“BAWI Kuwu Tumbang Rakumpit, Hantelu Nyahu Ngatuntung Langit.Intan Emas Nihau Bahirit, Manganjang Lewu Tumbang Rakumpit.”terdengar lirik dalam bahasa Dayak Ngaju itu dilantunkan Abner Dius. Lagu itu spontan dinyanyikan saat duduk di atas perahu sembari mengayuh dayung. Pria paruh baya itu pun menerjemahkan dalam bahasa Indonesia, ketika penumpang bertanya.“Bawi Kuwu Tumbang Rakumpit, tiga kali Guntur bunyi di langit. Intan emas hilang dijepit, menutupi Dusun Tumbang Rakumpit,”ucap pria paruh baya itu.
Sambil bernyanyi, mata Abner, warga Dusun Tumbang Rakumpit, Kelurahan Mungku Baru, Palangka Raya itu berbinar. Ia tahu betul intan dan emas itu merupakan hasil-hasil hutan dan sungai di dekat dusunnya hutan yang mereka sebut himba tabalien atau hutan ulin. Kini semua itu terancam banyak hal. Mulai dari kegiatan ilegal hingga deforestasi.
Sore itu, Abner melintas di sungai Rakumpit yang membelah desanya. Sungai itu berliuk bagai ular raksasa di tengah hutan. Walaupun hanya selebar lima meter, namun sungai itu memiliki banyak penghuni. Beberapa di antaranya adalah buaya kodok yang bernama latin crocodylus siamensis dan buaya sapit bernama latin tomistoma schlegelii. Berenang di tempat itu memang bukan hal favorit warga sekitar.
Selama perjalanan menyusuri sungai, Abner melihat batang pohon sumpung sebesar drum-drum minyak yang melintang di sungai menjadi rintangan perjalanan menuju himba tabalien. Bahkan, Abner harus beberapa kali memotongnya dengan gergaji mesin dan parang.
Nuansa sejuk sangat terasa ketika memasuki hutan. Kanopi hutan yang tinggi menutupi sinar matahari sehingga tidak terasa menyengat di kulit selama empat jam perjalanan kami menggunakan klotok atau perahu kayu berukuran kurang lebih empat meter dengan mesin kecil.
Akhirnya, kami sampai di sebuah gubuk kayu bercat putih kusam berbentuk rumah panggung. Tinggi tiang kakinya sekitar dua meter, sebuah antisipasi jika terjadi banjir di musim hujan.
Memasuki hutan yang cukup lebat dan lembab, berjalan kurang lebih 30 menit menuju zona inti himba tabalien, sesekali melihat sejumlah pohon ulin berdiri tegak menjulang ke langit. Diameter rata-rata pohon besi itu 40-70 cm. Bagian bonggolnya ada yang sudah berlumut setebal satu jari orang dewasa.
Ada satu pohon yang paling terlihat unik dan mistis yaitu pohon ulin yang terlilit dengan pohon beringin, dengan diameter setara drum minyak dan tinggi setara bangunan lima tingkat. Pohon ini sangat dijaga oleh masyarakat karena unik dan disakralkan. Selain itu, terlihat juga bekas tebangan pohon ulin yang sudah berlumut terletak di lantai hutan.
“Ini rata-rata bekas tebangan lebih dari 10 tahun, Mas. Dulu masih banyak orang yang mencuri ulin dari hutan ini,” ungkap Ketua Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rungan, Hermanto.
Beberapa tahun yang lalu, lanjut Hermanto, ada pencurian kayu ulin. Usai menebang, keesokan harinya dua orang penebang ilegal itu mati dengan badan sudah membiru. Setelah kejadian tersebut, masyarakat di sekitar Mungku Baru, Parempei dan Bereng Malaka sudah tidak berani lagi menebang pohon ulin di himba tabalien yang disakralkan oleh masyarakat Mungku Baru.
“Sejak nenek moyang kami membuat tulah, masyarakat sudah tidak ada yang berani lagi mengambil kayu ulin dari hutan ini. Kami mempercayai adat istiadat maupun hukum adat yang sudah ada dari jaman nenek moyang dulu dan kami menghormatinya,” imbuh pria yang memakai syal ungu di lehernya.
Tak berselang lama, kami sampai di sebuah area dengan luas seperti lapangan bulu tangkis yang ditumbuhi beberapa bibit ulin setinggi pinggang orang dewasa. Sejumlah biji ulin pun tampak tersebar di permukaan tanah yang dipenuhi dedaunan kering.
Hermanto berharap bibit-bibit ulin ini bisa dirawat dan dikembangkan sehingga tetap ada serta tumbuh di hutan ulin ini. “Ulin ini tumbuhnya sulit dan lama sekali, kami ingin dia hidup berkelanjutan sampai anak cucu nanti,” harapnya sambil mengusap bibit ulin setinggi pinggangnya.
Ia pun menambahkan bahwa masyarakat Mungku Baru telah mengusulkan hutan ulin untuk menjadi hutan adat agar mendapatkan legalitas sehingga terjaga keberadaannya. Oleh karena itu, ia bersama masyarakat lainnya memiliki cara cerdas untuk mendapatkan legalitas tersebut yakni dengan mengajukan pengakuan masyarakat hukum adat (MHA). Para penjaga himba tabalien menaruh asa pada skema yang diakui oleh negara.
Perjalanan Pengakuan MHA Rungan
MHA merupakan sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah adat tertentu secara turun-temurun dan kebaradaannya diakui oleh negara. Untuk mendapatkan pengakuan MHA, masyarakat adat perlu mengirimkan surat usulan kepada kepala daerah diketahui oleh damang setempat. Pengusulan tersebut merupakan hasil kesepakatan yang disahkan dalam rapat mantir dan disusun dalam bentuk berita acara kesepakatan.
Jika MHA berada pada lintas kabupaten dan atau kota, maka usulan diajukan kepada gubernur. Sedangkan, jika MHA masih berada dalam satu wilayah kabupaten atau kota, maka usulan cukup diajukan kepada bupati atau wali kota.
Pengusulan MHA diserahkan kepada Panitia MHA yang telah dibentuk oleh kepala daerah dengan melampirkan bukti-bukti atau syarat yang akan diverifikasi. Beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat pengajuan MHA antara lain: sejarah MHA, bentuk pemerintahan adat, wilayah adat, dokumen hukum adat yang berlaku, harta kekayaan, termasuk sumber daya alam, simbol adat, kesenian, dan daerah sakral.
Sembari beristirahat dan duduk di lantai hutan, Hermanto menerangkan bahwa Mungku Baru memiliki nilai sejarah dan adat istiadat kuat yang masih dijaga oleh masyarakatnya. Salah satu legenda terkenal di Kalimantan Tengah juga berasal dari salah satu kelurahan di Kota Palangka Raya ini, yaitu Bawi Kuwu.
“Selain legenda peninggalan-peninggalan budaya seperti rumah betang, sapundu, sandung, tiang pantar, dan kaleka juga masih ada hingga saat ini. Para keturunan Rawing Tihen dan Talajan yang awal mulanya berkegiatan di hutan ulin pun hingga kini masih hidup,” terangnya.
Hal tersebut menjadi alasan masyarakat ingin mengusulkan diri sebagai MHA. Langkah demi langkah sudah dilakukan oleh masyarakat Mungku Baru sejak tahun 2019 yang lalu untuk melengkapi berbagai persyaratan. Pada 22 Februari 2020 pun, masyarakat sudah melakukan audiensi dengan Wali Kota Palangka Raya.
Hingga akhirnya, pada 27 Oktober 2020 dilakukan rapat panitia MHA untuk validasi dan verifikasi data MHA dan Rekomendasi Panitia MHA. Namun selama proses ini berjalan, ditemukan kendala administratif pada wilayah adat sehingga perlu menggabungkan MHA Mungku Baru menjadi MHA Rungan.
Di waktu yang sama, Wakil Ketua 1 MHA Rungan, Abner menjelaskan bahwa awalnya mengusulkan untuk menjadi MHA Mungku Baru, tapi kemudian dilakukan penggabungan tiga desa. Antara lain Kelurahan Mungku Baru, Desa Bereng Malaka dan Desa Parempei Kabupaten Gunung Mas menjadi MHA Rungan.
“Tiga desa ini bersepakat untuk mengelola Hutan Tabalien. Proses penyatuan ini, MHA Rungan ini perkembangannya tidak hanya mengelola Hutan Tabalien saja, tapi juga Kaleka Siang dan Kaleka Buleng,” tutur pria kelahiran 1957 itu.
Menurut Abner, luas wilayah adat MHA Rungan adalah 46.945,3 hektare yang meliputi Kelurahan Mungku Baru, Desa Bereng Malaka dan Parempei yang berada di Kabupaten Gunung Mas. Untuk mendapatkan pengakuan MHA, ada lima tahapan penetapan yang harus dilewati. Yakni: Pengusulan pengakuan, pelaksanaan identifikasi dokumen, pelaksanaan verifikasi dan validasi dokumen, rekomendasi dari panitia MHA, penetapan pengakuan MHA.
MHA Rungan mendapatkan dampingan dari Borneo Nature Foundation (BNF) Indonesia selama proses pengajuan hingga tahap penetapan. “Akhirnya berkat bantuan BNF dalam setiap proses yang kami lakukan bisa sampai titik terang bahwa MHA Rungan bisa sampai ditetapkan pada 7 November 2022. Kami berharap setelah ini BNF bisa tetap mendampingi kami untuk menjaga kelestarian hutan di Rungan ini,” ucapnya dengan mata penuh harap.
Terpisah, Staf BNF Indonesia, Arso Susetyo mengatakan, BNF Indonesia membantu dalam proses ini untuk penguatan kelembagaan, mulai dari persiapan apa saja yang dibutuhkan masyarakat untuk pengusulan MHA dan lain sebagainya.
“Kami hanya mendampingi dan mendukung keperluan dari masyarakat kepada pemerintah kota, kabupaten maupun provinsi. Layaknya jembatan kecil yang dapat membantu menghubungkan beberapa mitra yang berwenang untuk jalannya proses ini,”ujar pria kelahiran Magelang itu.
Menurut Arso, berdasarkan definisi MHA dalam Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, dalam pasal 1 angka 31, MHA Rungan telah masuk dalam kriteria tersebut sehingga dapat mengusulkan untuk ditetapkan dan diakui sebagai satu kesatuan masyarakat adat oleh Pemprov Kalteng.
Seiring perjalanan waktu dan proses yang cukup panjang, atas bantuan berbagai pihak mulai dari panitia MHA Kota Palangka Raya dan panitia MHA Kabupaten Gunung Mas, Gubernur Kalteng melalui surat keputusan nomor 188.44/436/2022 menetapkan MHA Rungan sebagai kesatuan MHA.
“Saat ini kami sedang menunggu Bapak Gubernur Kalteng menyerahkan SK tersebut secara langsung dan kami sangat mengapresiasi dan memberikan ucapan terima kasih atas dukungan beliau,” ucapnya.
“Ini satu-satunya MHA yang berada dalam lintas wilayah Kabupaten/Kota di Indonesia,”tambahnya.
MHA Rungan telah memperjuangkan hak untuk mendapatkan legalitas hutan adat dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pada 18 September 2023 lalu KLHK sudah memberikan secara resmi SK Hutan Adat dalam rangkaian Festival LIKE di Jakarta.
“Harapannya hutan adat MHA Rungan dapat dimanfaatkan untuk salah satu sumber kehidupan dan juga dapat menjadi ekowisata karena wisata budaya cukup berpotensi di Bumi Tambun Bungai sekaligus mengenalkan budaya dan hutan sekaligus menjaga kelestariannya.” tutupnya.
Abner dan warga lainnya merupakan penjaga humba tabalien. Mereka punya banyak harapan akan hutan itu, namun satu hal yang mereka yakini, masyarakat adat yang terlindungi dan diakui merupakan penjaga hutan yang baik.(jpb-bnf/ram)