Site icon KaltengPos

Tekan Kasus TBC, Ternyata Kelompok Ini yang Paling Rentan Tertular

ilustrasi TBC

PALANGKA RAYA–Indonesia menduduki peringkat tertinggi nomor dua di dunia dalam kasus tuberkulosis (TBC) tahun 2023. Penyakit ini menyerang siapa saja tanpa memandang usia. Terutama mereka yang memiliki daya tahan tubuh rendah, seperti anak-anak dan orang tua lanjut usia. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalteng mencatat, di 14 kabupaten/kota menunjukkan bahwa kelompok laki-laki lebih banyak terserang TBC dibandingkan perempuan.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kalteng dr Riza Syahputra menjelaskan, jumlah kasus TBC global dihitung berdasarkan survei prevalensi dan estimasi beban TBC oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organizatin (WHO). Di Kalteng, kata Riza, terjadi penurunan estimasi jumlah kasus TBC hingga 27 persen dalam rentan waktu dua tahun terakhir (2023-2024). Penurunan itu memungkinkan penanganan yang lebih cepat dan optimal.

“Dari jumlah pasien yang harus dicari di Kalteng, kasus TBC menurun cukup signifikan, dari 10.689 pasien menjadi 7.803 pasien atau menurun 27 persen dari estimasi tahun sebelumnya. Nah, target dari Kementerian Kesehatan yakni kita harus bisa mencapai 90 persen dari 7.803 tersebut, sehingga pasien yang ditemukan bisa langsung diobati,” jelasnya.

Proses penemuan pasien TBC harus dilakukan secara aktif. Sebab, ada TBC yang tidak responsif terhadap obat pertama dan memerlukan obat kedua. Ada juga TBC yang sensitif terhadap obat tertentu. Progres upaya mengejar target penemuan kasus TBC di Kalteng hingga Juli 2024 ini masih belum mencapai harapan. Jumlah penemuan kasus (treatment coverage) TBC baru mencapai sekitar lebih 20 persen.

Capaian pemeriksaan suspek TBC sesuai standar pelayanan minimal atau (SPM) di Kalteng, kini berada di angka 30 persen, mendekati rata-rata nasional sebesar 36 persen. Sementara itu, angka keberhasilan pengobatan di Kalteng tercatat sebesar 76 persen, atau masih di bawah rata-rata nasional yang mencapai 82 persen.

“Upaya penemuan kasus TBC selalu diawali dengan penjaringan suspek, dan kinerja penemuan suspek TBC merupakan salah satu indikator standar pelayanan minimal (SPM) kabupaten/kota,” tambahnya.

Pada 2023 lalu, tercatat ada 53 pasien TBC resistan obat (RO) di Kalteng. Namun hanya 40 pasien yang memasuki tahap pengobatan. Sejauh ini fasilitas pengobatan TBC RO masih terkonsentrasi di tiga kota, yakni Palangka Raya, Sampit, dan Pangkalan Bun. Meski demikian, fasilitas tes cepat molekular (TCM) untuk TBC sudah tersedia di seluruh kabupaten/kota.

Disampaikannya, TBC dapat menyerang siapa saja tanpa memandang usia, terutama mereka yang memiliki daya tahan tubuh rendah, seperti anak-anak dan orang tua lanjut usia. Informasi yang dihimpun Dinas Kesehatan Kalteng, laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan perempuan. Hal itu sangat mungkin karena laki-laki lebih sering bekerja dan bertemu orang lain, sehingga meningkatkan risiko tertular TBC melalui batuk atau percikan ludah dari penderita TBC.

Pemerintah pusat juga telah mengantisipasi penularan TBC dalam keluarga dengan memberikan obat pencegahan, terutama bagi anak-anak. Namun, produksi obat itu terbatas dan tidak diperjualbelikan secara bebas. Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng berwenang untuk menyediakan logistik dan kebutuhan obat-obatan bagi kabupaten/kota serta memfasilitas pendistribusiannya dari Kementerian Kesehatan ke daerah-daerah.

Sementara itu, Riza menyebut bahwa tugas mencari pasien adalah ranah kabupaten/kota. Sedangkan dinas kesehatan provinsi hanya mengoordinasi. Saat ini, kasus TBC terbanyak ada di Kota Palangka Raya dan Kotawaringin Timur, karena kedua daerah itu memiliki banyak penduduk.

Dalam upaya memenuhi target The End TB Strategy, WHO merekomendasikan penggunaan alat diagnostik molekular untuk TBC yang harus tersedia bagi semua orang dengan gejala TBC. Semua pasien TBC yang telah terkonfirmasi bakteriologis harus dilakukan pemeriksaan uji kepekaan TBC. Setidaknya untuk mengetahui resistansi terhadap obat rifampisin (R) dan fluoroquinolone (FQ)

Lebih lanjut Riza mengatakan, ketersediaan logistik TBC di Kalteng saat ini masih cukup. Kendati demikian, tetap ada kendala yang dihadapi. Kendala utama adalah luasnya wilayah Kalteng yang tidak sebanding dengan ketersediaan personel atau sumber daya manusia (SDM) untuk menjangkau daerah pelosok atau perdesaan. Meskipun begitu, tren pencarian pasien TBC di Kalteng meningkat dari tahun ke tahun. Tahun lalu ditemukan 52 persen kasus TBC. Tahun ini diharapkan bisa mencapai target 70 persen, agar para penderita bisa segera ditangani melalui pengobatan.

Riza mengimbau masyarakat untuk segera memeriksakan diri ke puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat, jika mengalami batuk lebih dari dua pekan dan batuknya berdahak, dan tak kunjung sembuh meski sudah mengonsumsi obat. Tenaga kesehatan yang terlatih dapat membedakan batuk TBC dan batuk biasa, sehingga bisa segera dideteksi dan diobati untuk mencegah penularan lebih lanjut.

Upaya meningkatkan capaian penemuan kasus dan keberhasilan pengobatan TBC di Kalteng memerlukan kerja sama semua pihak, baik pemerintah daerah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat. Dengan peningkatan fasilitas dan implementasi rekomendasi WHO, diharapkan target penemuan dan pengobatan terhadap penderita TBC dapat tercapai, sehingga angka kasus TBC di Kalteng dapat ditekan. (ovi/ce/ala)

Exit mobile version