Raya Sadianoor menjadi generasi ketiga yang mewarisi resep kopi di keluarganya. Pemuda asal Desa Karuing, Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah (Kalteng) ini berbagi cerita di Podcast Ruang Redaksi mengenai kegigihannya bisa mempertahankan resep secara turun-temurun. Kopi racikannya mendunia, ia pernah menerima tamu dari Eropa yakni Spanyol dan Belanda.
FITRI SHAFA KAMILA, Palangka Raya
BELUM banyak yang tahu, di balik harum secangkir kopi Indukuh tersimpan cerita panjang tentang tradisi, budaya, dan tekad seorang anak muda yang ingin melestarikan warisan leluhur. Raya Sadianoor, pemuda asal Desa Karuing Kabupaten Katingan yang kini menjadi penggerak utama di balik nama besar kopi khas Kalteng.
“Kopi ini awalnya hanya untuk keluarga. Dulu nenek saya yang bikin, lalu diajarkan ke ibu. Sekarang saya generasi ketiga,” tutur Raya di Podcast Ruang Redaksi, Senin (7/7).
Kopi yang diproduksi bukan sekadar minuman tapi simbol dari kearifan lokal. Raya menuturkan resep kopi rempah Indukuh berasal dari tradisi turun-temurun. Rempah-rempah seperti kayu manis, ketumbar, dan kelapa menjadi komposisi khas yang diwariskan sejak dulu.
Perjalanan Raya memulai bisnis kopi dimulai usai menyelesaikan kuliah di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam di IAIN Palangka Raya tahun 2018. Ia memilih kembali ke kampung halaman dan mulai serius mengembangkan kopi khas itu.
“Saya melihat potensi besar pada warisan ini dan sayang sekali jika dibiarkan, takut nanti hanya jadi cerita,” ucapnya.
Raya tak hanya ingin menjaga budaya, tapi juga membuka lapangan pekerjaan di kampung. Dia mulai dari bawah memproduksi secara manual dan kini telah memiliki alat produksi sendiri.
“Sekarang kami sudah pakai mesin prosesnya jadi lebih terkontrol tapi tetap menjaga rasa tradisional,” jelasnya.
Ia mengungkapkan semangat untuk terus berkembang mendorongnya melakukan inovasi. Salah satunya menyesuaikan rasa kopi dengan selera pasar tanpa meninggalkan identitas lokal.
“Rempah masih kami pertahankan, tapi misalnya kelapa sudah kami kurangi karena memengaruhi daya tahan produk,” kata Raya.
Indukuh kini memiliki beberapa varian produk. Mulai dari Kopi Rempah Klasik, Kopi Hitam Murni, hingga Kopi Nang yang dicampur dengan buah pinang. “Kopi Nang ini digemari kaum pria karena dipercaya meningkatkan stamina,” ungkapnya sembari tersenyum.
Tak hanya kopi, Indukuh juga memproduksi teh bajakah yang terkenal memiliki khasiat kesehatan. Bajakah diolah jadi bubuk dikemas dalam bentuk teh celup dari 100 persen potongan kayu bajakah asli.
“Ini tradisi lama. Orang tua kami dulu minum bajakah saat sakit atau kelelahan di hutan,” katanya.
Produksi saat ini berpusat di Jalan Haka Palangka Raya. Rumah keluarga dijadikan pusat produksi sekaligus kafe dan galeri. “Kami bangun juga panggung untuk acara komunitas agar tempat ini hidup dan menjadi ruang diskusi,” kata Raya.
Pengunjung yang datang ke kafenya kebanyakan wisatawan dari luar daerah hingga mancanegara. Raya menyebut pernah menerima tamu dari Spanyol dan Belanda yang tertarik melihat langsung proses produksi kopi. “Mereka suka yang otentik dan berbau tradisi,” ucapnya.
Raya tak menampik bahwa orang lokal masih banyak yang belum mengenal kopi Indukuh. Tapi perlahan, lewat promosi di media sosial dan kerja sama dengan pusat oleh-oleh, Indukuh mulai dikenal luas.
“Kami sudah bekerja sama dengan toko oleh-oleh di Jogja, Dieng, dan pusat bandara di Kalimantan,” tambahnya.
Dalam sebulan, Indukuh mampu memproduksi hingga 100 kilogram (Kg) kopi. Produksi dilakukan berdasarkan permintaan dan biasanya meningkat saat ada event besar atau pesanan dari reseller. “Kami produksi bulanan, tergantung kebutuhan,” tuturnya.
Untuk harga, Indukuh mematok harga Rp35 ribu per kemasan. Namun, untuk reseller dan pusat oleh-oleh bisa dijual dari Rp. 30 ribu hingga Rp50 ribu tergantung wilayah. Raya menjelaskan, strategi ini dilakukan agar tetap terjangkau namun menguntungkan bagi semua pihak.
Tak hanya menjual produk, Raya juga aktif dalam promosi budaya. Ia menyusun paket wisata bagi turis mancanegara untuk melihat proses produksi kopi secara langsung di desa. “Kami ingin wisatawan melihat bahwa ini bukan kopi biasa, tapi punya nilai budaya,” katanya.
Saat ini, Indukuh memiliki sekitar 30 titik distribusi reseller dan terus berkembang. Harapannya, Indukuh bisa menjadi ikon oleh-oleh khas Palangka Raya yang dikenal lebih luas. “Saya ingin generasi muda tahu bahwa warisan budaya itu bisa bernilai, asal kita jaga dan kembangkan,” pungkas Raya. (*/ala)