Site icon KaltengPos

Perbaiki Regulasi dan Kelembagaan untuk Mengatasi Carut Marut Lahan

Dosen Fakultas Hukum (FH) UPR Louise Theresia.

PALANGKA RAYA-Menyikapi tumpang tindih tanah di wilayah Palangka Raya, akademisi hukum tata negara Universitas Palangka Raya (UPR) Louise Theresia mengatakan, ada tiga hal yang perlu dilakukan pembenahan. Mulai dari sisi regulasi, kelembagaan, hingga masyarakat.

Dosen Fakultas Hukum (FH) UPR ini mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan yakni menyinkronkan peraturan perundang-undangan yang selama ini mungkin saling bertentangan, baik vertikal maupun horizontal. Bertentangan secara vertikal artinya ada benturan peraturan dari atas ke bawah. Misal, ada peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan presiden, bertentangan peraturan pemerintah, ataupun undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pertentangan horizontal dimaksud adalah benturan peraturan yang sejajar.

“Kemungkinan ada beberapa undang-undang atau peraturan pemerintah yang tidak sinkron, sehingga pelaksanaan pendaftaran tanah itu berefek di lapangan akibat karut-marut peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron itu. Bicara tata negara itu kan menyinkronkan agar serasi dan seimbang sehingga tercapai harmoni,” kata Louise saat dibincangi di Kantor Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Palangka Raya, Selasa (7/2).

Hal kedua yang harus dibenahi yakni terkait kelembagaan. Dalam tata negara juga membahas kelembagaan. Terkait masalah pertanahan ini, lembaga yang menangani mulai pendaftaran hingga penyelesaian sengketa tanah adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dikatakannya, sejauh ini masih banyak pengaduan ke Ombudsman terkait pelayanan publik pendaftaran tanah.

“Kelembagaan yang mengurus tanah harus diperkuat walaupun dengan alasan SDM, biaya, dan beberapa hambatan lain. Jika kelembagaan diperkuat, saya yakin mengurus pertanahan ini tidak sulit. Selain itu juga harus dilakukan monitoring kelembagaan mulai tingkat atas sampai bawah,” jelasnya kepada Kalteng Pos.

Yang juga perlu dibenahi, lanjutnya, adalah kesadaran masyarakat. Untuk memperoleh status legalitas tanah, harus ada proses yang dilalui, terutama syarat legalitas formalnya. Namun terkadang peluang melanggar aturan muncul dari masyarakat yang ingin mendaftarkan tanah tanpa melalui proses yang benar, seperti melalui calo dan lainnya. “Ini tidak muncul dari lembaga yang mengurus pertanahan, tetapi muncul dari masyarakat,” tegasnya.

Proses yang tidak sesuai dengan hukum berpotensi memunculkan sertifikat ganda atau berlapis, karena cara memperolah status tanah dengan proses yang keliru dan salah. Hal itu tidak bisa diselesaikan dengan konflik kepentingan, tetapi harus diselesaikan dengan konflik hukum.

“Memang di tingkat masyarakat ini kurang edukasi. Dalam sosiologi hukum, masyarakat tahu hukum jika mendapatkan edukasi dan sosialisasi,” jelas Kepala Pusat Bantuan Hukum dan Anti Korupsi LPPM UPR ini.

Louise menyebut, edukasi harus dilakukan. Lantas apakah BPN sudah memberikan edukasi, evaluasi dan mengumumkan ke khalayak bahwa peran BPN penting dalam memperoleh hak atas tanah dalam bentuk sertifikat? “Terkait ini artinya juga bicara soal hak asasi, siapa yang memiliki tanah sah dialah yang berhak mendapatkan, karena ada hak untuk mendapatkan dan memiliki seperti tanah dan rumah, berbicara hak asasi harus dilindungi negara,” ungkapnya.

Ada tiga cara memperoleh tanah dengan benar, yakni jual beli, hibah, dan wasiat. Sedangkan dasar atas hak memperoleh sertifikat dikeluarkan oleh BPN berdasarkan surat yang dikeluarkan oleh kelurahan. “Perlu ada sinkronisasi peta bidang BPN dan kelurahan, ketidaksinkronan ini harus diperbaiki, jika bicara tata ruang, harus duduk bersama untuk memiliki peta yang sama terkait status kepemilikan tanah di BPN dan kelurahan atau peta dasar. Jika mengurus tanah di BPN tidak sesuai dengan data kelurahan, maka dampaknya akan dirasakan warga yang mengajukan pendaftaran tanah itu,” tutupnya.(abw)

Exit mobile version