Site icon KaltengPos

Saleh Mudik?

Agus Pramono

Oleh; Agus Pramono

TAK terasa, lebaran tinggal dua hari lagi. Baik NU maupun Muhammadiyah. Tak terasa, jemaah Aoila di area Yogjakarta dan sekitarnya sudah tiga hari makan ketupat dan opor ayam. Jemaah itu sudah salat Id pada selumbari lalu. Pimpinan jemaah KH Ibnu Hajar Pranowo sudah telepon Allah, dan mendapat petunjuk demikian. Omongannya itu viral media sosial.

Mereka sudah biasa berbeda selama berpuluh-puluh tahun. Kenapa ramainya sekarang.  Oh, mungkin tahun-tahun sebelumnya isunya lebih seksi perbedaan hari raya Idulfitri antara NU dengan Muhammadiyah. Tahun ini kitakan sama.

Lebaran tahun ini, saya tidak mudik ke kampung halaman, Surabaya. November tahun lalu sudah pulang. Bulan kemarin orang tua juga datang ke sini. Hampir dua bulan. Jadi kangen-kangenan sudah dirasa cukup.

Sudah dua kali lebaran tidak merasakan mudik. Memang sih, saya akui, nuansa pulang di hari-hari biasa dengan momen mudik itu sangat jauh beda. Kalau pulang di hari biasa, tidak ada ketupat. Beda dengan momen mudik. Baru masuk rumah, sudah beraneka makanan di meja makan.

Bermacam makanan itu bukan semuanya masakan sendiri. Melainkan antaran dari para tetangga dan sanak saudara. Bagi para perantau, pulang pada waktu lebaran adalah keharusan. Namun, banyak faktor yang memaksa berdiam diri di tanah rantau. Salah satu faktor pasti Anda sudah pada tahu.

Saat menulis ini, tiba-tiba saya teringat Salihin. Anda kenal nama itu? Pasti tidak. Kalau nama Saleh? Saya yakin Anda tahu. Nama itu sudah tak asing lagi bagi warga Palangka Raya. Entah kenapa tiba-tiba kepikiran nama itu. Saya langsung membelokkan arah tulisan saya. Saya ingin bahas dia saja. Sepertinya menarik. Sebelum belok, awalnya terpikir endingnya sedih karena tidak mudik. Entah kalau saya bahas sosok yang satu ini.

Saya bertanya-tanya dengan diri sendiri, apakah dia mudik ya lebaran tahun ini? Saya juga tanya ke teman-teman polisi, apakah dia mudik? Dibalas emoji senyum.  Saya tanya teman di Ponton, tempat tinggal Saleh, bukannya jawab, malah tanya balik.

Saleh sendiri dikenal sebagai bandar barang haram. Pada 21 Oktober 2021 ditangkap anggota Badan Narkotika Nasional Kalteng. Ditemukan dua bungkus besar plastik yang berisi sabu dengan berat kotor 200 gram.

Dia disidang. Saya ingat betul. Waktu sidang, dilakukan pada jam-jam sore. Jam-jam di mana wartawan memilih pulang atau mengetik berita lain. Itu seingat saya. Bisa saja dikoreksi.

Parahnya terjadi saat sidang putusan. Hakim mengetok palu ketika hari sudah senja, 24 Mei 2022. Ketika orang masih berada di masjid untuk melaksanakan salat Maghrib. Tok tok tok, saleh divonis tidak bersalah. Per hari itu, Saleh bebas.

Keesokan harinya, terjadi aksi demo. Meminta jaksa penuntut umum melakukan langkah hukum. Yakni, Kasasi. Akhir November 2022, putusan kasasi keluar. Hakim MK membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor 17/Pid,Sus/2022/PN Plk  24 Mei 2022. Saleh harus kembali ke jeruji besi dengan putusan penjara 7 tahun dan denda Rp1 miliar.

Putusan MK itu sejatinya dijadikan modal kuat untuk pihak terkait segera melakukan eksekusi. Petugas sudah “mengintip” jendela rumahnya. Saleh sudah tidak tidur di sana. Kalau pun Saleh ada di rumah, petugas mungkin salah “intip”. Saleh sedang di kamar tidur, yang “diintip” petugas jendela ruang tamu.

Dua kali puasa dan dua kali lebaran Saleh sudah tidak pulang. Tapi, ada kemungkinan lebaran tahun ini Saleh mudik. Momen itu jadi kesempatan bagi jaksa eksekusi beraksi. Tapi, jaksanya juga lagi mudik. Enggak mungkin ngurusi buronan. Kecuali, tangkap tangan saat tak sengaja ketemu Saleh di kampung halamannya. Ada kemungkinan Saleh menunda mudik sampai lebaran tahun depan. Sekalian ganti nama jadi Bang Toyib.(*)

Penulis adalah Redaktur Pelaksana Kalteng Pos.

Exit mobile version