PALANGKA RAYA-Badut jalanan sudah lama eksis di Kota Palangka Raya. Bermodalkan kostum karakter film kartun seperti Doraemon, Mickey Mouse, Boyboy, Upin & Ipin, maupun kelinci, mereka beraksi di beberapa ruas jalan protokol dan pusat keramaian yang ada di ibu kota Provinsi Kalteng ini.
Andriyati (42) merupakan salah satu badut di Palangka Raya. Bekerja dengan membawa serta anaknya. Bermodalkan kostum badut berbentuk kelinci warna biru liris putih, tiap pagi ibu lima anak itu berangkat dari rumahnya di Jalan Murdjani menuju SPBU di Jalan Tjilik Riwut Km 6,5. Membawa serta anak keempatnya yang masih berusia tujuh tahun. Dari pukul 07.00 WIB sampai 11.00 WIB, Andriyati berdiri di pintu keluar SPBU tersebut. Ia terpaksa menjadi badut jalanan demi menghidupi lima anaknya, karena sang suami yang tinggal di Banjarmasin sedang sakit.
Wanita kelahiran Banjarmasin itu menjadi badut jalanan sejak 2020 lalu di tanah kelahirannya. Menjadi badut di Palangka Raya baru dua bulan belakangan. Ia memutuskan pindah ke Palangka Raya karena penghasilan yang ia dapatkan di Tanah Banua sangat lesu.
“Di Banjar susah, kami dapat penghasilan sedikit, baru dua bulan kemarin pindah ke Palangka Raya, alhamdulillah di sini lumayan,” tutur wanita kelahiran 1982 itu.
Andriyati mengaku menjadi badut dengan membawa serta anak baru dilakukannya saat beraksi di Palangka Raya. Waktu di Banjarmasin, tidak membawa serta anak karena sudah ada yang menjaga di rumah. Namun, dia tidak menampik bahwa penghasilan yang didapatkan sehari-hari dengan membawa anaknya memang bisa lebih banyak.
“Memang selain karena dia tidak bisa tinggal di rumah oleh enggak ada yang jaga karena anak-anak saya yang lain masih kecil, alasan saya bawa dia juga karena bisa dapat uang lebih banyak,” beber Andriyati.
Andriyati terpaksa harus membiarkan anaknya putus sekolah karena keterbatasan ekonomi. Anak berusia tujuh tahun itu harus menunda sekolah satu tahun mengikuti ibunya menjadi badut jalanan. Kendati tidak terlihat rasa sedih dalam raut wajahnya, terselip keinginan mendalam untuk melanjutkan sekolah seperti anak-anak seusianya.
“Pengen sekolah,” tutur putri Andriyati.
Sambil menemani ibunya bekerja, anak itu duduk persis di samping ibunya yang berdiri melambai-lambai pembeli. Beralaskan lantai cor-coran SPBU yang kasar. Sesekali, tangan mungilnya lincah mengambil camilan dan minuman botol dari plastik hitam yang dibawanya. Plastik hitam itu juga menjadi tempat menyimpan uang hasil pekerjaan ibunya. Meski agak malu-malu, anak itu mampu membaca dan lumayan supel.
Ketika ditanya apakah anaknya itu akan kembali disekolahkan, Andriyati ragu-ragu untuk menjawab. Namun dia memang mengaku memiliki keyakinan akan menyekolahkan anaknya tahun ini, setelah penghasilannya cukup untuk membiayai sekolah.
“Sudah cukup anak saya yang lainnya putus sekolah, kakak-kakaknya, jangan sampai dia lagi yang putus sekolah, mudah-mudahan tahun ini habis memasuki semester baru, saya mampu menyekolahkan dia,” tutur Andriyati setengah memelas dan penuh harap. Topeng badutnya itu kemudian dipakainya kembali dan melanjutkan pekerjaan.
Badut lain yang membawa anak adalah Sari (40). Hampir tiap hari ia duduk di trotoar dekat pintu keluar SPBU Jalan A Yani. Juga membawa serta anak keempatnya yang belum genap berusia lima tahun. Wanita asal Teluk Tiram itu mengaku menjadi badut sejak dua bulan lalu. Ia pindah dari Banjarmasin karena pekerjaan yang tidak menentu. Di sana ia juga bekerja sebagai badut jalanan.
Sejak pagi pukul 09.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB, wanita itu duduk di trotoar jalan bersama anak perempuannya, Siti Aisah. Keduanya duduk menghadap jalan. Padahal posisi trotoar sangat mepet dengan garis putih pembatas jalan. Tiap hari Sari dan anak balitanya harus kuat melihat kendaraan roda empat ataupun roda dua lewat dekat mereka. Tak jarang jantung dibuat berdebar. Nyawa pun jadi taruhan.
“Harus kuat, mas, memang begitu di sini, selain memerhatikan keselamatan saya, saya juga harus memerhatikan keselamatan anak saya, kalau geser di tempat lain enggak bakal dapat banyak,” ungkap Sari.
Sari tetap bekerja meski dalam kondisi mengandung. Enam bulan usia kandungan. Brojol perut tampak jelas pada kostum badut kusam berwarna biru muda berbentuk Doraemon yang dikenakannya. Menjadi badut merupakan pilihan yang terpaksa diambil demi mencari nafkah. Sang suami yang juga ikut merantau ke Kota Cantik sejak dua bulan lalu, belum menemukan pekerjaan tetap.
“Waktu di Banjar dulu suami kerja bangunan mas, tapi pas di sini belum ketemu proyek, enggak ada kenalan di sini. Di Banjar kemarin sejak pandemi, proyek sepi,” ungkapnya.
Tiap hari Sari membawa serta anaknya. Hal itu ia lakukan dengan motif mencari keuntungan. Sebab, kata Sari, penghasilan yang ia dapatkan lebih banyak saat membawa serta anak ketimbang saat bekerja sendirian.
“Kalau saya bawa anak, paling jam 12 siang saya sudah bisa dapat Rp100 ribu. Kalau enggak bawa anak, saya baru bisa dapat penghasilan segitu kalau kerja seharian, itu pun harus keliling-keliling,” tuturnya.
Ketika ditanya apakah akan menyekolahkan anaknya ke PAUD, ia memastikan akan menyekolahkan saat penghasilan yang ia dapatkan mencukupi.
“Saya juga enggak mau selamanya jadi badut, nanti setelah duit terkumpul, saya mau jualan saja,” ucapnya.
Menyikapi keberadaan badut jalanan yang membawa anak saat beraksi di Kota Cantik ini, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP3KBP3) Kota Palangka Raya Ellya Ulfah SSos MAP mengatakan hal seperti itu merupakan bentuk eksploitasi anak. Pihaknya sudah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para badut agar tidak melakukan hal seperti itu. Akan tetapi aksi serupa diulang kembali.
Berdasarkan pantauan pihaknya di lapangan, ada beberapa badut yang membawa anak yang bukan anak kandung.
Eksploitasi anak merupakan suatu tindakan memanfaatkan anak-anak secara tidak etis untuk kepentingan ataupun keuntungan para orang tua maupun pihak tertentu. Salah satunya adalah keuntungan secara ekonomi. Dalam pasal 76I UU Nomor 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi atau seksual terhadap anak.
“Ya, mereka melandasi tindakan mereka karena alasan ekonomi, biasanya yang mereka bawa itu bahkan bukan anak mereka sendiri, tapi pinjem anak orang, tapi mereka selalu mengaku bahwa itu anak kandungnya,” tutur Ulfah kepada Kalteng Pos saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (20/1).
Ulfah menjelaskan dari kacamata ramah anak, apa yang dilakukan oleh badut itu juga sangat tidak ramah anak. Hak-hak dasar anak yang seharusnya dapat menikmati masa kecil dengan bermain dan belajar, direnggut karena dibawa bekerja di bawah terik matahari dan debu di jalanan.
“Sudah kami imbau lewat pendekatan persuasif, juga kami ingatkan bahwa masih banyak pekerjaan lain yang lebih layak, tapi kayaknya pekerjaan itu lebih menjanjikan bagi mereka,” ucapnya.
Dikatakannya, anak yang dibawa para badut rata-rata merupakan anak berusia di bawah lima tahun dan belum bersekolah. Kendati belum bersekolah, anak punya hak untuk dapat menikmati hidup di usia emasnya (0-12 tahun). Seharusnya diayomi, disayangi, dan diberi penghidupan, bukan dibawa ke jalanan untuk bekerja.
Selain itu, nilai-nilai ramah anak yang dilanggar badut yang membawa anak di antaranya ada pada poin-poin nilai 31 hak anak. Di antaranya adalah hak anak untuk hidup, bermain, sekolah, mempunyai KIA, dan memperoleh kesejahteraan.
“Jadi ada 31 hak anak, seperti hak untuk hidup, bermain, sekolah, dan mempunyai KIA, mereka kan kadang-kadang pendatang, itu kadang tidak didapatkan oleh anak mereka,” tuturnya.
Terkait upaya penertiban, Ulfah menjelaskan, tugas pihaknya terbatas pada upaya persuasif seperti melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para badut. Koridor tugas terbatas pada pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Berkenaan dengan pemberdayaan ekonomi dan pemberian bantuan, pihaknya harus bekerja sama dengan dinas terkait, seperti dinas sosial (dinsos).
Terkait tindakan yang dilakukan oleh badut yang membawa serta anak-anak saat bekerja, Ulfah mengakui bahwa para badut memang memanfaatkan anak-anak untuk mencari nafkah dengan menguras rasa belas kasih orang. “Itu tindakan memanfaatkan anak, harusnya enggak boleh ada, seharusnya anak berada di rumah, melakukan aktivitas yang sesuai dengan usianya,” tandasnya.
Sementara itu, dosen Prodi Bimbingan Konseling Islam IAIN Palangka Raya sekaligus praktisi psikologi Gerry Olvina Faz mengatakan, badut yang membawa serta anak termasuk kategori eksploitasi anak, jika ada unsur kesengajaan untuk mendapat belas kasihan orang lain dengan membawa serta anak. Akan tetapi, lanjut Gerry, jika disebabkan karena ketiadaan pilihan, maka menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan tempat aman bagi anak-anak tersebut agar bisa belajar dan bermain selama orang tua mereka bekerja.
Dikatakan Gerry, orang tua yang membawa serta anak saat bekerja tentu sangat tidak ramah anak. Pada usia yang masih sangat belia, sang anak terpaksa berhadapan dengan pekerjaan orang tua. Tidak sesuai dengan umurnya yang seharusnya difasilitasi untuk diberi pengajaran awal kehidupan.
“Usia 4-5 tahun adalah waktu untuk mereka mendapatkan pendidikan anak usia dini. Usia satu tahun, anak perlu ruang untuk eksplorasi dalam mengembangkan motoriknya. Ketika ikut orang tuanya bekerja, maka hal ini enggak bisa terfasilitasi secara baik,” jelas wanita yang menjabat wakil ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Kalteng itu kepada Kalteng Pos, Jumat (20/1).
Usia empat sampai tujuh tahun, ujar Gerry, masih masuk kategori masa belajar dan bermain. Anak perlu mendapatkan stimulus yang sesuai. Berada di jalanan sepanjang hari, selain berisiko terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa, juga ada risiko terhadap perkembangan mereka karena kurang stimulasi.
“Kemampuan berpikir, keterampilan gerak, kemampuan bahasa, hingga kemampuan sosial bisa saja bermasalah,” tuturnya.
Dalam empat tahun usia anak ia sudah harus mendapatkan pendidikan usia dini. Sementara tujuh tahun sudah masuk usia sekolah dasar. Mereka butuh lingkungan untuk mengembangkan keterampilan sosialnya seperti di sekolah atau saat main dengan anak-anak seumuran di sekitar rumah.
“Di usia itu mereka harusnya mendapatkan pendidikan sehingga memperbesar peluang mendapatkan kehidupan yang lebih baik ke depan, mendapatkan penanaman moral sehingga dapat menjadi individu yang bisa menyesuaikan diri dengan aturan masyarakat,” jelas alumnus Pendidikan Profesi Psikologi Anak Universitas Indonesia itu.
Untuk menangani hal itu, Gerry menyebut perlu ada asesmen terkait persoalan utamanya, lalu merencanakan intervensi dan mengevaluasi penanganan. “Selain itu carilah support system sehingga bisa ikut menjaga anak-anak saat mereka bekerja. Cari akses bantuan pemerintah yang bisa memfasilitasi anak-anak saat orang tua mereka bekerja,” tandasnya.
Dihubungi terpisah, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Muhammadiyah Palangkaraya (UMPR) Farid Zaky Yopiannor SSos MSi mengatakan, fenomena badut jalanan merupakan salah satu ciri kemiskinan perkotaan. Adapun sifat kemiskinan perkotaan yang melekat dalam identitas badut itu bersifat kultural, budaya. Karena kebanyakan orang menjadi badut jalanan karena merupakan pilihan terakhir.
“Menjadi badut jalanan itu merupakan pilihan terakhir, alasan pertama karena enggak mampu bersaing dengan SDM di perkotaan, mau bekerja di sektor informal tapi skill terbatas, ini semua dipicu karena tekanan ekonomi,” jelas Zaky kepada Kalteng Pos via telepon WhatsApp, Jumat (20/1).
Menurutnya masalah ini perlu mendapat perhatian pemerintah selalu pemangku kebijakan. Kebijakan yang diterapkan untuk menanggulangi fenomena sosial badut jalanan itu tidak cukup hanya sebatas melalui penertiban, tapi juga ada kebijakan komprehensif yang betul-betul menyentuh dasar permasalahan.
Dasar permasalahan yang dimaksud Zaky adalah karena berdasarkan analisis sosial, munculnya badut jalanan disebabkan minimnya keterampilan kerja. Maka dari itu, perlu ada kebijakan berkelanjutan dari pemerintah. Salah satunya membekali para badut jalanan dengan keterampilan.
“Perlu ada kebijakan komprehensif, bukan hanya bersifat temporer seperti razia Satpol-PP. Semestinya ada kebijakan berkelanjutan terkait pelatihan untuk mereka. Tentunya harus berbasis data sehingga tepat sasaran,” jelas alumnus Universitas Lambung Mangkurat Jurusan Ilmu Administrasi Negara tahun 2013 itu.
Untuk menyelesaikan persoaan ini, lanjut Zaky, dalam hal solusi memang perlu porsi pemerintah yang paling banyak karena mereka punya sumber daya secara politik untuk membuat kebijakan.
“Kalau untuk jangka pendek, berikan orang tuanya keterampilan melalui pelatihan. Sementara untuk solusi jangka panjang, pemerintah bisa menggandeng dinas tenaga kerja maupun pihak swasta untuk mengakomodasi mereka setelah memiliki keterampilan,” jelas pria yang tengah mengambil studi S-3 di Universitas Brawijaya itu.
Zaky menyarankan agar pemerintah membuat kebijakan untuk menggandeng pihak swasta, komunitas kepemudaan, dan lainnya dalam menyosialisasikan kebijakan tersebut.
Perlu Kolaborasi untuk Penanganan Badut Jalanan
Mengenai fenomeda badut jalanan ini, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Palangka Raya, aparat penegak pelanggaran Peraturan Daerah (Perda) tidak mau mengambil keputusan sendiri, apalagi ada perangkat daerah yang ada kaitannya dengan permasalahan Kesejahteraan Sosial.
Kepala Binmas Satpol PP Palangka Raya Meri Kristin mengakui, Satpol PP bukanya tidak menangani hal tersebut, karena berkaitan dengan tupoksi dan pihaknya tidak mau mendahului perangkat daerah terkait yang memang betul-betul menangani permasalahan kesejahteraan sosial, yaitu adanya Badut yang membawa anak-anak.
“Kalau dikatakan penertiban, sebenarnya itu permasalahan kesejahteraan sosial, jujur kami (satpol PP) tidak ingin mendahului tupoksi PD yang menangani permasalahan tersebut, berkaitan dengan ditangani atau tidak, saya yakin permasalahan bersangkutan pasti sudah ditangani,” ungkap Meri Kristin kepada wartawan di ruang kerjanya, kemarin (20/1).
Sebagai bentuk penindakan, lanjut Meri, setiap melakukan patroli rutin memang pihaknya pernah menemui orang berpakaian badut, tetapi membawa anak-anak dan langkah yang diambil yaitu memberikan sosialisasi dan teguran.
“Kita berikan imbauan jangan sampai melakukan aktivitas di tepi jalan yang justru membuat arus lalu lintas macet, karena ada kendaraan yang berhenti untuk memberikan uang. Itu pernah kita lakukan, kita tegur dengan humanis,” jelas Meri.
Satpol PP Kota siap berkolaborasi dengan PD terkait dalam penanganan dan pengamanan apabila memang dibutuhkan untuk melalukan upaya itu, menurut Meri permasalahan itu memang tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, perlu sinergi antar pihak. Karena kebanyakan ada yang melanggar, setelah diberikan pemahaman, malah kembali lagi melakukan hal yang sama.
“Seperti yang pernah terjadi di kawasan Taman Tunggul Sangumang, ada beberapa pengamen yang meminta, dan meresahkan masyarakat, kita tindak tegas katena sudah mengganggu pengunjung sekitar, jadi perlu kerja sama antar pihak menangani hal itu, ada juga badut yang ada di pinggir jalan tidak salah sebenarnya, yang salah itu seperti pengemis, Badut yang memaksa meminta dengan unsur paksaan, itu yang tidak boleh apalagi aktivitasnya di luar tempat kuliner dan tidak mengganggu karena sering kita imbau, kembali lagi jawaban mereka ya terkait Kesejahteraan sosial itu,” tukasnya.
Satpol PP juga mengimbau kepada masyarakat kepada aktivitas yang berkaitan dengan pengemis, apalagi beraktivitas di tempat yang salah, seperti di trotoar, pinggir jalan yang bisa mengganggu aktivitas, sebaiknya jangan memberi kepada pengemis atau yang meminta dengan unsur paksaan.
“Kami tidak melarang untuk masyarakat yang mau memberi rezeki, itu hak semua orang, jangan memberi di tempat yang salah, apabila itu terus terjadi, ya orang yang meminta itu akan di situ saja apalagi di tempat yang salah, mengganggu aktivitas umum,” tegasnya. (dan/ena/ce/ala)