RITUAL Memapas Menyadingen Ramu dilaksanakan selama tiga hari, 23-25 November, di Museum Balanga, Jalan Tjilik Riwut Km 2,5 Palangka Raya. Ritual ini bukan sekadar agenda budaya, tetapi juga cerminan penghormatan mendalam terhadap tradisi leluhur yang telah terpelihara selama 15 tahun terakhir.
Ritual dimulai dengan lantunan doa yang mengandung mantra-mantra yang bertujuan memohon kepada Tuhan (Ranying Hatala Langit) serta leluhur roh suci untuk datang ke acara dan ikut membantu pembersihan benda-benda warisan budaya itu.
Ada berbagai benda yang dikoleksi di museum ini. Mulai dari balanga, guci, tombak, mandau, sapundu, piring, sangku, hingga benda-benda leluhur suku Dayak lainnya. Beberapa koleksi bahkan berasal dari tragedi besar seperti konflik Sampit, menambah aura mistis yang menyelimuti benda-benda tersebut.
Acara ini dilakukan untuk membersihkan dan menyucikan benda-benda koleksi museum dari energi negatif yang dapat memengaruhi aura tempat itu. Ritual ini tidak hanya menarik perhatian masyarakat lokal, tetapi juga menjadi daya tarik budaya bagi pengunjung dari luar daerah.
Rabiadi, basir yang memimpin acara ritual adat ini menjelaskan, dalam kepercayaan umat Hindu Kaharingan, tujuan ritual Memapas Menyadingen Ramu adalah untuk membersihkan, mendinginkan, sekaligus menyucikan kembali seluruh benda antik koleksi museum, agar bisa memberikan dampak positif baik bagi pengunjung museum maupun para pegawai yang bekerja di lingkungan Museum Balanga ini.
“Masyarakat Dayak meyakini bahwa tiap benda yang ada ini memiliki roh, baik roh positif maupun roh negatif. Jadi, dengan disucikan maka benda-benda ini memiliki dampak positif bagi pengunjung, pegawai, dan kita semua,” terang Rabiadi.
Lebih lanjut ia mengatakan, tahapan ritual ini dimulai dengan memanggil para roh leluhur (Sanghyang) untuk menyertai para basir dalam kegiatan pembersihan dan penyucian.
“Secara kasat mata yang bekerja para basir, tetapi pada keyakinannya ada para Sanghyang, para dewa dan leluhur suci yang menyertai kami (basir) dalam ritual menyucikan ini,” terang Rabiadi, sembari menyebut setelah acara ini dilanjutkan dengan ritual pembersihan beberapa koleksi.
Ritual puncak yang dilaksanakan pada Minggu (25/11) berupa pemotongan berbagai hewan kurban, seperti sapi, babi, dan ayam.
Rabiadi mengatakan, acara puncak ini boleh disaksikan oleh masyarakat umum.
“Boleh saja datang menyaksikan, asal menghindari pantangan yang ada dalam ritual Hindu Kaharingan ini, yakni tidak boleh membawa binatang seperti kijang, rusa, ular, dan binatang lain yang dilarang dalam ritual,” bebernya.
Selain itu, bagi perempuan muda yang tengah datang bulan (menstruasi) pun tidak dibolehkan untuk memegang sesajen atau benda-benda yang digunakan dalam proses ritual ini.
“Kalau untuk menyaksikan saja, boleh saja. Namun kalau mau menyentuh atau memegang, tidak boleh,” tegas Rabiadi.
Suasana museum dipenuhi aroma dupa dan lantunan doa para basir. Ritual Mamapas Manyadingen Ramu ini bukan hanya menjadi peristiwa budaya, tetapi juga pengalaman spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan leluhur.
“Benda-benda bersejarah ini tidak hanya bernilai budaya, tetapi juga punya aspek spiritual. Ada yang percaya benda-benda ini dihuni oleh roh-roh leluhur atau energi tak kasat mata, sehingga ritual penyucian diperlukan untuk menetralkannya,” ungkap Rabiadi.
Tradisi ini juga menjadi simbol penghormatan kepada leluhur yang dahulu memiliki benda-benda tersebut, sebelum dijadikan koleksi di museum. Semangat melestarikan budaya lokal pun menjadi dasar pelaksanaan ritual ini secara konsisten tiap tahun.
“Kami meyakini bahwa benda-benda bersejarah ini tidak lepas dari hal-hal mistis. Energi-energi yang melekat perlu dinetralkan, agar memberikan aura positif bagi pengunjung, pegawai, maupun masyarakat,” tuturnya.
Ritual Mamapas Manyadingen Ramu digelar selama tiga hari dan dimulai Sabtu (23/11). Hari pertama, ritual Mamapas Ramu dan Manarung Sahur Parapah dilakukan sebagai pembuka untuk mempersiapkan energi spiritual dalam prosesi utama. Hari kedua, koleksi disucikan melalui prosesi manyadingen (penyucian) dengan darah hewan kurban sebagai simbol pemurnian, lalu dilanjutkan dengan Marawei Sahur dan Ngarunya Sahur.
Pada hari ketiga dilakukan ritual penanaman kepala hewan kurban, dan ditutup dengan ritual Pabuli Sangiang sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan dewa-dewa. Selama ritual, darah hewan kurban dioleskan pada koleksi museum, melambangkan pembersihan energi negatif yang mungkin menempel pada benda-benda bersejarah yang ada.
“Kami menghadirkan dewa-dewa dan malaikat Tuhan untuk menyertai proses ritual ini, sehingga benda-benda koleksi memiliki aura positif bagi pengunjung, pegawai, dan masyarakat luas,” tambahnya.
Ritual Mamapas Manyadingen Ramu bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga merupakan perwujudan seni dan budaya masyarakat Dayak, khususnya umat Hindu Kaharingan. Para Basir yang memimpin ritual tidak hanya menjadi pelaku spiritual, tetapi juga penjaga nilai-nilai budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
“Upacara seperti ini mengingatkan kita bahwa agama dan budaya tidak dapat dipisahkan. Ritual ini memperlihatkan betapa erat hubungan spiritualitas dengan budaya dan tradisi yang diwariskan leluhur,” tuturnya.
Meski berakar pada tradisi keagamaan Hindu Kaharingan, ritual ini juga menjadi simbol pelestarian budaya dan seni lokal. Menurut Rabiadi selaku pemimpin ritual, Mamapas Manyadingen Ramu merupakan perpaduan antara kepercayaan spiritual dan kekayaan tradisi masyarakat Dayak.
“Ritual ini menghadirkan nuansa budaya dan seni, selain aspek keagamaan. Kami melibatkan masyarakat luas agar mereka juga turut melestarikan tradisi ini,” terangnya.
Menurutnya, ritual tahunan ini menjadi simbol kuat komitmen masyarakat Kalimantan Tengah dalam melestarikan tradisi lokal. Selain menjaga keaslian budaya, kegiatan ini juga menjadi jembatan bagi generasi muda untuk lebih memahami kekayaan sejarah dan nilai spiritual yang diturunkan dari leluhur.
“Ini bukan sekadar membersihkan benda koleksi, tetapi juga menjaga warisan leluhur agar tetap hidup di tengah gempuran arus modernisasi. Dengan melestarikan ritual ini, kita merawat jati diri kita sebagai masyarakat Dayak,” ujarnya.
Kepala UPT Museum Belanga Hartini Titin menjelaskan, kegiatan Memapas Menyadingen Ramu koleksi Museum Balanga ini merupakan kegiatan yang sudah tiap tahun dilaksanakan UPT Museum Balanga.
“Ritual ini bertujuan untuk membersihkan benda-benda koleksi dan menyendingen (mendinginkan) semua benda koleksi yang ada di museum ini,” ucap Hartini yang diwawancarai, Sabtu (23/11).
Kepala UPT juga menyebut bahwa tujuan lain dari dilaksanakan ritual adat Memapas Menyadingen Ramu ini adalah untuk melestarikan kebudayaan masyarakat Dayak. Dalam ritual adat ini, pihaknya meminta bantuan rohaniwan dari agama Hindu Kaharingan yang dianggap mengetahui tata cara pelaksanaan ritual ini.
Untuk berbagai benda koleksi yang dibersihkan dalam ritual adat ini, Kepala UPT Museum Balanga ini menyebut bahwa seluruh benda yang merupakan koleksi Museum Balanga akan dibersihkan dalam ritual ini. “Semua benda koleksi yang ada di museum ini akan dibersihkan tanpa kecuali,” tutupnya. (*/ce/ala)