PALANGKA RAYA – Politik identitas masih sulit dihilangkan pada penyelenggaraan pemilihan langsung di Indonesia. Tidak terkecuali di Provinsi Kalimantan Tengah. Politik identitas menjadi hal yang seksi untuk dimainkan para pasangan calon (paslon) dalam rangka meraih dukungan suara dari masyarakat sebagai pemilih.
Fakta di lapangan, hingga saat ini politik identitas dimainkan, baik itu dilatarbelakangi oleh agama, suku dan lainnya. Berbagai pihak berperan dalam meminimalisir politik identitas, khususnya partai politik.
Pengamat politik Jhon Retei Alfri Sandi mengatakan, penggunaan politik identitas pada Pemilu 2024 tergantung konfigurasi paslon yang ditentukan partai. Langkah parpol dalam meminimalisir politik identitas salah satunya dengan menentukan pilihan rekomendasi politik dalam pengusungan pasangan, yakni harus melihat berbagai hal, seperti aspek historis, filosofis dan sosilogisnya.
“Parpol harus menyajikan konfigurasi pasangan calon yang sehat, karena politik identitas ini tergantung pada konfigurasi awal oleh partai. Sedangkan masyarakat hanya terjebak saja di dalamnya,” katanya saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Rabu (11/1/2023).
Parpol, kata Jhon, sangat berperan dalam meminimalisir politik identitas. Karena hal ini tidak hanya menjadi tugas Bawaslu dan KPU sebagai penyelenggara. Politik identitas ini, meski tidak bisa dihilangkan, tapi setidaknya harus diminimalisir.
“Harapan kita dari pilkada ini untuk melahirkan kepala daerah yang membawa perubahan dan kemajuan daerah, hal ini bisa diwujudkan hanya dengan pemilih yang rasional,” ucapnya.
Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Palangka Raya (UPR) ini menyebut, salah satu indikator negara demokrtasi yakni memiliki pemilih yang rasional. Untuk itu, menjadi tugas bersama melakukan pendidikan politik, termasuk media massa dan akademisi dengan memberikan edukasi kepada masyarakat.
“Yang menjadi perhatian harus lebih kepada masyarakat menengah ke bawah dengan pendidikan dan perekonomian rendah. Mereka ini rawan masuk dalam politik identitas,” tegasnya.
Untuk itu, penting membentuk opini publik yang dilakukan berbagai pihak yang menggiring edukasi kepada masyarakat tentang tujuan daripada pilkada. Hal ini, lanjutnya, dapat menjadi bahan parpol merekomendasikan paslon yang akan diusung. “Jangan sampai pilkada ini nantinya justru memunculkan persoalan baru akibat politik identitas ini,” ujarnya.
Perlu peran para tokoh sebagai simpul dalam lingkungan kemasyarakatan, baik tokoh agama, tokoh adat dan lainnya. “Masyarakat perlu diingatkan bahwa pilkada ini memilih kepala dalam konteks negara, bukan memilih kepala adat, suku, agama dan konteks identitas lainnya,” pungkasnya. (abw/ens)