Kebijakan pemerintah pusat yang disampaikan melalui Menteri Perdagangan Muhammad Lufti tentang mengatasi kelangkaan minyak goreng di pasaran dalam Negeri bahkan harganya sempat meroket bervariatif di setiap daerah bahkan ada yang mencapai lebih Rp.23.000 per liter untuk kemasan premium, dan minyak goreng curah pun sempat naik mencapai Rp.17.000 perkg. Sehingga pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan minyak goreng satu harga baik minyak goreng kemasan sederhana dan minyak goreng kemasan premium Rp.14.000,- perkg dan kebijakan kewajiban exportir cpo 20% dari total export untuk kelangsungan (sustainable), kebutuhan bahan baku minyak goreng domistik yang dikenal dengan istilah kebijakan Domistic Market Obligation (DMO) dan Domistic Price Obligation (DPO) sehingga harga cpo dipatok Rp.9.300 perkg untuk menjaga harga bahan baku minyak goreng kebutuhan domistik, kebijakan ini berlaku sejak 24 januari 2022, hal tersebut berdasarkan Permendag nomor 2 tahun 2022 perubahan atas permendag nomor 19 tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Export.
Bahan baku minyak goreng kita ketahui berasal diataranya dari kacang, tanah, kelapa sawit, jagung, kedelai,namun khususnya di Indonesia kelapa sawit sangat mendominasi, sehingga kebutuhan cpo sangat mempengaruhi keberadaan industri minyak goreng di Indonesia. Akibat hal tersebut 3 hal yg bisa membuat minyak goreng langka di pasaran dalam negeri (domistik) dan harganya meroket yaitu bisa disebabkan,
Pertama, faktor produksi cpo menurun bisa saja akibat turunnya randemen produksi atau turunnya produksi tandan buah segar (TBS) misalnya karena cuaca, iklim atau karena usia tanam kelapa sawit tidak produktif lagi atau akibat pendemi covid 19 yang membatasi aktivitas produksi yang sudah berlangsung 2 tahun lebih.
Kedua, faktor akibat harga cpo naik dipasaran dunia tahun 2021 menembus Rp.12.085 perkg kareba pengaruh meningkatnya permintaan CPO untuk kebutuhan biodusel B.30 di pasaran, sehingga mempengaruhi terhadap kebutuhan bahan baku industri minyak goreng dalam Negeri menjadi kesulitan.
Ketiga, akibat faktor minyak goreng kemasan sederhana maupun premium di export keluar Negeri, tanpa ada pembatasan eksport (quata export) karena export sifatnya jauh lebih menguntungkan dari pada jual lokal atau domistik bagi produsen minyak goreng, sehingga bisa menimbulkan kelangkaan stock minyak goreng.
Melansir berita dari biroadpim kalteng go.it tanggal 11 januari 2020, bahwa Kalimantan tengah memiliki luasan lahan perkebunan kelapa sawit 2.005.711 ha ternasuk kebun plasma dan kebun petani, merupakan termasuk penyumbang terbesar produksi CPO Nasional yaitu 25,3% dari produksi CPO Nasional atau sekitar 8.806.401 mt berarti kalau di kalikan dengan harga pada saat tahun 2021 yang sempat mencapai Rp.12.085 perkg atau Rp.12.085.000 per metric tone, maka nilai nominal kontribusi CPO Kalimantan tengah di Nasional sekitar Rp 106.425.356.085.000,- pertahun, merupakan nilai yang tidak sedikit kontribusi produksi CPO dari Kalimantan tengah terhadap perekonomian nasional, namun sayang hasil yang kembali kedaerah tidak memuaskan atau bagaikan panggang jauh dari api,terutama dilihat dari sisi APBD bersumber pada Dana Bagi Hasil (DBH) antara pusat dan daerah penghasil.
Kekuatan ekonomi daerah masing2 beragam di setiap daerah provinsi tidak selalu sama, dan tidak bisa di pungkiri khususnya kalimantan tengah sektor perkebunan kelapa sawit yang sudah jelas penopang ekonomi kalteng dan realistis memiliki kontribusi terhadap ekonomi nasional yang nilainya cukup pantastis (Rp 106.425.356.085.000) pertahun tersebut, layak untuk diperjuangkan dengan pemerintah pusat untuk kemakmuran/kesejahteraan masyarakat kalimantan tengah. Belum lagi bila terujutnya kebijakan industri hilir (hilirnisasi) yang diprogram presiden Jokowi jelas akan jauh meningkatkan DBH dan menimbulkan multiplayer efek yg luas terhadap peluang usaha, lapangan pekerjaan atau sosial ekonomi masyarakat kalteng.
Bagaimana dengan adanya kebijakan pemerintah pusat mengenai minyak goreng satu harga (DPO) dan mewajibkan exportir CPO 20% dari total export untuk kelangsungan bahan baku minyak goreng kebutuhan domistik (DMO), apakah kebijakan tersebut menguntungkan khususnya bagi ekonomi masyarakat kalimantan tengah, jelas merugikan, tak memberi keuntungan atau manfaat yang berarti dalam meringankan ekonomi masyarakat kalimantan tengah terutama masyarakat ekonomi lemah, adapun alasan adalah,
Pertama kebijakan minyak goreng satu harga tidak adil semua disamakan (digeneralisir) dengan daerah penghasil bahan baku minyak goreng (CPO) yang seharusnya lebih murah, melalui diberikan subsidi khusus yang bisa melalui dana bersumber pada DPDPKS, lain kalau industri hilir kelapa sawit (hilirnisasi) di bangun di Kalimantan tengah dengan sendirinya harga minyak goreng jelas akan menguntungkan masyarakat kalimantan tengah.
Kedua export malah akan semakin meningkat seiring dengan adanya 20% kewajiban exportir cpo untuk menunjang bahan baku industri minyak goreng (DPO), sehingga minyak goreng tetap terancam langka, karena export jauh lebih menguntungkan dari pada harga domistik bagi produsen minyak goreng, atau berpotensi tak akan merubah keadaan, bahkan produsen minyak goreng semakin berjaya beserta perangkat atau jaringan bisnisnya.
Ketiga seharus export minyak goreng harus dikendalikan pemerintah artinya di utamakan memenuhi kebutuhan domistik dulu baru lebihnya di export dan/atau melalui diberlakukannya pembatasan eksport (quata export).
Keempat, dengan adanya 20% untuk kelangsung bahan baku minyak goreng (DMO), maka akan terjadi peningkatan industri minyak goreng (produsen) khususnya di pulau jawa , dan dengan secara otamatis meabaikan prinsif manegement bahwa industri harus dekat dengan sumber bahan baku, namun kenyataan kalimantan tengah sebagai sumber bahan baku di abaikan dan tidak akan mendapat nilai tambah (value added), multiplayer efek, termasuk tak ada penghematan biaya hidup sebagai daerah penghasil bahan baku akibat kebijakan tersebut.
Apa yang diprogramkan Presiden Joko widodo mengenai hilirisasi, maka yang realistis dan didepan mata adalah hasil perkebunan kelapa sawit, infrastrukturnya sudah memadai, lebih mudah melaksanakannya dan merupakan kebutuhan strategis, namun dikhawatirkan nasibnya sama dengan industri perkayuan seperti playwood,moulding,dowell dan sebagainya yang pernah mengalami jaman keemasan seperti kelapa sawit sekarang, namun sekarang hampir tinggal nama saja akibat salah kebijakan industri dan kelangsungan bahan bakunya dan kegagalan tersebut cukup itu saja dan menjadi pembelajaran pada sektor yg lainnya agar tidak terikuti jejak tersebut.
Maka untuk itu di sarankan pemerintah pusat melalui Presiden Joko widodo meninjau kembali kebijakan minyak goreng satu harga dan kebijakan 20% dari total export cpo untuk bahan baku industri minyak goreng atau kebijakan DMO dan DPO, kemudian menghentikan dan/atau membatasi industri hilir kelapa sawit di pulau jawa khususnya, kecuali yang sudah terlanjur, untuk diarahkan industri hilir kelapa sawit harus dekat dengan sumber bahan baku sehinggga tidak merugikan khususnya kalimantan tengah, karena sesuai dengan prinsif hilirnisasi. Selain itu produk minyak goreng indonesia akan lebih murah biaya produksinya, sehingga bisa menimbulkan keunggulan komperatif dalam persaingan perdagangan internasional. Disarankan juga agar kebijakan ekonomi jangan cendrun bersifat Jawa Sentris efek dalam memperhitungkan nilai sosial manfaat atau sosial ekonomi dan bisnisnya namun harus mendasar dengan karekteristik, sumber daya dan keunggulan, serta daya dukung yang dimiliki suatu daerah, itu lebih diprioritaskan dalam menata ekonomi yg tepat dan berkeadilan sebagai sebuah negara kesatuan yang berbentuk kepulauan dalam melahirkan suatu kebijakan ekonomi.
MUHAMMAD GUMARANG
Pengamat Sosial Dan Kebijakan Publik