Kejati Kalteng Bersama UPR Gelar Webinar, Pesertanya 500 Lebih
PALANGKA RAYA– Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalteng bersama dengan Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya (UPR) melaksanakan webinar bertajuk “Mungkinkah Hukuman Mati Bagi Koruptor?”, Kamis (4/11). Giat ini diikuti sekitar 460 peserta melalui Zoom dan 50 peserta mengikuti langsung di Aula Rahan UPR yang terdiri dari berbagai profesi penegak hukum seperti jajaran kepolisian, pengadilan, kejaksaan.
Para pakar yang dihadirkan antara lain, Dr. Fahri Hamzah sebagai pengamat hukum dan politik dan mantan anggota komisi III DPR Ri selaku keynote speaker, Prof Dr. Agus Raharjo SH.M.Hum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Prof Dr Suparji Ahmad SH. MH, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar dan Dr Kiki Kristianto SH.MH, Dosen Fakultas Hukum UPR. Webinar ini merupkan tindak lanjut dari pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin saat berkunjung ke Kejati Kalteng dan sedang mempelajari kemungkinan hukuman mati bagi pelaku korupsi.
Kajati Kalteng Iman Wijaya SH.M.Hum yang didampingi oleh Wakajati Siswanto SH.MH selaku penanggung jawab kegiatan webinar dari kejaksaan, menjelaskan, latar belakang digelarnya webinar ini karena melihat kondisi yang ada dalam penegakan hukum korupsi. “Pasalnya sangat jarang pidana hukuman mati bagi pelaku korupsi diberlakukan, meskipun sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,” jelas kajati yang juga didampingi Edi Irsan Kuniawan SH.M.Hum Asdatun selaku ketua panitia, Dr. Erianto N SH.MH selaku Koordinator Bidang Datun dan selaku sekretaris panitia.
Dia mengungkapkan, pernah terjadi tuntutan mati diajukan oleh penuntut umum terhadap pembobol Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun oleh Ahmad Sidik Mauladi Iskandar Dinata atau Dicky Iskandar Dinata selaku Direktur Utama PT Brocolin Indonesia yang menerima kucuran dana hasil pembobolan Bank BNI pada Tahun 2006 dan berstatus residivis dalam perkara korupsi di Bank Duta sehingga Penuntut Umum berpendapat memenuhi kualifikasi dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mencantumkan pidana hukuman mati. Namun majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpandangan lain dengan menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara.
“Penerapan pasal 2 ayat (2) ini memang agak terbatas karena hanya bisa diterapkan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi,” jelasnya.
Menurut Iman Wijaya, sepanjang tindak pidana korupsi dilakukan dalam cakupan ketentuan Pasal 2 ayat (2) di atas, tentu tidak jadi persoalan dari segi yuridis. Namun menjadi kendala dalam menghadapi pelaku tindak pidana korupsi yang sifatnya ekstra ordinary baik dari segi jumlah kerugian keuangan negara maupun dampak perekonomian negara yang luar biasa, modus operandi yang terencana, menggunakan sarana tekhnologi canggih, dan dilakukan secara sistematis sehingga hanya bisa dilakukan oleh orang orang yang memiliki keahlian khusus. Apalagi perbuatan korupsi dilakukan secara bersama sama dan berlanjut.
Oleh karena itu Iman Wijaya SH.M.Hum sangat senang dan berterima kasih kepada jajaran UPR, jajaran kepolisian, kejaksaan pengadilan, Kanwil Kemenkumham, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, perguruan tinggi, bagian hukum pemeritah daerah serta mahasiswa se-Kalteng. “Termasuk media massa yang men-support kegiatan ini,” ucapnya.
Bahkan juga banyak peserta webinar dari luar Kalteng. Pesertanya bahkan hampir seluruh Indonesia. Webinar dengan kolaborasi yang baik antara Bidang Datun Dan Fakultas Hukum UPR. Sebelumnya sudah ada nota kesepahaman kerja sama yang ditandatangani oleh Kajati Kalteng dengan Rektor UPR. “Kami harapkan bisa menghasilkan sesuatu yang sangat bermanfaat untuk kedua pihak, seluruh penegak hukum dan seluruh masyarakat pencari keadilan berupa kajian yuridis secara mendalam dari sisi akademis disertai pandangan dari praktisi hukum, tokoh masyarakat serta pihak yang konsern terhadap pemberantasan korupsi tentang kemungkinan penjatuhan pidana mati,” terangnya. Dia menambahkan, semua hasil kegiatan ini akan dilaporkan kepada pimpinan untuk jadi bahan masukan dan pertimbangan.(hms/uni)