PALANGKA RAYA-Pengadilan Tipikor Palangka Raya kembali menggelar sidang perkara tindak pidana korupsi (tipikor) dengan terdakwa Bupati Kapuas nonaktif Ir Ben Brahim S Bahat dan mantan Anggota Komisi III DPR RI Ary Eghani Ben Brahim. Sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut digelar pada Selasa (19/9).
Saksi yang dihadirkan adalah Sekretaris Daerah (Sekda) Kapuas Septedy, mantan Kepala Dinas Kesehatan Apendi, seorang ASN di Pemkab Kapuas bernama Debi Marcelia Hutapea, dan pengusaha rental mobil bernama Topan. Keempatnya bergiliran memberikan keterangan di depan majelis hakim yang diketuai oleh Achmad Peten Sili SH MH.
Dalam kesaksian, Septedy mengakui bahwa saat menjabat kepala Dinas Badan Penanaman Modal dan PTSP (BPM-PTSP) Kapuas tahun 2017 lalu, dirinya mengetahui perihal pengurusan izin dari beberapa perusahaan perkebunan sawit yang tergabung dalam grup usaha Genting Plantation,Bhd yang mengajukan permohonan izin membuka usaha. “Seingat saya, izinnya waktu itu masih berada di kantor bupati,” kata Septedy ketika ditanya jaksa Yosianika Herlambang.
Ketika ditanya lebih lanjut perihal adanya penyerahan sejumlah uang dari berbagai perusahaan tersebut kepada Ben Brahim lewat Sopir pribadi Kristian Adinata, Septedy mengaku pernah diminta oleh Ary Egahni untuk mengingatkan kepada salah satu perusahaan yakni PT GAL untuk segera mentransfer sejumlah uang yang disebut sebagai uang tiket pesawat.
“Sewaktu saya diminta untuk mengingatkan, tolong ini dibayar uang tiket, gitu aja, Pak,” ucap Septedy yang mengaku tidak tahu awal mula cerita hingga ada penyerahan uang dari pihak perusahaan itu kepada Ben Brahim.
Septedy juga mengaku tidak tahu uang apa yang dimaksud itu. Pesan dari Ari Egahni itu kemudian diteruskan Septedy kepada seorang karyawan PT GAL bernama Johan. Saksi juga membenarkan bahwa uang dari pihak perusahaan ditransfer ke rekening atas nama Kristian Adinata, sopir pribadi Ben Brahim.
Namun saat ditanya jaksa terkait proses penyerahan uang dari Kristian Adinata kepada PT Dimendra Tour (perusahaan travel), Septedy mengaku dia tidak tahu. “Saya cuman mengingatkan untuk menagih (pihak perusahaan) saja, Pak,” kata Septedy.
Septedy juga meluruskan keterangannya yang diberikan dalam BAP penyidik, perihal dirinya merasa dipaksa dan diancam oleh Ary Egahni untuk membeli baju adat guna acara yang diadakan Pemkab Kapuas. Septedy mengaku tidak pernah ada paksaan.
“Saya tidak dipaksa untuk membeli baju itu, jadi saya diminta untuk membeli baju itu, lalu saya bayar,” tuturnya menjawab pertanyaan Romundus Romli, salah satu penasihat hukum kedua terdakwa.
Septedy juga sempat ditanya majelis hakim perihal penyerahan uang dari mantan Kadis Kesehatan Kapuas Arpendi dan Mantan Kadis Pendidikan Kapuas Suwarno kepadanya untuk diserahkan kepada Ben Brahim. Septedy menyebut pernah menerima uang sebesar Rp90 juta dari Arpendi dan Rp50 juta dari Suwarno.
“Jadi Arpendi dan Suwarno menyerahkan uang kepada sopir, sopir menyerahkan uang kepada Anda, lalu Anda menyerahkan uang itu kepada terdakwa ?” tanya hakim adhoc Muji Kartika Rahayu kepada saksi. “Iya,” jawab saksi.
Sementara saksi Arpendi sendiri saat gilirannya memberikan kesaksian, membenarkan adanya penyerahan uang kepada sekda tersebut. “Memang saya ada menyerahkan uang itu kepada Sekda,” kata Arpendi sembari mengaku uang senilai Rp90 juta tersebut merupakan uang pribadinya.
Adapun uang itu digunakan untuk keperluan membayar lembaga survei elektabilitas Ben mengikuti Pilkada Kalteng. Dia juga membenarkan uang itu diserahkan kepada Septedy lewat teman sopirnya.
Arpendi mengaku awalnya ia tidak tahu jika uang tersebut digunakan untuk membayar lembaga survei. Dia juga mengaku, Septedy sendiri tidak mengatakan kepadanya bahwa Ben Brahim sendiri yang meminta atau menyuruhnya untuk menyiapkan uang tersebut. “Memang tidak dibilang itu permintaan dari bupati,” kata Arpendi kepada ketua majelis hakim.
Mantan Kadis Kesehatan itu mengaku bahwa Ben tidak pernah menyampaikan langsung kepadanya soal adanya berbagai permintaan uang dari bupati. Namun ia mengaku sering dimintai untuk menyiapkan sejumlah uang melalui orang suruhan bupati, yakni ajudan bernama Eko dan pegawai penjaga rujab bupati bernama Taufik Khurahman. “Kalau secara langsung kepada saya, tidak pernah,” ujar Arpendi.
Adapun uang yang diminta untuk disiapkan sejumlah Rp500 ribu. Dia menjelaskan, berdasarkan keterangan Eko dan Taufik, disebutkan bahwa uang tersebut digunakan untuk membantu warga yang tertimpa musibah, seperti meninggal dunia, yang sakit, atau mengadakan acara perkawinan.
Selain soal berbagai permintaan uang dari terdakwa Ben dan Ary, Arpendi juga dicecar dengan pertanyaan terkait pembayaran biaya kegiatan resepsi pernikahan dari salah satu anak bupati yang diadakan di salah satu hotel di kawasan Pondok Indah, Jakarta. Namun Arpendi mengaku tidak tahu. Ia mengatakan tidak pernah dimintai uang untuk membayar biaya acara pernikahan dimaksud.
Saksi selanjutnya yang memberi keterangan adalah Debi Marcelia Siahaan mantan ajudan pribadi Ary Egahni. Seusai Debi memberikan kesaksian, terdakwa Ary sempat menangis, lalu ditenangkan oleh sang suami dan beberapa anggota keluarga yang ikut menyaksikan persidangan.
Ary menangis karena menilai kesaksian yang disampaikan dari beberapa saksi, termasuk mantan ajudannya itu, seperti memojokkan dirinya. Mantan anggota DPR RI itu juga beberapa kali membantah dan menyatakan keterangan tersebut tidak benar dan memberatkan dirinya. Termasuk keterangan yang disampaikan mantan ajudannya, Debi.
Dalam kesaksian, Debi menyebut pernah disuruh Ary untuk menghubungi beberapa kepala SKPD dan meminta mereka untuk turut menyumbang dana untuk kelancaran acara pernikahan tersebut.
“Memang ada perintah untuk meminta sumbangan ke kepala SKPD,” kata Debi kepada majelis hakim. “Siapa yang memerintahkan saudara?” tanya ketua majelis hakim. “Ibu,” jawab Debi sembari menambahkan bahwa terdakwa Ben pun tahu perihal perintah itu.
Dikatakan Debi, setelah mendapatkan perintah itu, dirinya kemudian menghubungi beberapa kepala SKPD di lingkup Pemkab Kapuas, seperti Septedy, Aswan (kepada BKD), dan Teras (kepala DPUPR).
Ketika hakim menyebut nama mantan Direktur RSUD Kapuas Agus Waluyo, Debi langsung membantah. “Saya luruskan, Pak Agus Waluyo tidak pernah saya hubungi,” ucap Debi meluruskan keterangan dalam BAP.
Debi kemudian menerangkan bahwa tanggapan dari beberapa kepala SKPD yang dihubunginya itu menyatakan siap untuk menyumbang. “Semua kepala SKPD yang saya minta bilang siap,” terang saksi. Adapun uang sumbangan yang diterima dari para kepala SKPD itu mencapai Rp20 juta.
Sementara permintaan khusus kepada Teras, lanjut Debi, yakni menyiapkan biaya sewa mobil bagi para tamu yang datang menghadiri acara pernikahan anak terdakwa yang digelar di Palangka Raya pada 2019 lalu.
Adapun total biaya sewa mobil mencapai lebih Rp100 juta. Uang itu diserahkan Teras secara bertahap. “Jadi untuk uang pembayaran itu, pertama-tama berupa DP yang langsung saya bayarkan kepada Pak Topan, pemilik rental mobil Rivan Jaya, sisanya dibayarkan bertahap, karena uang yang diserahkan Pak Teras pun bertahap,” terang Debi.
Debi juga membenarkan keterangan yang disampaikannya dalam BAP, bahwa total uang untuk sewa venue acara pernikahan dan biaya katering sekitar Rp492 juta.
Untuk pembayaran biaya tersebut, Debi menyebut menerima uang secara langsung dari Ary Eghani. Namun ia tidak tahu perihal sumber uang tersebut. “Saya tidak tahu sumbernya dari mana, Pak,” kata Debi.
Debi menerangkan bahwa dia pernah disuruh oleh terdakwa Ary untuk menanyakan kepada beberapa kepala SKPD terkait kontribusi barang untuk keperluan sosialisasi persiapan pencalonan Ary Egahni menghadapi pemilu legislatif. Adapun kepala dinas yang dihubunginya yakni Septedy dan Arpendi.
Satu hal yang menarik dari kesaksian Debi adalah adanya fakta bahwa tiap berkomunikasi melalui aplikasi WhatsApp, keduanya menggunakan kode khusus untuk menyebut nama kepala dinas yang dimaksudkan. Debi membenarkan bahwa Ceria merupakan kode yang digunakan untuk menyebut Septedy. Selain itu, ada kode Buster untuk menyebut nama Teras (Kepala DPUPR). Penggunaan kode khusus itu, diakui Debi hanya spontanitas.
“Tidak ada maksud khusus, entah bagaimana, mungkin karena sudah biasa, Pak,” tutur Debi. Menanggapi keterangan yang disampaikan para saksi, kedua terdakwa terutama Ary Egahni membantah seluruh keterangan yang disampaikan mantan ajudannya itu. “Itu semua tidak benar, saya tidak pernah menyuruh itu,” kata terdakwa. (sja/ce/ala)