Site icon KaltengPos

Konversi Hutan, Faktor Utama Banjir di Barat Kalteng

MENGUNGSI: Sejumlah warga di Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat mulai meninggalan rumah untuk mengungsi setelah debit air terus meningkat, Senin (17/10/2022)

PALANGKA RAYA-Banjir melanda wilayah Kalimantan Tengah (Kalteng). Saat ini Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) menjadi daerah yang terparah pada tahun ini. Hal ini menjadi sorotan dimana pada tahun sebelumnya kobar belum pernah dilanda banjir dengan ketinggian seperti itu.
Pada kali ini Walhi Kalteng melalui direkturnya Bayu Herinata menyampaikan bahwa pada tahun ini bukan hanya Kobar tapi Sukamara juga menjadi kabupaten yang melangalami banjir yang terparah. Menurutnya curah hujan tinggi bukan menjadi faktor utama. Walhi menyoroti kondisi ekologi yang perlu diperhatikan. Yang dimaksud yakni berupa data tampung sungai, kawasan hutan, dan gambut yang bagus.
“Curah hujan bukan menjadi faktor utama, dimana apabila kondisi ekologinya bagus seperti kawasan hutan, daya tampung sungai dan gambut yang bagus maka dampak curah hujan tidak akan mengakibatkan banjir separah ini,” ucapnya melalui pesan WhatsApp, Sabtu (29/10/2022).
Selanjutnya, ia melihat bahwa saat ini tutupan hutan yang ada di Bumi Tambun Bungai mengalami penurunan, di mana ia mengatakan sudah hampir setengah hutan yang ada sudah dialih fungsikan, sehingga data serap menjadi berkurang. Faktor tersebut menjadi poin utama kenapa banjir terus terjadi Kalteng.
“Secara teknis menurut catatan kami wilayah bagian barat seperti Lamandau, Sukamara, Kobar, hingga kotim ini menjadi kabupaten yang banyak mengkonversi kawasan hutan khususnya diperkebunan besar, dan paling banyak sawit,” tambahnya.
Dan ia juga menjelaskan apabila melihat bencana tersebut, maka perlu adanya analisis hulu hingga ke hilir.Yang seharus kawasan hulu menjadi wilayah serapan air dan menjadi tempat mencegah bencana berupa longsor yang kini telah dialih fungsikan kepenrkebunan. Akibat dari itu pascaturun hujan deras daya serap tanah tidak maksimal terlebih hujan deras mengakibatkan permukaan tanah terbawa air hujan yang mengalir ke sungai yang mengakibatkan sedimentasi yang mengakibatkan berkurang data tampung sungai. Dan seperti di Kotim dan Sukamara terjadi pengurangan fungsi ekosistem gambut karena adanya konversi.
“Dari hulu, tengah, dan hilir sudah mengalami penurunan fungsi ditambah lagi dengan curah hujan tinggi yang periodenya singkat mengakibatkan banjir yang terus-menerus,” tambah Bayu.
Ia juga mengatakan bahwa pemangku jabatan sebenarnya sadar adanya konversi hutan. Karena mengutip dari statment pemangku jabatan yang mengupayakan membatasi bahkan menghentikan konversi lahan hutan untuk perkebunan. Namun Bayu masih menganggap bahwa hal tersebut masih berupa rencana, dimana statment tersebut dikemukakan setelah banjir terjadi.
“Ini yang masih kami liat belum serius,kalau sudah banjir baru keluar statment seperti, penanggulangan juga masih belum efektif menurut pantauan kami,” tegas Bayu.
Dan ia juga menjelaskan bahwa banyak melihat daerah yang belum terekspos pada saat terkena banjir, dimana apabila perlu dilakukan evakuasi maka itu segera mungkin dilakukan. Selanjutnya ia pada saat dilakukan distribusi logistik dituntut untuk tepat sasaran, dari pantauan walhi banyak bantuan yang disalurkan kepada wilayah yang sudah banyak tersalurkan bantuan, hal tersebut karena mudahnya akses untuk dicapai. Dan selalu memperbaiki kordinasi.
“Masih bisa untuk diupayakan perbaikan, khususnya yang selalu kami dorong yakni mengevaluasi perizinan, baik itu perkebunan, pertambangan, dan kehutan, dan mengoptimalkan upaya pemulihan yang dilakukan, seperti DAS Katingan, Mentaya, dan Seruyan menjadi salah tiga lahan yang kritis perlu diupayakan dalam pencegahan banjir setidaknya tahun depan bisa berkurang dalam dampaknya,” ucap Bayu. (irj/ram)

Exit mobile version