga.
“Kami di sini netral dalam melakukan upaya penyelesaian antar kedua belah pihak, tidak ada keberpihakan. Kami bekerja sesuai dengan prosedur yang ada. Dalam forum mediasi ini tugas kami hanya sebagai penengah kepada kedua belah pihak agar masalah ini menemukan titik terang,” tutur Rossalinda.
Terkait penyelesaian itu Rossalinda menyebut bahwa dari segi kewenangan pemerintahan bahwa kedua belah pihak itu memang murni masalah sengketa tanah. “Yang mana masing-masing orang yang merasa menduduki tanah di situ sama-sama memiliki legalitas tanahnya masing-masing,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa pihaknya dari kelurahan Menteng tidak memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah atas objek tanah tersebut.
“Seyogyanya kami dari kelurahan menteng hanya membantu memfasilitasi pertemuan kedua belah pihak secara musyawarah dan mediasi untuk menemukan kesepakatan dan perdamaian, karena hanya itulah kewenangan kami kelurahan,” katanya.
Melihat sampai akhir sesi mediasi pun penyelesaian atas masalah tersebut tak kunjung ditemukan, kedua belah pihak masih bersitegang, Rossalinda menyebut selanjutnya akan dilaksanakan mediasi kedua untuk kembali mempertemukan kedua belah pihak dan mencari solusi, agar masalah tersebut dapat menemukan titik terang. “Melihat kondisi saat ini, yang mana kedua belah pihak tidak menemukan kesepakatan, maka akan dilaksanakan mediasi kedua,” tandasnya.
Sementara itu, berkaitan dengan telah ditandatangani oleh kelurahan setempat sebuah surat pernyataan pemilik tanah (SPPT) atas nama Singkang yang mengklaim tanah milik warga di daerah tersebut. SPPT tersebut ditandatangani oleh Kelurahan Menteng atas nama Lurah Menteng Rossalinda Rahmanasari.
Berkaitan dengan masalah adanya SPPT di atas tanah hak SHM, Kepala BPN Kota Palangka Raya Y Budhy Sutrisno mengatakan penandatanganan SPPT memang merupakan kewajiban dari pemerintah daerah melalui kelurahan setempat. Pihaknya hanya berada dalam koridor penerbitan sertifikat.
Berkenaan dengan apa yang dilakukan pihak Kelurahan Menteng yang menandatangi SPPT di atas alas hak SHM, Budhy menyebut hal itu merupakan salah satu bentuk keteledoran dalam bekerja. Ia menyinggung kecermatan dan kehati-hatian seorang lurah dalam bekerja mengenai mengapa bisa menandatangani SPPT di atas tanah dengan alas hak SHM.
“Ini berkaitan dengan kecermatan dalam bekerja, sifat kehati-hatian, tentu saja seorang pejabat publikkan dalam menandatangani sesuatu tentu saja dia harus aware, teliti, kalau ini ia tandatangani kira-kira efeknya seperti apa,” jelas Budhy.
Ia menyebut bisa saja keteledoran itu dilakukan oleh lurah setempat sehingga menandatangani SPPT di atas tanah dengan alas hak SHM. Padahal, lanjut Budhy, terkait dengan tanah bersertifikat sudah diupload semua dalam aplikasi Sentuh Tanahku.
“Jadi mereka bisa melihat aplikasi itu dulu apakah lokasi yang mau diterbitkan itu sudah bersertifikat atau belum,” ucapnya.
Budhy menjelaskan BPN sendiri memiliki Tim Pemeriksa Tanah untuk memberikan hak kepada para warga yang mengaku memiliki tanah tertentu dengan hak kepemilikan yang sah. “Tim pemeriksa tanah itu salah satunya adalah lurah,” katanya.
Ia menyayangkan tindakan dari pihak kelurahan setempat padahal pihaknya menganggap bahwa lurah berada di garda terdepan yang mengetahui kondisi masyarakat di sekitarnya berikut kepemilikan tanah di daerahnya sendiri.
“Kami menganggap bahwa lurah itu tentu di garda terdepan yang tahu masyarakat sekitarnya, kami berharap pihak kelurahan termasuk pihak yang paling tahu kalau oh ini tuh tanahnya A, lalu yang ini tanahnya B,” katanya.
Budhy menjelaskan bahwa memang lurah tidak memiliki kewajiban untuk membuat SPPT apakah harus menanyakan ke pihak BPN terlebih dahulu. Namun, kata Budhy, dalam beberapa kasus kelurahan yang ingin menandatangani SPPT akan bersurat kepada pihaknya untuk menanyakan apakah di bidang tanah tertentu sudah terbit sertifikat atau belum.
“Memang ada beberapa kelurahan yang melaksanakan seperti itu, tapi itu bukan suatu kewajiban, tapi mungkin beliau-beliau yang melaksanakan itu lebih aware dan lebih hati-hati sehingga perlu konfirmasi kepada BPN,” tandasnya.
Sementara itu, Lurah Menteng Rossalinda Rahmanasari mengatakan SPPT bukan produk kelurahan atau produk dari pemerintah Kota Palangka Raya, melainkan surat pernyataan dari si pemilik tanah.
“Tentunya pertanggungjawaban atas penerbitan surat itu adalah tanggungjawab mutlak dari pemilik tanahnya, namanya juga surat pernyataan pemilik tanah,” kata Rossalinda saat memfasilitasi mediasi antara kedua belah pihak yang bersengketa di Aula Kantor Kelurahan Menteng, kemarin.
Maka dari itu Rossalinda menegaskan jangan sampai ada pemberitaan di media bahwa SPPT diterbitkan oleh kelurahan setempat. “Kami tidak menerbitkan. Lurah, camat, RT, RW, menandatangani surat itu adalah mengetahui sepanjang objek tanah itu masuk ke dalam wilayah pemerintahannya, maka itu lurah, camat, RT, RW, menandatangani surat,” tuturnya.
Ia pun mempertanyakan kepada pihak BPN apakah lurah boleh tidak usah menandatangani SPPT namun memang tidak bisa karena pihaknya pemimpin wilayah. Lurah pun dalam peraturan Agraria Tahun 1997 adalah sebagai anggota tim A atau tim yuridis untuk penerbitan sertifikat. Pernyataan berikutnya yang ia kemukakan seolah ingin lepas tangan dari kewajibannya sebagai pejabat publik yang berkewajiban untuk menandatangani SPPT. Padahal, menandatangani SPPT sudah menjadi kewajibannya selaku lurah yang memimpin wilayah. Pertanggungjawabannya pun dipertanyakan sebab mengapa ia berani menandatangani surat tersebut.
“Sampai sekarang pun saya bertanya kepada BPN boleh nggak lurah tidak usah tanda tangan SPPT, kami mengajukan tidak usah tanda tangan SPPT, tapi tidak bisa karena kami selaku pemimpin wilayah, juga lurah dalam peraturan agraria tahun 1997 adalah sebagai Tim A atau tim yuridis untuk penerbitan sertifikat sebagai tim A, hanya untuk penerbitan tim A, bukan SPPT, tim A itu adalah surat tanah yang diwartakan melalui surat pernyataan menggarap tanah, SK wali kota, dan lain-lain untuk ditingkatkan menjadi surat pernyataan pemilik tanah,” jelasnya. (dan/ala)