Site icon KaltengPos

Dibangun Saudagar Asal Kotim saat Berdagang ke Lamandau Tahun 1926

TETAP EKSIS: Potret Masjid Miftahul Janah, salah satu masjid tertua yang terletak di pinggir Sungai Lamandau, hingga kini masih eksis dan digunakan masyarakat sebagai tempat ibadah.

Terletak di pinggiran sungai, tepatnya di Jalan Cempaka, RT 04, Kelurahan Nanga Bulik, Kabupaten Lamandau, sebuah masjid berdiri kokoh di tengah permukiman padat penduduk. Masjid ini merupakan salah satu saksi bisu sejarah peradaban Islam di kabupaten berjuluk Bumi Bahaun Bakuba ini.

Oleh: Ruslan, Nanga Bulik

TAK banyak yang tahu jika Masjid Miftahul Jannah, ini merupakan salah satu masjid tertua di Lamandau. Letak geografisnya yang berada di pinggiran sungai Kota Nanga Bulik menjadikan masjid Miftahul Jannah mudah diakses karena sungai merupakan jalur perdagangan strategis saat itu.

Masjid ini dibangun secara pribadi oleh saudagar (julukan orang berada) bernama saudagar Ahmad, sekitar tahun 1926. Hal tersebut tertulis pada tiang bendera yang bertuliskan bahasa arab pada bagian depan masjid.

Awalnya pembangunannya masjid ini hanya berupa bangunan rumah panggung menyerupai pendopo persegi empat tanpa dilengkapi dinding dan hanya diberikan pagar kayu disekelilingnya.

Saudagar Ahmad sendiri merupakan waga Kotawaringin, yang saat ini menjadi Kecamatan Kotawaringin Lama, bagian dari Kabupaten Kotawaringin Barat. Sementara itu Kabupaten Lamandau saat ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Barat.

Pembangunan masjid ini sejatinya berada di lingkungan penduduk lokal yang mayoritasnya adalah suku dayak asli Lamandau. Namun untuk di wilayah pinggiran Sungai Lamandau, saat itu memang terdapat warga campuran, yang merupakan pendatang untuk keperluan berdagang, diantaranya dari Banjar (Kalsel), termasuk dari bangsa keturunan Tionghoa/Cina.

Menariknya saat di bangun,  keberadaan masjid ini diterima dengan baik oleh penduduk sekitar. Status bangsawan atau saudagar yang melekat pada Saudagar Ahmad, membuat ia dihormati penduduk sekitar, hal inilah yang kemudian diduga menjadi alasan kuat diperbolehkannya membangun masjid di sekitar pinggiran Sungai Lamandau saat itu.

“Selain itu keberadaan Saudagar Ahmad yang merupakan pedagang sangat dibutuhkan masyarakat kala itu, untuk keperluan jual beli ataupun pertukaran barang dari maupun keluar lamamdau,” kata Ketua Pengurus Masjid Miftahul Jannah, Ilham didampingi Murni, yang merupakan keturunan dari Saudagar Ahmad pendiri Masjid Miftahul Jannah.

Murni sendiri yang merupakan keponakan dari H Saudagar Ahmad menjelaskan, bahwa kerena profesinya sebagai pedagang, yang mengharuskan untuk tinggal di menetap dalam waktu yang cukup lama di Lamandau, maka didirikanlah masjid Miftahul Jannah yang saat ini berusia sekitar 96 tahun.

“Saat berdagang ke Lamandau itulah saudagar Ahmad, mendirikan masjid untuk tempat ibadah umat muslim yang tinggi di sekitar bantaran sungai atau yang saat ini lebih di kenal dengan wilayah pasar,” kata Murni.

Pembangunan masjid terus disempurnakan bahkan saat setelah Saudagar Ahmad meninggal dunia, pembangunan dilanjutkan oleh istri dan para keturunannya, hingga bisa di gunakan sampai dengan saat ini.

“Sepeninggal Juragan Ahmad itulah, pembangunan masjid semakin pesat dan disempurnakan mulai dari dinding yang sebelumnya hanya berupa pagar kemudian dipasang dinding kayu ulin di sekeliling masjid,” jelasnya.

Tak berhenti disitu, sepanjang pengetahuan mereka masjid Miftahul Jannah sendiri sempat dua kali mengalami penyempurnaan, hingga akhirnya pengurus masjid memutuskan untuk tidak menerima bantuan pemerintah untuk pemugaran masjid.

“Hal ini sengaja dilakukan pengurus masjid agar menjadi keaslian bangunan dan melestarikan sejarah peninggalan masjid itu sendiri,” kata Ilham. (*bersambung/ala/ko)

Exit mobile version