Sudah lima tahun berlalu sejak Assassin’s Creed Valhalla pertama kali dirilis pada tahun 2020. Namun, perdebatan tentang kualitasnya masih saja panas di komunitas gaming. Game ini menjadi salah satu RPG dunia terbuka paling ambisius dari Ubisoft, tetapi ironisnya justru sering dijadikan sasaran kritik keras, bahkan cenderung berlebihan. Yang menyedihkan, banyak dari kritik tersebut muncul bukan karena kelemahan nyata dalam gameplay, tapi karena kekecewaan terhadap arah baru seri ini.
Dunia yang Layak Dihidupkan

Valhalla menawarkan dunia yang luas, indah, dan penuh atmosfer. Dengan latar Inggris era Viking, setiap sudutnya terasa hidup. Visual yang luar biasa, langit yang dramatis, dan desain alam yang menawan menjadikan eksplorasi sebagai pengalaman tersendiri. Banyak pemain justru memilih bermain tanpa HUD agar bisa lebih meresapi suasana. Roaming sendirian di tengah hutan atau menyusuri lembah seolah membawa kita ke dunia lain yang tenang dan magis.
Cinematic, Brutal, dan Sarat Budaya

Pertarungan dalam Valhalla hadir dengan gaya sinematik yang memukau. Setiap serangan, ability, dan finishing move ditampilkan dengan detail dan brutalitas khas Viking. Lebih dari itu, kisah dan referensi budaya Nordik yang ditanamkan di dalamnya memberikan warna dan kedalaman tersendiri. Dari mitologi hingga tradisi kuno, game ini berhasil membawa pemain menyelami dunia Viking yang autentik dan penuh jiwa.
Antara Cinta dan Benci dari Para Penggemar
Meskipun telah lima tahun berlalu, suara-suara sumbang terhadap Valhalla tidak juga padam. Di berbagai platform, terutama YouTube, masih banyak konten kreator yang konsisten menyuarakan ketidaksukaan mereka terhadap game ini. Salah satunya adalah Luke Stephens, yang terus membuat video panjang menyebut Valhalla sebagai game buruk dan “bukan AC yang sesungguhnya”.
Padahal, Valhalla adalah bagian dari transisi besar seri ini sejak Origins dan Odyssey. Ubisoft secara terbuka membawa Assassin’s Creed ke arah yang lebih RPG. Bila seseorang berharap gameplay khas AC klasik seperti Brotherhood atau Black Flag, jelas Valhalla akan terasa asing. Namun, menyebutnya sebagai kegagalan adalah penilaian yang tidak adil.
Kritik yang Tak Pernah Puas
Lucunya, ketika Valhalla hadir dengan durasi permainan yang panjang, para pemain mengeluh “terlalu lama”. Namun saat Ubisoft merilis Assassin’s Creed Mirage dengan konsep lebih ringkas dan cepat tamat, muncul keluhan baru: “Terlalu singkat”. Situasi ini memperlihatkan bahwa dalam dunia game, pengembang sering terjebak dalam ekspektasi yang mustahil dipenuhi semua pihak.
Penilaian yang Lebih Seimbang
Valhalla memang bukan game yang sempurna. Beberapa misi terasa berulang, AI musuh bisa terlihat pasif, dan sistem skill tree-nya cenderung membingungkan di awal permainan. Tapi kelemahan itu tidak menghilangkan kualitas utamanya. Dunia yang ditawarkan Valhalla begitu luas dan penuh kejutan, sistem pertarungan tetap seru, dan eksplorasi terasa berarti.
Lebih dari itu, pendekatan kualitas dibanding kuantitas dalam sistem itemisasi menjadikan setiap senjata dan armor terasa unik, bukan sekadar hasil loot tanpa makna.
Kritik Adil, Bukan Kebencian Buta
Kritik adalah bagian penting dari perkembangan industri game. Namun ketika kritik berubah menjadi suara benci yang terus disuarakan selama bertahun-tahun, perlu dipertanyakan: apakah ini soal kualitas game, atau semata soal nostalgia dan ekspektasi pribadi yang tak terpenuhi?
Assassin’s Creed Valhalla sudah berusia lima tahun. Tapi ia tetap jadi topik hangat, baik dicintai maupun dibenci. Ini menunjukkan satu hal yang pasti: Valhalla bukan game yang bisa diabaikan begitu saja. Ia punya identitas kuat, dan bagi mereka yang mau membuka diri, petualangan ini bisa menjadi pengalaman yang tak terlupakan. (*cha)