Kamis, Mei 15, 2025
24.5 C
Palangkaraya

Putusan PN Sampit Dianggap Mencederai Hukum Adat Dayak Kalteng

PALANGKA RAYA-Sekelompok warga yang tergabung dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kalteng menggelar aksi damai di Palangka Raya, Rabu pagi (14/5/2025).

Aksi itu dilakukan di dua lokasi penting, yakni di Rumah Adat Betang Hapakat dan halaman Kantor Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya di Jalan RTA Milono.

Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sampit yang dianggap mencederai dan mengabaikan kewenangan lembaga peradilan adat Dayak, khususnya keputusan Damang Adat di Kecamatan Tualan Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).

Aksi ini dihadiri perwakilan masyarakat adat Dayak dari berbagai wilayah di Bumi Tambun Bungai.

Massa membawa spanduk dan seruan damai yang menuntut keadilan dan penghormatan terhadap hukum adat yang telah lama menjadi fondasi kehidupan masyarakat Dayak.

Aksi dimulai dari Rumah Adat Betang Hapakat, dengan menyerahkan tuntutan kepada DAD Provinsi Kalteng. Setelah itu, massa bergerak menuju Kantor Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya untuk menyampaikan tuntutan.

Perwakilan pengunjuk rasa sekaligus tergugat 1, Yanto Eko Saputra, menyebut tiga tuntutan utama yang disuarakan dalam aksi itu. Tuntutan telah disampaikan secara resmi kepada DAD Kalteng dan Pengadilan Tinggi Palangka Raya. Menurut Yanto, respons dari DAD Kalteng cukup baik.

“Kami juga sudah menyerahkan laporan ke Pengadilan Tinggi Palangka Raya, agar mereka mengetahui dan mempertimbangkan banding yang kami ajukan terkait keputusan Pengadilan Negeri Sampit. Kami ingin keadilan yang berpihak pada adat dan tidak mengabaikan peran damang sebagai pemimpin hukum adat di wilayahnya,” lanjut Yanto.

Baca Juga :  WBK dan WBBM Prioritas FKIP UPR

Yanto mengatakan, DAD berjanji akan mempelajari laporan yang disampaikan dan memproses permintaan masyarakat adat. Terutama terkait desakan untuk menggelar sidang adat Basara Hai, suatu mekanisme pertanggungjawaban adat terhadap pelanggaran nilai dan norma adat oleh pihak mana pun, termasuk hakim.

Ia menegaskan, pihaknya bukan ingin mengintervensi proses hukum negara, melainkan mencari keadilan bagi masyarakat adat yang merasa diabaikan dan dipinggirkan oleh sistem peradilan formal. Apabila tidak ada langkah konkret dari pihak terkait dalam waktu dua minggu, pihaknya akan mengambil langkah lagi.

“Kami berharap ada tindak lanjut yang jelas. Jika tidak, kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan bentuk anarkisme atau intervensi, tetapi perjuangan untuk martabat hukum adat yang sah,” tegasnya.

Ada beberapa tuntutan yang disuarakan massa. Pertama, menuntut Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya dan hakim pengawas sidang agar memeriksa pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Sampit yang memeriksa dan mengadili perkara perdata nomor: 36/pdt.g/2024/pn/spt, tanggal 29 april 2025, karena dinilai membuat keputusan ultra petita dan telah menyinggung masyarakat hukum adat Dayak, karena menyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Putusan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan Tualan Hulu Nomor: 1/dka-th/pts/5/2024, tanggal 2 Mei 2024.

Kedua, menuntut Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya membuat pernyataan tertulis berisi permintaan maaf kepada seluruh masyarakat hukum adat Dayak dan kelembagaan adat Dayak se-Kalteng atas pelanggaran sebagaimana tuntutan pertama, dan menjamin hal yang demikian tidak akan terulang lagi di kemudian hari. Tuntutan ketiga, mendesak DAD Kalteng menggelar sidang adat Basara Hai.

Baca Juga :  Mendawai Dibayangi Banjir Lagi

Sementara, Wakil Ketua PT Palangka Raya Muhammad Damis menanggapi serius aspirasi masyarakat. Ia menyatakan pihaknya telah meminta klarifikasi Pengadilan Negeri Sampit sejak 9 Mei 2025, tetapi hingga kini belum menerima penjelasan resmi.

“Kami tidak tinggal diam. Ketika informasi masuk, kami langsung minta klarifikasi dari PN Sampit. Namun, hingga hari ini belum mendapat balasan,” kata Damis.

Ia menambahkan, perkara dengan nomor: 36/Pdt.G/2025/PN/Spt itu kini telah diajukan upaya hukum banding dan akan diperiksa ulang oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Palangka Raya.

Damis menegaskan, eksistensi hukum adat diakui oleh konstitusi, terutama dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dan hakim wajib mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat yang hidup di tengah masyarakat. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa putusan lembaga adat tetap harus selaras dengan ketentuan hukum nasional.

“Produk hukum adat, seperti perdamaian adat, mohon didaftarkan ke pengadilan, asal tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum,” tuturnya.

Menanggapi kekhawatiran masyarakat soal potensi intervensi, Damis memberikan jaminan bahwa para hakim di Pengadilan Tinggi Palangka Raya bekerja secara independen dan tidak terpengaruh oleh tekanan pihak mana pun.

“Di sini tidak ada titipan. Hakim kami bekerja secara mandiri. Kami mencatat semua aspirasi masyarakat sebagai bahan pertimbangan dalam proses banding yang sedang berjalan,” tutupnya. (mut/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Sekelompok warga yang tergabung dalam Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kalteng menggelar aksi damai di Palangka Raya, Rabu pagi (14/5/2025).

Aksi itu dilakukan di dua lokasi penting, yakni di Rumah Adat Betang Hapakat dan halaman Kantor Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya di Jalan RTA Milono.

Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Sampit yang dianggap mencederai dan mengabaikan kewenangan lembaga peradilan adat Dayak, khususnya keputusan Damang Adat di Kecamatan Tualan Hulu, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).

Aksi ini dihadiri perwakilan masyarakat adat Dayak dari berbagai wilayah di Bumi Tambun Bungai.

Massa membawa spanduk dan seruan damai yang menuntut keadilan dan penghormatan terhadap hukum adat yang telah lama menjadi fondasi kehidupan masyarakat Dayak.

Aksi dimulai dari Rumah Adat Betang Hapakat, dengan menyerahkan tuntutan kepada DAD Provinsi Kalteng. Setelah itu, massa bergerak menuju Kantor Pengadilan Tinggi (PT) Palangka Raya untuk menyampaikan tuntutan.

Perwakilan pengunjuk rasa sekaligus tergugat 1, Yanto Eko Saputra, menyebut tiga tuntutan utama yang disuarakan dalam aksi itu. Tuntutan telah disampaikan secara resmi kepada DAD Kalteng dan Pengadilan Tinggi Palangka Raya. Menurut Yanto, respons dari DAD Kalteng cukup baik.

“Kami juga sudah menyerahkan laporan ke Pengadilan Tinggi Palangka Raya, agar mereka mengetahui dan mempertimbangkan banding yang kami ajukan terkait keputusan Pengadilan Negeri Sampit. Kami ingin keadilan yang berpihak pada adat dan tidak mengabaikan peran damang sebagai pemimpin hukum adat di wilayahnya,” lanjut Yanto.

Baca Juga :  WBK dan WBBM Prioritas FKIP UPR

Yanto mengatakan, DAD berjanji akan mempelajari laporan yang disampaikan dan memproses permintaan masyarakat adat. Terutama terkait desakan untuk menggelar sidang adat Basara Hai, suatu mekanisme pertanggungjawaban adat terhadap pelanggaran nilai dan norma adat oleh pihak mana pun, termasuk hakim.

Ia menegaskan, pihaknya bukan ingin mengintervensi proses hukum negara, melainkan mencari keadilan bagi masyarakat adat yang merasa diabaikan dan dipinggirkan oleh sistem peradilan formal. Apabila tidak ada langkah konkret dari pihak terkait dalam waktu dua minggu, pihaknya akan mengambil langkah lagi.

“Kami berharap ada tindak lanjut yang jelas. Jika tidak, kami tidak akan tinggal diam. Ini bukan bentuk anarkisme atau intervensi, tetapi perjuangan untuk martabat hukum adat yang sah,” tegasnya.

Ada beberapa tuntutan yang disuarakan massa. Pertama, menuntut Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya dan hakim pengawas sidang agar memeriksa pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Sampit yang memeriksa dan mengadili perkara perdata nomor: 36/pdt.g/2024/pn/spt, tanggal 29 april 2025, karena dinilai membuat keputusan ultra petita dan telah menyinggung masyarakat hukum adat Dayak, karena menyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Putusan Kerapatan Mantir Perdamaian Adat Kecamatan Tualan Hulu Nomor: 1/dka-th/pts/5/2024, tanggal 2 Mei 2024.

Kedua, menuntut Ketua Pengadilan Tinggi Palangka Raya membuat pernyataan tertulis berisi permintaan maaf kepada seluruh masyarakat hukum adat Dayak dan kelembagaan adat Dayak se-Kalteng atas pelanggaran sebagaimana tuntutan pertama, dan menjamin hal yang demikian tidak akan terulang lagi di kemudian hari. Tuntutan ketiga, mendesak DAD Kalteng menggelar sidang adat Basara Hai.

Baca Juga :  Mendawai Dibayangi Banjir Lagi

Sementara, Wakil Ketua PT Palangka Raya Muhammad Damis menanggapi serius aspirasi masyarakat. Ia menyatakan pihaknya telah meminta klarifikasi Pengadilan Negeri Sampit sejak 9 Mei 2025, tetapi hingga kini belum menerima penjelasan resmi.

“Kami tidak tinggal diam. Ketika informasi masuk, kami langsung minta klarifikasi dari PN Sampit. Namun, hingga hari ini belum mendapat balasan,” kata Damis.

Ia menambahkan, perkara dengan nomor: 36/Pdt.G/2025/PN/Spt itu kini telah diajukan upaya hukum banding dan akan diperiksa ulang oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Palangka Raya.

Damis menegaskan, eksistensi hukum adat diakui oleh konstitusi, terutama dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dan hakim wajib mempertimbangkan nilai-nilai hukum adat yang hidup di tengah masyarakat. Meski begitu, ia mengingatkan bahwa putusan lembaga adat tetap harus selaras dengan ketentuan hukum nasional.

“Produk hukum adat, seperti perdamaian adat, mohon didaftarkan ke pengadilan, asal tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum,” tuturnya.

Menanggapi kekhawatiran masyarakat soal potensi intervensi, Damis memberikan jaminan bahwa para hakim di Pengadilan Tinggi Palangka Raya bekerja secara independen dan tidak terpengaruh oleh tekanan pihak mana pun.

“Di sini tidak ada titipan. Hakim kami bekerja secara mandiri. Kami mencatat semua aspirasi masyarakat sebagai bahan pertimbangan dalam proses banding yang sedang berjalan,” tutupnya. (mut/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/