Vihara Avalokitesvara sudah berusia 27 tahun. Usia emas. Berdiri tegak di Palangka Raya. Tempat ibadah yang terletak di Jalan Tjilik Riwut Km 9 itu sangat penting bagi umat Buddha di Kota Cantik dan sekitarnya.
ANISA B WAHDAH, Palangka Raya
RABU (26/5), seharusnya sebagian umat Buddha di Palangka Raya merayakan peringatan Hari Waisak di vihara tertua di Palangka Raya ini. Namun kondisi Kalteng saat ini yang masih dilanda pandemi membuat perayaan itu ditiadakan lagi untuk kedua kalinya.
Meski tidak ada perayaan, pelaksanaan ibadah bagi umat yang merayakannya tetap berjalan khidmat. Dilakukan secara silih berganti. Satu per satu datang melaksanakan ibadah pribadi dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Sebelum memasuki kompleks vihara, tiap umat wajib mencuci tangan di tempat yang telah disediakan. Umat melaksanakan ibadah pada tempat yang dibolehkan.
Untuk mengatur jarak antarumat, pada ruangan itu diberi tanda silang pada beberapa titik sebagai tanda tidak dapat ditempati. Hal itu bertujuan mengatur jarak umat yang melaksanakan ibadah.
Terlihat seorang perempuan lanjut usia (lansia) sibuk mempersiapkan keperluan ibadah. Menyiapkan minyak, menghidupkan lilin untuk ibadah. Senyum hangat menyambut kedatangan saya (penulis).
“Iya mbak,” ucapnya ramah membalas sapaan saya.
Setelah sedikit berbincang, barulah saya tahu bahwa perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Inggrid Liono itu merupakan perintis berdirinya Vihara Avalokitesvara. Ia menceritakan bagaimana awal keinginannya mendirikan tempat ibadah itu. Agar bisa membeli tanah untuk dibangunkan tempat ibadah, dilakukan penggalangan dana. Setelah melalui proses pembangunan, akhirnya tempat ibadah itu diresmikan 27 tahun yang lalu.
Inggrid menceritakan, ia merupakan perantau dari provinsi tetangga (Kalimantan Selatan) pada tahun 1988 lalu. Ketika pertama datang ke Kota Cantik ini, ia tidak melihat satu pun tempat ibadah agama yang dianutnya. Saat itu umat Buddha di Palangka Raya hanya sedikit jumlahnya. Tidak sampai 10 orang.
“Meski demikian, saya tetap berkeinginan agar di Palangka Raya ini ada tempat beribadah untuk umat agama kami,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, ia mengetahui ada orang yang menjual tanah dengan harga terjangkau, yakni Rp19 juta. Lalu ia mengajak teman-temannya untuk patungan. “Dana untuk membeli tanah vihara ini dikumpulkan dari umat yang tidak sampai 10 orang saat itu, tapi akhirnya tanah itu pun bisa dibeli,” ucapnya kepada Kalteng Pos.
Meski sudah ada tanah, tapi dana untuk membangun vihara belum ada. Inggrid pun mengajak sesama umat patungan mengumpulkan dana. Selain itu, dana dikumpulkan juga dari luar kota. Kala itu Inggrid bahkan rela pergi ke Pangkalan Bun hanya untuk mencari dana pembangunan vihara.
“Setelah beli tanah, tidak langsung bangun vihara, saya pernah ke Pangkalan Bun mencari dana ke beberapa umat Buddha di sana,” bebernya.
Setelah dana yang terkumpul dinanggap cukup, tahun 1993 dimulailah pembangunan vihara tersebut. Proses pembangunan vihara itu sepenuhnya mengandalkan dana hasil penggalangan serta bantuan dari kepengurusan vihara saat itu.
“Pada tahun 1994 vihara ini selesai dibangun dan langsung diresmikan, saat itu kami menghadirkan suhu dari Singkawang, Pontianak untuk meresmikan vihara kami,” katanya.
Inggrid pun sedikit menceritakan situasi peresmian kala itu. Tidak ada benda lain selain bangunan vihara yang masih kosong. Tidak ada patung atau pernak-pernik yang menjadi persembahan untuk ibadah.
“Vihara ini dahulu berdiri dan diresmikan secara kosong, akhirnya saya minta kepada suhu yang akan datang dari Singkawang untuk membelikan patung Dewi Kwan Im yang kecil. Kami titipkan uang Rp800 ribu untuk beli patung itu,” kisahnya.
Vihara itu pun dinamai Vihara Kwan Im. Alasannya, vihara itu hanya memiliki satu patung, yakni patung Dewi Kwan Im. Acara peresmian saat itu berjalan lancar. Inggid menceritakan bagaimana terharunya pelaksanaan peresmian yang begitu sakral.
“Saat peresmian pukul 12.00 WIB, ketika suhu membacakan doa untuk vihara kami dan meminta agar Tuhan membersihkan vihara ini, ketika suhu mengibarkan kipasnya, sejurus kemudian turun hujan, padahal kondisi cuaca cerah, matahari begitu terik saat itu,” tuturnya.
Terlihat, lanjut dia, bagaimana Tuhan betul-betul memberikan apa yang diminta umat. Hujan turun hanya di sekitar vihara saja, dengan harapan vihara ini dibersihkan dan siap digunakan menjadi tempat beribadah.
Seiring berjalannya waktu, jumlah umat makin banyak. Sumbangan untuk mengisi keperluan beribadah di vihara tersebut terus mengalir.
“Yang kami beli hanya satu patung Kwan Im saja, sedangkan semua patung dan perlengkapan yang ada di dalam vihara saat ini merupakan sumbangan dari umat. Sampai saat ini pun tidak ada barang yang kami beli. Semuanya merupakan sumbangan umat,” sebut perempuan berusia 65 tahun itu.
“Vihara ini berganti nama jadi Vihara Avalokitesvara setelah beberapa tahun diresmikan,” tambahnya. (ce/ram)