JAKARTA–Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) memastikan penetapan upah minimum (UM) 2023 akan menggunakan skema dalam Peraturan Pemerintah (PP) 36/2021 tentang Pengupahan. Rencananya, angkanya diumumkan pada 21 November 2022.
Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi menyatakan, pihaknya telah mengantongi data penunjang untuk penetapan UM dari Badan Pusat Statistik (BPS). Saat ini data tersebut masih dalam proses penggodokan. ”Tunggu dulu, nanti kalau sudah ada informasi yang jelas, akan kami sampaikan,” tuturnya saat ditemui seusai penandatanganan kerja sama pelatihan berbasis kerja antara Kemenaker dan Kementerian Federal Tenaga Kerja dan Ekonomi Austria di Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Hal tersebut diamini Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Dita Indah Sari. Dia mengatakan, data yang masuk saat ini baru inflasi nasional. Sedangkan untuk UM provinsi (UMP), diperlukan data inflasi per daerah, bukan inflasi nasional. ”Iya, pakai formula PP 36/2021 dong. Jadi, formula itu kan upah sekarang ditambah inflasi atau pertumbuhan ekonomi,” terangnya.
Dari formula tersebut, Dita tak menutup kemungkinan bahwa kenaikan UM 2023 bakal lebih tinggi daripada tahun lalu. Sebab, formula perhitungan yang digunakan bergantung pada angka inflasi. Belum lagi, tiap provinsi memiliki besaran angka inflasi berbeda-beda yang memungkinkan satu provinsi lebih tinggi dibanding yang lain. ”Kalau inflasinya tinggi, kenaikannya tinggi kan. Tapi, kita tidak mendoakan inflasi tinggi ya. Karena harga barang pasti nanti jadi lebih tinggi,” paparnya.
Dita mengisyaratkan kenaikan tak akan sebesar tuntutan para buruh/pekerja sebesar 13 persen. Sebab, bila kenaikan UM sebesar itu, inflasi juga harus tinggi. Sebelumnya sejumlah ekonom menyatakan bahwa kenaikan UM sebesar 6–7 persen masih memungkinkan. Saat hal itu dikonfirmasikan kepada dirinya, Dita memberikan sinyal positif. ”Mungkin (bisa naik 6–7 persen, Red). Pinter BPS sih, soalnya otoritatifnya BPS. Kita pegang data BPS,” ungkapnya.
Disinggung soal waktu pengumuman besaran UM 2023, Dita mengatakan bakal disampaikan pada 21 November 2022. Setelah itu barulah UMP diputuskan oleh para gubernur masing-masing. ”Kadang sih kebanyakan pemda sesuai dengan batas waktu, tapi ada juga beberapa yang mundur sampai Desember,” imbuhnya.
Kemenaker juga menyoroti usul pengusaha soal aturan no work, no pay. Usul tersebut disampaikan para pengusaha saat rapat bersama Komisi IX DPR. Salah satu alasannya adalah menghindari PHK massal di tengah ancaman resesi. Dita menegaskan, hal itu harus dibicarakan oleh perusahaan dengan serikat pekerja. Apabila serikat pekerja setuju, Kemenaker akan memberikan lampu hijau. ”Kuncinya di situ,” tuturnya.
Lebih lanjut Dita menjelaskan, apabila kedua pihak setuju, harus ada perjanjian baru. Dalam perjanjian baru tersebut, wajib ada batas waktu berlakunya. Misalnya hanya berlaku dalam waktu enam hingga delapan bulan. Setelah itu kembali pada perjanjian awal. ”Jangan sampai 2024 dong,” ucapnya.
Selain itu, lanjut Dita, tak semua sektor bisa menerapkan kebijakan tersebut. Perusahaan-perusahaan yang pertumbuhannya positif seperti sawit dan tambang dilarang keras mengajukan kebijakan no work, no pay itu. ”No work, no pay itu yang ordernya kurang, seperti garmen dan tekstil. Nanti tambang, timah, ikutan. Itu jangan! Buruh juga harus kritis, jangan mau disamain,” tegas mantan aktivis buruh tersebut.
Lalu, bagaimana jika ada pemaksaan dari perusahaan? Dita menegaskan, ada dinas ketenagakerjaan daerah yang akan membantu. Para dinas diyakininya sudah mengetahui sektor apa saja yang diterpa banyak keluhan soal ini. Sehingga perusahaan di luar list tersebut akan ditolak ketika melaporkan perjanjian baru no work, no pay-nya.
Terpisah, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Ketenagakerjaan Adi Mahfudz menegaskan, kenaikan upah akan tidak jauh dari kenaikan inflasi ataupun pertumbuhan ekonomi berdasar data dari BPS. Dia menyebutkan, untuk mengukur besaran upah, terdapat banyak indikator yang perlu dimasukkan berdasar data BPS. Tidak hanya melihat pertumbuhan ekonomi dan inflasi. ”Untuk menghitung dengan formulasi PP 36/2021, ada indikator ekonomi dan ketenagakerjaan yang harus dimasukkan,” terangnya.
Menanggapi tuntutan kenaikan 13 persen yang diajukan kalangan buruh, Adi menilai angka tersebut sangat berat. ”Salah satu provinsi mungkin bisa, namun tidak secara rata-rata nasional,” tegasnya.
Menurut Adi, saat ini kondisi cash flow sebagian perusahaan masih stagnan. Banyak juga yang berada di posisi minus karena belum sepenuhnya pulih dari tekanan pandemi. ”Kami tetap akan menyesuaikan dengan formula inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Antara pengusaha dan pekerja harus dibicarakan bersama secara bipartit. Kita juga akan menunggu keputusan dewan pengupahan,” terangnya. (mia/agf/c9/oni/jpg)