UNTUK kesekian kalinya kembali Provinsi Kalimantan Tengah, dalam hal ini terkait dengan Pemilihan Bupati dan wakil Bupatinya, mendapat perhatian pada rana nasional. Jika pada tahun 2013 lalu, Kabupaten Gunung Mas yang santer menjadi perbincangan para pengamat, akademisi dan praktisi politik dan hukum, karena akibat adanya upaya suap terkait sengketa hasil pemilihannya membuat sang ketua Mahkamah Konstitusi terjaring dalam sebuah operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kemudian pada tahun 2025 ini kembali salah satu Kabupaten yang ada di Kalimantan Tengah menjadi perhatian perbincangan nasional, dimana saat pembacaan Putusan Nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025 terkait sengketa pemilihan hasil kepala daerah Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Barito Utara, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mendiskualifiasi kedua pasangan calon, dengan dalil keduanya terbukti dan meyakinkan telah melakukan money politic dalam pemilihan kepala daerah di Barito Utara.
Bagian lanjutan yang membuat semua pihak mulai memberikan sorotan pada pemilihan Barito Utara ini, siapa bakal calon selanjutnya yang akan menggantikan para pasangan calon sebelumnya yang telah dinyatakan didiskualifikasi? selanjutnya berbagai nama bakal calon yang mulai muncul ke media atau melewati tim suksesnya mulai berseliweran dapat dilihat oleh masyarakat dalam berbagai platform media, diantaranya yang menjadi focus komentar penulis adalah mereka yang memiliki background Anggota Legislatif (Provinsi/kabupaten).
Ketertarikan dan keterpanggilan penulis disini karena pada Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya Nomor 176/PUU-XXII/2024 berkaitan larangan seorang mundur dari Jabatan DPR, DPD, DPRD (kab/kota/Provinsi) kecuali ditentukan atau dikecualikan lain dalam putusan tersebut, sementara dalam sebuah media online ada seorang Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya yang mangatakan “Putusan tersebut hanya berlaku bagi calon yang belum dilantik, artinya yang sudah dilantik dan menjabat itu tidak berlaku”.
Sekali lagi tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan bakal pasangan calon tertentu, atau upaya penggiringan opini untuk menguntungkan bakal pasangan calon lainnya, atau untuk unjuk kepongahan merasa diri lebih paham dan mengerti dalam membaca putusan Mahkamah Konstitusi, melainkan sebagai upaya merawat dialektika intelektual di Bumi Tambun Bungai Provinsi Kalimantan Tengah.
Dalam membaca putusan Mahkamah Konstitusi mengutip pendapat Hakim Konstitusi Saldi Isra, tidak bisa hanya melihat pada Amar Putusan, melainkan juga harus dibaca secara tuntas apa yang melatarbelakangi putusan tersebut atau yang lebih dikenal dengan Ratio decidendi Putusan Mahkamah Konstitusi.
Dalam melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 176/PUU-XXII/2024, penulis setidaknya ingin menghiglight beberapa pertimbangan mahkamah diantaranya:
[3.11] Menimbang bahwa dalam konteks permohonan para Pemohon, maka persoalan yang harus dijawab oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum a quo adalah apakah ketentuan mengenai penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, dan DPRD karena calon terpilih yang bersangkutan mengundurkan diri yang diatur dalam Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 memenuhi prinsip kedaulatan rakyat, memberi kepastian hukum yang adil dan sesuai asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali apabila tidak dimaknai sebagaimana termaktub dalam petitum para Pemohon. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut.
[3.11.3] Bahwa terhadap pengunduran diri yang menjadi salah satu alasan penggantian calon terpilih, Mahkamah berpendapat meskipun mengundurkan diri adalah hak seorang calon terpilih, namun mandat rakyat yang telah diberikan melalui suara saat pemungutan suara seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi seorang wakil rakyat sebelum mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dengan alasan apapun. Karena sebelum akhirnya terpilih, calon legislatif telah melakukan kampanye, menggulirkan berbagai janji politik, visi, misi, dan program serta figur pribadi calon yang menjadi daya tarik para pemilih untuk memilihnya. Ketika upaya dan usahanya berhasil mendulang banyak suara dan menjadi calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, maka keterpilihannya merupakan mandat yang diberikan oleh rakyat dan harus dihormati. Dalam konteks pemilihan umum, suara rakyat yang diberikan saat pemungutan suara adalah perwujudan demokrasi, bahkan satu suara saja menjadi sangat penting dan tidak boleh diabaikan.
[3.11.4]………………….Hal ini menurut Mahkamah akan menimbulkan ketidakpastian hukum terutama bagi para pemilih, yang telah memilih calon yang bersangkutan, yang kemudian akan menimbulkan ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam pemilihan umum. Dengan demikian, menurut Mahkamah, demi menjaga prinsip kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui pemungutan suara langsung dalam pemilihan umum, maka pengunduran diri calon terpilih harus memiliki batasan yang jelas.
[3.12.2]……………Oleh karenanya menurut Mahkamah, setelah calon legislatif terpilih maka calon terpilih akan menjadi wakil rakyat yang tidak bisa dengan semena-mena dilakukan penggantian baik oleh partai politik maupun dengan pengunduran diri atas kehendak calon terpilih sendiri. Penggantian yang dilakukan dengan ketidakjelasan alasan apalagi alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan akan mengkhianati suara rakyat yang telah diberikan saat pemungutan suara dalam pemilihan umum calon anggota legislatif.
Memang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024 telah menyatakan bahwa untuk calon anggota legislatif terpilih yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidaklah menyalahi prinsip kedaulatan rakyat, karena sebagai calon terpilih yang belum dilantik maka belum ada hak dan kewajiban konstitusional yang berpotensi dapat disalahgunakan oleh calon anggota DPR, anggota DPD dan anggota DPRD. Namun menurut Mahkamah dengan fenomena yang terjadi saat ini, suara pemilih terhadap figur tertentu untuk menjadi anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD tidak terlindungi. Suara pemilih yang sudah memilih calon tertentu dalam pemilihan anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD dinegasikan dengan adanya pengunduran diri calon dimaksud. Dengan fakta tersebut, penghargaan terhadap suara para pemilih menjadi hilang tatkala pemilih sudah memilih calon tertentu sebagai calon anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD, namun pilihannya tidak dapat diwujudkan karena adanya pengunduran diri, sehingga pemilih dipaksa harus menerima calon pengganti yang bukan pilihannya.
Lebih lanjut MK menimbang:
[3.12.4]……………..Dengan demikian, Mahkamah berpendapat calon terpilih yang mengundurkan diri karena hendak mencalonkan diri dalam pemilihan umum kepala daerah/wakil kepada daerah adalah hal yang melanggar hak konstitusional pemilih sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
[3.12.5]……………..Pengunduran diri calon terpilih dapat dibenarkan sepanjang pengunduran diri dimaksud dilakukan untuk menjalankan tugas negara yang lain seperti diangkat atau ditunjuk untuk menduduki jabatan menteri, duta besar, atau pejabat negara/pejabat publik lainnya. Artinya, jabatan-jabatan tersebut adalah jabatan yang bukan jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (elected officials), melainkan jabatan yang berdasarkan pengangkatan dan/atau penunjukan (appointed officials). …………….Oleh karena itu, menurut Mahkamah terhadap Pasal 426 ayat (1) huruf b UU 7/2017 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum”, sebagaimana selengkapnya termuat dalam amar Putusan a quo.
Terakhir, Berdasarkan setidaknya enam (6) pertimbangan mahkamah konstitusi tersebut, kemudian Amar Putusan no 2 “Menyatakan Pasal 426 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengundurkan diri karena mendapat penugasan dari negara untuk menduduki jabatan yang tidak melalui pemilihan umum”; mengacu pada Putusan Nomor 176/PUU-XXII/2024, maka berdasarkan batas penalaran hukum yang wajar penulis berkeyakinan pengunduran diri anggota DPR, DPD, DPRD untuk menjadi calon Kepala Daerah/ wakilnya adalah bertentangan menurut hukum dan Putusan MK ini. Dalam tafsir sederhananya jika untuk calon yang belum dilantik, yang belum memiliki hubungan konstitusional (hak dan kewajiban) dengan jabatan tersebut mendapat larangan apalagi anggota legislatif yang telah dilantik dan menjabat.
Penulis: Destano Anugrahnu*
*Penulis adalah Pemerhati Hukum Tata Negara di Provinsi Kalimantan Tengah