Site icon KaltengPos

Baliho Liar Merusak Estetis Kota, Pekan Ini Pemko Akan Menertibkan

PALANGKA RAYA-Keberadaan baliho-baliho liar alias tanpa izin tengah menjamur di Kota Palangka Raya. Keindahan Kota Cantik dirusak oleh berbagai reklame liar yang menghiasi ruas-ruas jalan dan area publik. Sejumlah ruas jalan dan tempat yang dilarang berdasarkan regulasi yang berlaku, justru dipenuhi baliho-baliho liar.

Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya menyebut akan menertibkan baliho-baliho liar itu dalam pekan ini. Sebab, tak sedikit baliho yang justru dipasang pada lokasi atau area publik yang dilarang untuk dipasang baliho. Pemasangan reklame pun harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Palangka Raya.

Kepala DPMPTSP Kota Palangka Raya Akhmad Fordiansyah melalui Kepala Bidang (Kabid) PTSP I Rudi Listianto mengungkapkan, pihaknya akan segera melakukan penertiban dalam pekan ini, tepatnya besok atau Rabu (13/9).

“Reklame ini kan ada yang sifatnya permanen dan ada yang insidental. Untuk poster-poster yang beredar saat ini, khususnya poster-poster caleg, kebanyakan dalam bentuk banner yang sifatnya insidental, tidak bertahan lama alias untuk jangka waktu yang relatif sebentar,” bebernya kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang kerja, Senin (11/9).

Rudi menyebut, pemasangan baliho harus mendapatkan izin dari pihaknya. Jika dipasang tanpa ada izin dari DPMPTSP Kota Palangka Raya, maka pihaknya bisa saja menertibkan.

“Banner itu harus berizin. Selama tidak berada di lokasi yang dilarang, silakan saja dipasang. Terkait lokasi masa saja yang dilarang dan dibolehkan, itu sudah ada ketentuan,” sebutnya.

Ia menyebut, ada 16 tempat atau area dibolehkan untuk dipasang baliho atau banner. Tempat-tempat itu tersebar di sejumlah titik di Kota Palangka Raya. Baliho berizin bisa bebas dipasang pada tempat itu jika masih memungkinkan. Tak hanya itu, baliho juga sebaiknya tidak boleh dipasang di dekat lampu merah.

“Kalau di tengah-tengah trotoar jalan, beberapa di antaranya bisa, tetapi bannernya harus vertikal (tegak), bukan horizontal,” ucapnya.

Rudi menyebut, banner yang biasanya bermasalah adalah yang dipasang di dekat persimpangan jalan, karena berpotensi mengganggu pandangan pengguna jalan. Selain itu, tak sedikit reklame yang dipasang di pohon-pohon atau tiang listrik di pinggir jalan.

“Kami akan efektifkan. Kalau memang reklame-reklame itu berizin, tetapi dipasang pada tempat yang tidak seharusnya, maka akan dipindahkan. Tapi kalau memang tak berizin, langsung ditertibkan,” terangnya.

Ditanya terkait berapa banyak reklame yang tidak berizin, Rudi menyebut pihaknya tidak dapat memastikan, karena sejauh yang pihaknya amati selama ini hanya yang memiliki izin.

Rudi menyebut ada sejumlah tempat yang dilarang untuk dipasang reklame. Sebagimana diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Palangka Raya Nomor 22 Tahun 2014. Tempat-tempat dimaksud yakni pagar-pagar kantor, tempat ibadah, tempat pendidikan, fasilitas umum, dan di pagar-pagar taman kota.

“Termasuk yang dipasang di pohon-pohon, itu tidak boleh,” tegasnya.

Adapun ciri-ciri reklame yang berizin, sambung Rudi, khusus yang berbentuk banner, pada umumnya terdapat tanda tangan beserta keterangan waktu awal pemasangan dan batas waktunya.

“Biasanya ada petugas kami yang akan memberi tanda. Masa pasang spanduk ini tergantung keinginan si pemasang, bisa satu minggu hingga beberapa bulan,” jelasnya.

Rudi mengimbau pihak-pihak yang ingin memasang reklame agar mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Pemko Palangka Raya. Ia menyadari bahwa menjelang pemilu 2024, sejumlah pihak berkepentingan untuk menyosialisasikan diri kepada masyarakat.

“Namun sesuai dengan peraturan Pemerintah Kota Palangka Raya, reklame-reklame yang dipasang harus berizin. Kami harap pihak yang berkepentingan itu mengurus izin,” tuturnya.

Sementara itu, akademisi yang merupakan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Palangka Raya (UPR), Paulus Alfons Yance Dhanarto berpendapat, baliho caleg, capres, cagub, cabup/cawalkot, dan lain-lain merupakan polusi visual dan indikasi tidak beretikanya praktisi politik.

“Dalam analisis politik, fenomena itu menunjukkan kurangnya pemahaman para politisi mengenai politik dan demokrasi. Satpol PP berwenang untuk melakukan penindakan,” ujarnya kepada Kalteng Pos, kemarin.

Paulus menyebut, pemerintah kota wajib melakukan penertiban dengan mengikuti aturan dan tata perizinan terkait iklan dan reklame yang berlaku di Kota Palangka Raya. Adanya oknum-oknum yang memasang baliho sembarangan dapat diproses secara hukum dan diberikan sanksi sesuai aturan.

“Poster para calon yang dipasang tanpa izin, bahkan pada lokasi yang tidak dibolehkan, menunjukkan kecenderungan untuk sewenang-wenang dan tidak paham aturan. Jika sebelum menjabat/terpilih sudah begitu, apalagi saat sudah menjabat,” sebutnya.

Menurut pria yang merupakan Staf Biro Penelitian dan Pengembangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng itu, politik tidak hanya soal kekuasaan, tetapi menekankan pada moralitas dan etika. Perampasan ruang publik dengan baliho/poster/reklame calon pejabat publik yang tidak sesuai prosedur, menunjukkan situasi yang disebut demokrasi palsu.

Jika disimpulkan dari persoalan baliho liar para politikus, dosen tamatan International Development Flinders University itu berpendapat, calon-calon pemegang mandat rakyat dalam konteks ini lebih mengutamakan foto muka dibandingkan komitmen, visi dan misi, atau program kerja.

“Pada sisi lain, demokrasi palsu juga ada di ranah calon pemilih. Ini yang membuat pemilu menjadi berbiaya mahal dan berkorelasi dengan korupsi. Selain para calon, partai politik juga bertanggung jawab atas polusi visual, perampasan ruang publik, dan demokrasi palsu ini,” tandasnya.(dan/ce/ala)

Exit mobile version