Karya luar biasa ini ditulis oleh Arbendi I Tue dan Dr Misnawati. Menyuguhkan drama dan tari tentang sejarah perjuangan suku Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng) melawan penjajahan kolonial Belanda. Kemasan tak melulu soal perang. Nuansa kekinian juga dimasukkan. Mulai dari musik, kostum, hingga tarian.
AGUS JAYA, Palangka Raya
SUARA gendang dan beduk terdengar bertalu-talu. Ekspresi wajah laki-laki Dayak itu tampak garang saat tombak yang dipegangnya ditancapkan bertubi-tubi ke tubuh Jenderal Van der Valde hingga tewas seketika.
Laki-laki itu bernama Tamanggung Surapati. Melihat tubuh Van der Valde tak bernyawa lagi, ia langsung mengacungkan tombaknya ke depan, kemudian memukul permukaan air sembari berpekik keras. Tamanggung Surapati meloncat ke dalam air. Tidak lama berselang, muncul kobaran api, disusul kepulan asap hitam.
Kematian komandan pasukan Belanda, Jenderal Van der Valde, di tangan Tamanggung Surapati itu, mengilustrasikan suasana di atas Kapal Onrust yang akhirnya tenggelam. Dan itu menjadi puncak dari pertunjukan sendratari berjudul Tenggelamnya Kapal Onrust, Kisah Perjuangan Suku Dayak.
Acara pertunjukan tersebut digagas oleh Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Kalteng dan dilaksanakan di Taman Budaya Kalteng, Jalan Temanggung Tilung, Palangka Raya, Sabtu (22/10) lalu. Acara itu membius ratusan penonton yang datang.
Adegan mengilustrasikan suasana pertempuran besar suku Dayak dalam perang Sungai Barito yang legendaris pada tahun 1859. Mengisahkan bagaimana kapal perang milik Belanda bernama Onrust, yang merupakan salah satu kapal perang tercanggih masa itu dan dikirim oleh Kerajaan Belanda ke Pulau Kalimantan untuk membantu mengatasi perlawanan para pejuang suku Dayak.
Kapal itu ditenggelamkan pasukan suku Dayak pimpinan Tamanggung Surapati pada 26 Desember 1859 di daerah Labo Lalotong Tour, Sungai Barito.
Dengan didukung sentuhan layar yang menampilkan berbagai foto kondisi masyarakat adat Dayak zaman dahulu, sendratari ini juga mengajak para penonton untuk lebih mengenal kehidupan masa lalu masyarakat Dayak.
Para penari yang tampil datang dari berbagai sanggar tari di Palangka Raya, yang koreografi tarinya disiapkan oleh Benny M Tundan, dibantu Jhovi Nata dan Maria Magdalena sebagai asisten koreografi.
Sendratari malam itu yang juga menampilkan tarian khas Dayak dan juga tarian kontemporer, sukses menciptakan suasana adegan dalam cerita sendratari. Seperti adegan pada awal cerita yang menggambarkan perbedaan kondisi kehidupan masyarakat suku Dayak yang serbaterbelakang dan mengalami penindasan dan kondisi penjajah Belanda yang mewah dan penuh pesta pora.
Ditambah lagi dukungan musik dari alatalat musik tradisional khas Dayak. Seperti gong, garantung, kecapi, dan gendang. Berhasil memadukan tarian dan alur cerita. Daniel Batuah Barajaki Asang selaku komposer musik beserta timnya, sukses memadukan alat musik tradisional khas Dayak dengan alat musik modern dalam berbagai lantunan lagu yang ditampilkan.
Adegan cerita tidak melulu menampilkan suasana yang serius atau menegangkan. Adegan lucu dan menghibur juga diselipkan dalam sendratari tersebut.
Kemasan yang apik membuat penonton tak ingin beranjak dari tempat duduk selama kurang lebih 1 jam 30 menit.
“Bagus sekali ya pentas ini,” kata salah satu penonton yang mengaku bernama Loli.
Kepuasan yang sama juga disampaikan oleh penonton lain. Viktor yang ikut menonton sendratari ini mengapresiasi kaum muda yang mau menggeluti kesenian Dayak. “Acaranya sangat meriah, musik dan tarian sangat terkonsep sehingga cukup menarik,” pujinya.
Sementara itu, Arbendi I Tue selaku salah satu penulis skenario sendratari ini mengatakan, ia sengaja mengangkat cerita tentang tenggelamnya Kapal Onrust, karena merupakan salah satu kisah penting perjuangan suku Dayak melawan penjajah dalam pertempuran di Sungai Barito yang saat ini mulai dilupakan.
Padahal, menurut Arbendi, suku Dayak juga memiliki peran dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan kolonial Belanda. Para pemuda dan pemudi masa kini wajib mengetahui perjuangan nenek moyang dahulu. Tidak boleh dilupakan begitu saja.
Arbendi mengatakan, sebelum pementasan sendratari Tenggelamnya Kapal Onrust ini, pihaknya mengadakan latihan selama hampir empat bulan. “Persiapan dari bulan Juni, full latihan setiap hari,” ujarnya kepada Kalteng Pos.
Jumlah kru yang terlibat dalam acara pementasan sendratari ini berjumlah sekitar 70 orang, meliputi para penari maupun kru pendukung.
Arbendi juga mengatakan, dirinya sengaja menampilkan sendratari Tenggelamnya Kapal Onrust ini dalam bentuk sendratari kontemporer. “Saya memang ingin menampilkan sendratari yang ada nuansa kekinian, agar kisah sejarahnya mudah dicerna oleh anak-anak muda masa kini,” tuturnya.
Lebih lanjut dikatakannya, dalam kisah sendratari ini, ada perpaduan antara unsur daerah dan unsur barat. “Karena ada dua kebudayaan yang berbeda, ada kebudayaan Belanda meskipun itu di tahun 1800-an, dan ada juga kebudayaan Dayak, tetapi untuk menunjukkan perbedaan kedua kebudayaan itu, kami menggunakan musik modern dan musik tradisional,” ujar pria yang berprofesi sebagai guru di SMPN 3 Palangka Raya ini.
Sementara itu, penata (komposer) dalam sendratari ini, Daniel Batuah Berajaki Asang menambahkan, salah tantangan terbesar dalam sendratari ini adalah memadukan musik tradisional dengan musik modern.
“Kerumitannya karena ada lagu barat juga yang dibawa di sini, jadi harus membangun suasana yang bisa mendukung tariannya juga,” ujar pemuda berusia 19 tahun ini.
Dikatakan Daniel, alat musik yang digunakan terdiri atas alat musik modern dan tradisional khas Dayak. “Untuk yang tradisional ada gong, garantung atau kangkanung, kecapi, beduk, dan gendang, sementara untuk yang modernnya ada bass keyboard dan gitar,” ujar Daniel. (ce/ram)