Bagi Hasil Jadi Jargon, Bank Syariah “Takut” Menggunakan Akad Mudharabah

20
ILUSTRASI

PERBANKAN syariah dihadirkan sebagai solusi finansial yang menawarkan alternatif bebas riba, dengan menekankan nilai keadilan, kemitraan, dan keberkahan dalam setiap transaksi. Sejak awal kemunculannya, sistem ini dikenal luas lewat prinsip andalannya: bagi hasil. Berbeda dari bunga yang menjadi ciri khas bank konvensional, konsep bagi hasil menempatkan nasabah dan bank sebagai mitra usaha yang berbagi risiko dan keuntungan secara adil. Tak hanya itu, perbankan syariah juga mengedepankan investasi berbasis sektor riil, yang dinilai lebih berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Konsep bagi hasil ini berakar dari akad mudharabah—yaitu kerja sama antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib). Jika usaha untung, maka keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati sejak awal. Jika rugi, maka pemilik modal menanggung kerugian finansial, selama pengelola tidak melakukan kelalaian.

Namun, meskipun kerap disebut sebagai salah satu identitas perbankan syariah, data pembiayaan dari nasional untuk pembiayaan dari bank umum syariah dan unit usaha syariah justru menunjukkan bahwa pembiayaan dengan akad mudharabah lebih kecil dari akad lain. Tak “sepopuler” akad lain.

Data Bicara: Akad Mudharabah Tak Mendominasi

Berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah, pada tabel Pembiayaan dan NPF berdasarkan Jenis Akad – Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah-, yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), membuktikan bahwa akad mudharabah hanya menyumbang porsi kecil dalam total pembiayaan syariah nasional.

Baca Juga :  Bulog Jual Beras Subsidi Rp48 Ribu per 5 Kilo

Berikut ringkasan pembiayaan dan Non-Performing Financing (NPF/kredit macet) selama empat tahun terakhir (2021-2024):

Tahun Mudharabah (Rp Miliar) NPF (Rp Miliar) Musyarakah (Rp Miliar) NPF (Rp Miliar) Murabahah (Rp Miliar) NPF (Rp Miliar)
2021 10.185 139 187.458 5.339 190.884 4.291
2022 10.376 174 223.680 5.420 233.046 5.113
2023 12.252 148 278.161 5.228 248.600 5.419
2024 16.295 264 315.878 5.954 256.054 6.274

Meski pembiayaan mudharabah meningkat, nilainya tetap sangat kecil dibanding musyarakah dan murabahah yang mendominasi struktur pembiayaan.

Kenyataan ini menimbulkan ironi. Banyak produk pembiayaan syariah—termasuk Kredit Usaha Rakyat (KUR)—justru tidak memakai skema bagi hasil. Alih-alih mudharabah, bank syariah cenderung memilih akad murabahah (jual beli dengan margin), musyarakah mutanaqisah (kemitraan dengan kepemilikan menurun), atau ijarah (sewa) atau akad lainnya.

Walau sering disebut sebagai ikon perbankan syariah, akad mudharabah justru kalah pamor dibandingkan akad-akad lain yang lebih “aman” dan bisa dikontrol oleh pihak bank. Dalam praktiknya, bank syariah/ LKS kini lebih memilih akad-akad yang bisa memberikan kepastian hasil dan perlindungan aset.

Tabel Perbandingan Akad Mudharabah, Musyarakah, dan Murabahah

Aspek Mudharabah Musyarakah Murabahah
Jenis Akad Bagi hasil antara pemilik modal & pengelola Bagi hasil antar dua pihak sebagai mitra usaha Jual beli barang dengan margin
Sumber Keuntungan Hasil usaha Hasil usaha bersama Selisih harga jual dan beli
Risiko Ditanggung           Pemilik modal (asal tidak ada kelalaian) Ditanggung bersama sesuai porsi modal Pembeli menanggung risiko barang
Jaminan/
Agunan
Tidak diperbolehkan (akad berbasis amanah) Tidak wajib/ Diperbolehkan Wajib/ Diperbolehkan
Kontrol Bank Terbatas, hanya evaluasi laporan usaha Bisa ikut campur dalam keputusan bisnis Kontrol penuh atas transaksi barang
Fatwa
DSN-MUI
No. 07/DSN-MUI/IV/2000 No. 08/DSN-MUI/IV/2000 No. 04/DSN-MUI/IV/2000
Kelebihan Cocok untuk usaha besar dan pasti profit tiap bulan Cocok untuk kerja sama modal besar Praktis, minim risiko bagi bank
Kelemahan Risiko tinggi, sulit diawasi Membutuhkan keterlibatan aktif Tidak mencerminkan sistem bagi hasil
Baca Juga :  Bank Syariah Bisa Terjerumus ke Praktik Riba? Akad Ini Bisa Jadi Penyebabnya

 

Mengapa Bank Syariah/ LKS “Takut” Pakai Mudharabah?

Menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya: “Perbankan Syariah Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia”, penggunaan akad mudharabah menyimpan risiko tinggi. Dalam mudharabah, bank tidak diperkenankan meminta agunan, karena akad ini berbasis kepercayaan dan kemitraan. Bank hanya bisa mengandalkan kelancaran usaha nasabah (first way out) untuk pengembalian dana.

Jika usaha gagal, bank syariah menanggung seluruh kerugian finansial, sementara nasabah hanya kehilangan potensi keuntungan. Selain itu nasabah juga tidak berkewajiban mengebalikan dana yang telah diserahkan bank syariah. Skema ini membuat bank syariah/LKS enggan mengambil risiko besar, terutama untuk pembiayaan ritel atau usaha mikro. (*)