Sabtu, Juli 5, 2025
29.7 C
Palangkaraya

Jejak Syekh Abu Hamid (1): Terdampar di Pesisir Sampit saat Berlayar ke Banjar

SAMPIT-Lantunan syair religius “Salamullahi ya Sadah minar-Rahmani yagsyakum, ‘ibadallahi ji’nakum qashadnakum thalabnakum” menggema syahdu dari bibir para peziarah di tepi Pantai Ujung Pandaran, Kecamatan Teluk Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).

Mereka khusyuk menghadap sebuah makam yang dikeramatkan masyarakat setempat, memanjatkan doa diiringi deburan ombak yang menenangkan.

Di balik kubah sederhana di ujung desa itu, terhampar kain kuning yang menutupi Makam Syekh Abu Hamid bin Muhammad As’ad Al-Banjari. Aroma pandan dan dupa menyambut setiap pengunjung yang datang berziarah, menciptakan suasana sakral yang syahdu.

Syekh Abu Hamid Al-Banjari dikenal sebagai salah satu buyut dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, atau yang lebih akrab disapa Datu Kelampayan, ulama besar dari Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel).

Datu Kelampayan merupakan pengarang kitab legendaris Sabilal Muhtadin. Syekh Abu Hamid wafat pada 25 Januari 1885, dan sejak itu, makam keramat beliau menjadi tujuan ziarah bagi umat muslim dari berbagai penjuru, termasuk dari Kalimantan Selatan dan sekitarnya.

Baca Juga :  Stop Illegal Fishing

Gusti Azi Burahman Al Arsyadi, Ketua Dewan Pengurus Daerah Jam’iyah Zuriat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, menjelaskan bahwa Syekh Abu Hamid adalah salah satu dari “lima pandawa” – lima bersaudara putra Mufti Syekh Muhammad As’ad dan cucu langsung Datu Kelampayan. Mereka disebar ke berbagai wilayah Kalimantan untuk berdakwah.

Jejak Syekh Abu Hamid (2): Pernah Diziarahi Guru Sekumpul, Perlihatkan Karomah

“Ada lima saudara yang tersebar di Kalimantan. Di Tenggarong ada Abu Thalhah, di Sampit ada Syekh Abu Hamid, di Kandangan ada Datuk Ahmad Balimau, di Pagatan ada Datuk Muhammad Arsyad, dan di Taniran ada Datuk Sa’dudin. Semua adalah zuriat dari Datu Kelampayan,” ujarnya kepada Kalteng Pos.

Catatan keluarga dalam kitab Syajaratul Arsyadiah menyebutkan bahwa Syekh Abu Hamid pernah berdakwah di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar). Dalam perjalanan pulang untuk menziarahi Datu Kelampayan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, beliau menumpangi perahu pinisi dari Surabaya.

Jejak Syekh Abu Hamid (3): Umat Akhirnya Tahu Ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah

Namun, dalam perjalanan di laut, perahu yang ditumpanginya terhantam badai dan terdampar di pesisir Sampit, Ujung Pandaran. Di sinilah Syekh Abu Hamid jatuh sakit dan akhirnya wafat.

Baca Juga :  Selamat Lebaran di Kampung Halaman, Ribuan Pemudik Berlayar ke Jawa dari Sampit

“Beliau sakit dan wafat, lalu dimakamkan di Ujung Pandaran,” tutur Gusti Azi Burahman.

Meskipun tak sempat menyebarkan ilmu agama secara langsung di Sampit, keberadaan Makam Syekh Abu Hamid Al-Banjari membawa pengaruh besar. Banyak warga setempat yang kemudian tertarik mengenal ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah setelah berziarah ke makamnya, dan menerima dakwah dari ulama zuriat Datu Kelampayan yang aktif di wilayah tersebut. (bersambung/mif/ala)

SAMPIT-Lantunan syair religius “Salamullahi ya Sadah minar-Rahmani yagsyakum, ‘ibadallahi ji’nakum qashadnakum thalabnakum” menggema syahdu dari bibir para peziarah di tepi Pantai Ujung Pandaran, Kecamatan Teluk Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim).

Mereka khusyuk menghadap sebuah makam yang dikeramatkan masyarakat setempat, memanjatkan doa diiringi deburan ombak yang menenangkan.

Di balik kubah sederhana di ujung desa itu, terhampar kain kuning yang menutupi Makam Syekh Abu Hamid bin Muhammad As’ad Al-Banjari. Aroma pandan dan dupa menyambut setiap pengunjung yang datang berziarah, menciptakan suasana sakral yang syahdu.

Syekh Abu Hamid Al-Banjari dikenal sebagai salah satu buyut dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, atau yang lebih akrab disapa Datu Kelampayan, ulama besar dari Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan (Kalsel).

Datu Kelampayan merupakan pengarang kitab legendaris Sabilal Muhtadin. Syekh Abu Hamid wafat pada 25 Januari 1885, dan sejak itu, makam keramat beliau menjadi tujuan ziarah bagi umat muslim dari berbagai penjuru, termasuk dari Kalimantan Selatan dan sekitarnya.

Baca Juga :  Stop Illegal Fishing

Gusti Azi Burahman Al Arsyadi, Ketua Dewan Pengurus Daerah Jam’iyah Zuriat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, menjelaskan bahwa Syekh Abu Hamid adalah salah satu dari “lima pandawa” – lima bersaudara putra Mufti Syekh Muhammad As’ad dan cucu langsung Datu Kelampayan. Mereka disebar ke berbagai wilayah Kalimantan untuk berdakwah.

Jejak Syekh Abu Hamid (2): Pernah Diziarahi Guru Sekumpul, Perlihatkan Karomah

“Ada lima saudara yang tersebar di Kalimantan. Di Tenggarong ada Abu Thalhah, di Sampit ada Syekh Abu Hamid, di Kandangan ada Datuk Ahmad Balimau, di Pagatan ada Datuk Muhammad Arsyad, dan di Taniran ada Datuk Sa’dudin. Semua adalah zuriat dari Datu Kelampayan,” ujarnya kepada Kalteng Pos.

Catatan keluarga dalam kitab Syajaratul Arsyadiah menyebutkan bahwa Syekh Abu Hamid pernah berdakwah di Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar). Dalam perjalanan pulang untuk menziarahi Datu Kelampayan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, beliau menumpangi perahu pinisi dari Surabaya.

Jejak Syekh Abu Hamid (3): Umat Akhirnya Tahu Ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah

Namun, dalam perjalanan di laut, perahu yang ditumpanginya terhantam badai dan terdampar di pesisir Sampit, Ujung Pandaran. Di sinilah Syekh Abu Hamid jatuh sakit dan akhirnya wafat.

Baca Juga :  Selamat Lebaran di Kampung Halaman, Ribuan Pemudik Berlayar ke Jawa dari Sampit

“Beliau sakit dan wafat, lalu dimakamkan di Ujung Pandaran,” tutur Gusti Azi Burahman.

Meskipun tak sempat menyebarkan ilmu agama secara langsung di Sampit, keberadaan Makam Syekh Abu Hamid Al-Banjari membawa pengaruh besar. Banyak warga setempat yang kemudian tertarik mengenal ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah setelah berziarah ke makamnya, dan menerima dakwah dari ulama zuriat Datu Kelampayan yang aktif di wilayah tersebut. (bersambung/mif/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/