PALANGKA RAYA- Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) termasuk dalam perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia saat ini. Pertumbuhan ekonomi sektor industri sawit terbilang sangatlah cepat. Kecenderungan stabiltas harga dan stabilitas pertumbuhan yang terus naik membuat sektor perkebunan kelapa sawit menjadi primadona.
Membina dan menyentuh kebutuhan, keinginan masyarakat sudah menjadi kewajiban perusahaan besar sawit (PBS) yang ada di Kalteng. Lalu, menciptakan kemitraan strategis saling menguntungkan dan menguatkan masing-masing pihak.
Namun, sejauh ini, riak-riak selalu muncul. Salah satunya adalah persoalan kemitraan atau yang lebih familiar disebut pembangunan kebun rakyat (plasma) oleh masyarakat, khususnya di sekitar PBS. Makna plasma 20 persen itu masih multitafsir. Pengertian berbeda berbeda-beda di mata masyarakat. Masyarakat masih bingung. Regulasi terkait kewajiban plasma masih menimbulkan perdebatan dan berpotensi konflik. Terlebih, regulasi regulasi baru dikeluarkan menimpali yang sebelum-sebelumnya.
“Plasma itu program pemerintah. Banyak modifikasi dan persepsi yang terjadi. Bagi kami, kemitraan itu luas. Kemitraan yang kami inginkan ya yang sesuai regulasi pemerintah,”ujar Halind, Sekretaris Eksekutif Gapki Kalteng didampingi pengurus Gapki Kalteng, Kana, Iwan Kusnandar dan Sigit kepada wartawan, Rabu (19/10/2022).
Seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) RI Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 jo Nomor 39 tahun 2014. Pada pasal 11, perusahaan perkebunan yang memiliki IUP/IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
“Terkait hal di atas, sudah dijelaskan dengan surat DirJenbun bahwa 20 persen tersebut tidak di dalam HGU atau izin lokasi/IUP yang dimiliki perusahaan,”ucap Halind.
Bagi kebun sawit yang dibangun setelah tahun 2007, namun belum punya plasma dan sulit mendapatkan lahan, telah diberikan solusi oleh pemerintah. Yakni dengan kegiatan kemitraan dalam bentuk lain. Seperti kegiatan penyediaan hewan ternak atau budi daya perikanan.
Sebelum tahun 2007 memang tidak ada kewajiban. Karena telah medapatkan tugas dari untuk melaksanakan program perkebunan inti rakyat (PIR). “Jadi banyak perusahaan sawit di Kalteng telah membangun plasma melalui program tadi. Karena sudah tidak mungkin menyiapkan plasma berupa lahan yang ditanami sawit,”sebutnya.
Sesuai dengan perkembangan, Permentan RI Nomor 26 tahun 2007 direvisi lagi dengan Permentan RI Nomor 98 tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Perkebunan. Pasal 15 ayat 1, perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 hektare atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20 persen dari luas areal IUP/IUP-B.
Di dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 tahun 2021 Pasal 12 menyatakan: Perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari area penggunaan lain yang berada di luar HGU dan atau area yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. “Jika mengacu revisi itu perusahaan hanya memfasilitasi. Misal, membantu menguruskan sertifikat, menyiapkan bibit, dan menyiapkan tenaga. Pemerintah yang menyiapkan lahan,”tambah Sigit.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 tahun 2021 dalam Pasal 16 menyatakan Fasilitasi Pembangunan kebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dapat dilakukan melalui: Pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak dan bentuk kemitraan lain.
Dalam Pasal 7 di Permentan 18/2021, menyebutkan bahwa bentuk kemitraan lain dilakukan pada kegiatan usaha produktif perkebunan. Di antaranya, di subsistem hulu, subsistem kegiatan budi daya, subsistem hilir, subsistem penunjang, fasilitasi kegiatan peremajaan tanaman perkebunan masyarakat sekitar, dan atau bentuk kegiatan lain. Kemitraan lainnya tersebut dilaksanakan berdasarkan nilai optimum yang akan ditetapkan secara berkala oleh Direktur Jendral Perkebunan. Untuk itu, setelah ditetapkan nilai optimum tersebut, diharapkan pelaksanaan kemitraan dapat dijalankan dengan maksimal.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, mengakibatkan perlunya tindak regulasi terhadap ketentuan dalam undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan menteri yang dianggap banyak menimbulkan masalah dan multitafsir terhadap pasal dan ayat tertentu yang ditetapkan sebelumnya.
“Nah, aturan-aturan tersebut tidak semua dipahami oleh masyarakat. Oleh untuk itu, Gapki Kalteng berharap pemerintah bisa memberikan penjelasan dan pemahaman kepada masyarakat agar ada persamaan persepsi,”ungkap Halind mewakili Ketua Gapki Cabang Kalteng, Dwi Dharmawan
Dengan demikian, strategi pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat, terkhusus yang ada sekitar perkebunan kelapa sawit dapat terwujud melalui peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.(ram)