Site icon KaltengPos

Tidak Pernah Menerima Ajaran Menyimpang, Berharap Ponpes Tidak Ditutup

Alexander

PALANGKA RAYA-Akhir-akhir ini, nama Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Zaytun ramai diperbincangan. Kontroversi bermunculan terkait ponpes yang terletak di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Jabar) itu. Salah satunya mengenai tudingan ajaran pendidikan yang dinilai sesat atau di luar ajaran Islam. Permasalahan ini membuat para alumni ponpes tersebut yang kini tersebar di berbagai penjuru Indonesia angkat bicara, termasuk alumni di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Kalteng Pos mewawancarai lulusan Al-Zaytun tahun 2007 bernama Alexander. Alumnus Ponpes Al-Zaytun yang kini tinggal di Kota Pangkalan Bun, menceritakan panjang lebar tentang Ponpes Al-Zaytun dan pengalamannya selama mengenyam pendidikan di ponpes yang dipimpin Panji Gumilang tersebut.

Alexander menempuh pendidikan di Ponpes Al-Zaytun tahun 2001 hingga 2007. Selama enam tahun ia mengenyam pendidikan jenjang pendidikan SMP hingga SMA di ponpes tersebut. Pria 33 tahun itu mengaku tidak pernah mendapatkan pengajaran yang aneh dan menyimpang.

“Pembelajarannya seperti biasa, pagi hari kami sekolah dan mendapatkan mata pelajaran umum, seperti matematika, fisika, kimia, dan lainnya. Kalau untuk pelajaran agama, kami belajar nahwu, shorof, mahfuzah, tidak ada hal tidak lazim yang diajarkan, intinya sama seperti ponpes-ponpes lain,” ungkap Alexander kepada Kalteng Pos saat dihubungi via sambungan telepon, Minggu (9/7).

Ia menegaskan, pembelajaran di Ponpes Al-Zaytun sama seperti pada ponpes umumnya. Hanya saja, lanjut Alexander, pembelajaran agama Islam pada beberapa mata pelajaran tidak sedalam ponpes-ponpes lain.

“Mungkin tidak sedalam yang ada di pesantren lain, misalnya pengajaran Kitab Kuning, di sini (Ponpes Al-Zaytun, red) tidak ada,” ucapnya.

Pria asal Medan itu mengaku tidak mengetahui kurikulum dan proses belajar mengajar terkini di Ponpes Al-Zaytun. Namun ia meyakinkan bahwa selama dirinya belajar di Ponpes Al-Zaytun (2001-2007), tidak ada pelajaran-pelajaran aneh atau menyimpang yang didapatkannya.

“Semenjak lulus, saya tidak lagi tahu lagi kurikulum yang diterapkan di Al-Zaytun, fokus ke urusan masing-masing. Yang ingin saya tekankan, selama saya belajar di sana, tidak ada ajaran aneh seperti yang banyak diberitakan sekarang, tolong dibedakan antara kondisi Al-Zaytun yang dahulu dengan yang sekarang,” tegasnya.

Pemberitaan yang banyak beredar di publik saat ini, tutur Alexander, hampir menyeragamkan kondisi Ponpes Al-Zaytun kini dan dahulu. Padahal, santri yang belajar di Al-Zaytun pada masanya, tidak pernah menerima pelajaran yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Jangan sampai, lanjutnya, alumni atau santri yang sudah lama lulus disamaratakan dengan alumni baru.

“Seperti apa kurikulum yang dijalankan di ponpes (Al-Zaytun, red) sekarang, saya tidak tahu, tetapi yang jelas, ajaran-ajaran seperti saf salat yang renggang dan adzan yang menghadap makmum, waktu itu tidak pernah diajarkan, kalau sekarang kan ada diajarkan yang seperti itu, saya tidak tahu apakah ada perubahan kurikulum atau tidak,” terangnya.

Ditanya terkait sosok Panji Gumilang, Alexander menuturkan, selama dirinya menjadi santri di ponpes tersebut, Panji tidak pernah memberikan pengajaran-pengajaran seperti yang ada sekarang. Misalnya, bernyanyi lagu ritus agama Yahudi Havenu Shalom Alechem, salat berjarak, dan saf jemaah laki-laki dan perempuan yang bisa bercampur.

“Kalau ekskul musik ada, tapi lebih ke sarana untuk menyalurkan bakat santri, tidak ada yang mengarah ke menyanyikan lagu-lagu ritus dalam agama-agama tertentu,” ungkapnya.

Mengenai indikasi adanya keterkaitan Ponpes Al-Zaytun dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) dan kontroversi Panji Gumilang seperti mazhab Soekarno, Alexander meminta agar pemahaman terkait Al-Zaytun dipisahkan dengan pemahaman terkait gerakan NII. Menurut pria kelahiran 17 Juli 1989 itu, eksistensi Ponpes Al-Zaytun dengan NII berbeda. NII adalah organisasi pergerakan untuk mewujudkan Negara Islam Indonesia, sedangkan Ponpes Al-Zaytun berfokus pada bidang pendidikan, seperti pendidikan umum dan pendidikan agama Islam, bukan dalam misi pergerakan.

“Sekarang malah beredar informasi tentang adanya mazhab Soekarno dan anjuran untuk menyanyikan lagu agama tertentu. Kalau dari pandangan saya, agak kecewa dan bingung sih, kenapa seperti ini, padahal dahulu enggak ada yang aneh-aneh seperti sekarang ini, dahulu bagus saja kok, jadi saya sebagai alumni cukup kecewa,” ungkap pria yang pernah menempuh pendidikan magister di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University.

Menanggapi pemberitaan terkait adanya ajaran boleh berzina asalkan membayar sejumlah uang, sebagai alumni Ponpes Al-Zaytun, ia mengaku sama sekali tak pernah menerima ajaran seperti itu.

“Itu yang kami ingin luruskan. Selama menjadi santri, kami tidak pernah menerima ajaran yang menyimpang. Pola pikir beliau (Panji Gumilang, red) berdasarkan penilaian kami sebagai santri waktu itu, memang memiliki pandangan jauh ke depan, gagasan yang bagus, jadi tidak ada yang aneh selama kami belajar di sana,” tegasnya.

Alexander berharap, siapa pun yang tidak tahu kondisi riil atau pernah belajar di Ponpes Al-Zaytun, jangan memberikan stempel bahwa proses pembelajaran di dalam ponpes itu sesat. Perihal Ponpes Al-Zaytun yang terkesan tertutup dari dunia luar, Alexander mengatakan kurang paham maksud pernyataan itu. Yang ia tahu bahwa, para santri memang tidak dibolehkan keluar, sama seperti aturan ponpes pada umumnya.

“Mesti dibedakan nih, tertutup seperti apa, apakah dia berstatus sebagai guru atau sebagai santri, kalau sebagai guru masih ada keleluasaan untuk keluar dari wilayah Al-Zaytun, tetapi kalau santri memang tidak boleh, aturan seperti itu sama di semua pesantren,” ujarnya.

Mengenai mazhab-mazhab yang diajarkan di Ponpes Al-Zaytun, Alexander menyebut tidak ada pembelajaran spesifik tentang itu. Mungkin ada beberapa pesantren yang mengidentikkan corak mazhab tertentu, seperti mazhab maliki atau mazhab syafi’i, tetapi itu tidak ada di Ponpes Al-Zaytun. Ia juga tidak tahu apakah corak Ponpes Al-Zaytun adalah Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama (NU).

“Apa pun pelajaran agama yang diajarkan kepada kami di pesantren itu, tidak ada yang menyimpang dari keempat mazhab yang ada, itu yang saya tahu selama belajar  di sana, waktu itu semuanya normal seperti yang diketahui masyarakat luas,” tuturnya.

Hingga saat ini kontroversi terkait Ponpes Al-Zaytun masih terus bergulir. Panji Gumilang selaku pendiri menjadi sorotan publik. Alexander sebagai alumnus berharap agar Ponpes Al-Zaytun tetap mengajarkan hal-hal yang sesuai ajaran Islam.

“Orang-orang yang menyimpang, lebih baik disingkirkan, dalam artian digantikan atau diberhentikan dari Ponpes Al-Zaytun, khususnya untuk yang menyimpang dan orang-orang yang menjadi pengikutnya,” ucap pria yang sudah menetap di Pangkalan Bun sejak 2017 lalu.

Alexander berharap Ponpes Al-Zaytun tidak sampai ditutup, karena merupakan tempat yang bagus untuk pendidikan. “Namun kembali lagi pada keputusan negara,” tambahnya.

Pria yang berprofesi sebagai dosen pada salah satu kampus swasta di Pangkalan Bun itu berpesan kepada anak-anak muda yang tertarik ingin mendaftar dan menempuh pendidikan di Ponpes Al-Zaytun, agar mendiskusikan dahulu dengan orang tua sebelum mengambil keputusan.

“Bagi para santri yang sudah masuk dan saat ini tengah belajar di Ponpes Al-Zaytun, diharapkan bisa memiliki pikiran yang terbuka dan bijaksana membedakan ajaran yang benar dan yang tidak benar,” tandasnya. (dan/ce/ala)

Exit mobile version