Sabtu, Juli 12, 2025
26.1 C
Palangkaraya

Huma Mandau: Warisan Empat Generasi, Menembus Pasar Internasional

Berawal dari keahlian turun-temurun keluarga, Arin menghidupkan kembali kejayaan Mandau Dayak lewat stan sederhana bernama Huma Mandau. Kini, dari sudut Car Free Night (CFN) Huma Betang Night Palangka Raya, kerajinan warisan leluhur itu tak hanya dikenal warga lokal, tapi juga telah dikirim hingga Malaysia, membuktikan bahwa budaya bisa menjelma peluang usaha yang bernilai tinggi.

NOVIA NADYA CLAUDIA, Palangka Raya

AROMA kayu ukir dan semilir angin malam di kawasan Bundaran Besar Palangka Raya setiap Sabtu malam (5/7), kini tak hanya menjadi ruang rekreasi warga, tetapi juga etalase budaya Dayak yang hidup kembali lewat tangan-tangan terampil pelaku UMKM lokal.

Di antara deretan stand CFN Huma Betang Night, berdiri kokoh nama Huma Mandau, sebuah brand kerajinan khas Dayak yang membawa warisan leluhur hingga menembus pasar luar negeri.

Arin, pelaku UMKM sekaligus pengrajin di balik brand Huma Mandau, memamerkan aneka produk khas Kalimantan yang tak hanya memikat mata, tetapi juga sarat nilai budaya. Mulai dari mandau berbagai ukuran, gelang batu alam, kalung, hingga gantungan kunci ukiran kayu telawang, seluruhnya diproduksi secara mandiri.

“Kami dari Huma Mandau fokus pada kerajinan khas Dayak, terutama Mandau sebagai produk utama, tapi kami juga kembangkan turunannya. Semua kami buat sendiri, mulai dari gelang lilis lamiang, kalung, hingga gantungan kunci dari kayu,” ujar Arin saat ditemui di stan-nya, Sabtu (5/7).

Dalam setiap produknya, Huma Mandau tetap setia menggunakan bahan-bahan lokal. Mandau, misalnya, dibuat dari rotan, ulin, dan tanduk rusa. Sementara batu untuk gelang didapatkan dari Kalimantan, lalu digosok sendiri hingga siap pakai.

Baca Juga :  Mencegah Gesekan, Beri Perlindungan dan Hak Masyarakat

Namun tidak semua bahan mudah diperoleh. Arin menjelaskan bahwa rotan, khususnya untuk gagang Mandau, menjadi tantangan tersendiri.

“Kami butuh rotan yang panjangnya minimal dua meter, karena kalau kurang harus disambung-sambung dan hasilnya jadi kurang bagus. Biasanya kami pesan khusus ke pengrajin yang biasa buat tas atau aksesoris,” katanya.

Pembuatan Mandau bukanlah pekerjaan satu dua hari. Untuk jenis mini berukuran 33–37 cm, waktu pengerjaan bisa mencapai lebih dari seminggu. Sedangkan Mandau ukuran besar membutuhkan waktu dua hingga tiga minggu, tergantung kerumitan motif.

“Kalau menjelang acara besar biasanya kami lembur agar bisa selesai tepat waktu,” ujarnya.

Harganya pun bervariasi. Mandau mini dibanderol mulai dari Rp1 juta, sementara yang berukuran sedang bisa mencapai Rp3,5 juta. Khusus Mandau bertanduk rusa, harga bisa tembus hingga Rp6 juta.

“Kami juga sediakan versi cinderamata dalam peti ukir dari kayu ulin, biasanya untuk pejabat atau kolektor,” ujar Arin.

Tak hanya Mandau, gelang-gelang lilis lamiang juga jadi incaran para pengunjung. Harga mulai dari Rp25 ribu hingga ratusan ribu, tergantung jenis dan model.

“Gelang lilis lamiang bisa sampai Rp350 ribu. Bisa custom juga sesuai keinginan pembeli,” kata Arin.

Keberadaan Car Free Night yang diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, menurut Arin, sangat berdampak positif terhadap penjualan.

“Omset naik cukup signifikan. Masyarakat tumpah ruah datang, apalagi kalau ada artis atau event besar. Sekali seminggu, tapi dampaknya luar biasa,” tuturnya.

Baca Juga :  Polres Seruyan Gelar Lomba Tari Dayak Sambut Hari Bhayangkara ke-79

Arin mengaku telah rutin mengikuti CFN selama empat minggu berturut-turut. Ia pun mengapresiasi langkah pemerintah.

“Terima kasih untuk Bapak Gubernur yang sudah menghadirkan kegiatan ini. Program ini bukan hanya hiburan, tapi media promosi yang luar biasa bagi kami pelaku UMKM,” ucapnya.

Bahkan, dirinya juga mengapresiasi istri Gubernur Kalteng, Aisya Thisia Agustiar Sabran, yang selalu menggunakan gelang lilis lamiang dalam berbagai kesempatan, sehingga ikut mempopulerkan gelang khas Dayak ini di kalangan anak muda dan pelancong luar daerah.

Menariknya, produk Huma Mandau tidak hanya digemari masyarakat lokal. Arin mengungkapkan bahwa sejumlah produk telah dikirim ke berbagai daerah bahkan hingga Malaysia. Strategi pemasaran juga menyasar media sosial.

“Kami aktif bikin konten di TikTok, bisa cari saja ‘Huma Mandau’ di sana. Banyak juga yang lihat proses pembuatan Mandau dari situ,” ujarnya bangga.

Bukan hanya sekadar bisnis, Huma Mandau adalah warisan keluarga yang telah bertahan empat generasi. Mandau dibuat sejak zaman kakek buyut, sementara gelang-gelang batu diwariskan dari sang ibu yang kini telah lanjut usia. “Kami hanya melanjutkan tradisi. Ini bukan sekadar usaha, tapi amanah budaya,” tutur Arin.

Di tengah hiruk pikuk kota, di bawah gemerlap lampu dan senyum pengunjung, Huma Mandau bukan sekadar stan kerajinan. Ia adalah saksi hidup dari semangat melestarikan budaya, dari tangan-tangan sederhana yang membentuk warisan menjadi karya berharga. (*/ala)

Berawal dari keahlian turun-temurun keluarga, Arin menghidupkan kembali kejayaan Mandau Dayak lewat stan sederhana bernama Huma Mandau. Kini, dari sudut Car Free Night (CFN) Huma Betang Night Palangka Raya, kerajinan warisan leluhur itu tak hanya dikenal warga lokal, tapi juga telah dikirim hingga Malaysia, membuktikan bahwa budaya bisa menjelma peluang usaha yang bernilai tinggi.

NOVIA NADYA CLAUDIA, Palangka Raya

AROMA kayu ukir dan semilir angin malam di kawasan Bundaran Besar Palangka Raya setiap Sabtu malam (5/7), kini tak hanya menjadi ruang rekreasi warga, tetapi juga etalase budaya Dayak yang hidup kembali lewat tangan-tangan terampil pelaku UMKM lokal.

Di antara deretan stand CFN Huma Betang Night, berdiri kokoh nama Huma Mandau, sebuah brand kerajinan khas Dayak yang membawa warisan leluhur hingga menembus pasar luar negeri.

Arin, pelaku UMKM sekaligus pengrajin di balik brand Huma Mandau, memamerkan aneka produk khas Kalimantan yang tak hanya memikat mata, tetapi juga sarat nilai budaya. Mulai dari mandau berbagai ukuran, gelang batu alam, kalung, hingga gantungan kunci ukiran kayu telawang, seluruhnya diproduksi secara mandiri.

“Kami dari Huma Mandau fokus pada kerajinan khas Dayak, terutama Mandau sebagai produk utama, tapi kami juga kembangkan turunannya. Semua kami buat sendiri, mulai dari gelang lilis lamiang, kalung, hingga gantungan kunci dari kayu,” ujar Arin saat ditemui di stan-nya, Sabtu (5/7).

Dalam setiap produknya, Huma Mandau tetap setia menggunakan bahan-bahan lokal. Mandau, misalnya, dibuat dari rotan, ulin, dan tanduk rusa. Sementara batu untuk gelang didapatkan dari Kalimantan, lalu digosok sendiri hingga siap pakai.

Baca Juga :  Mencegah Gesekan, Beri Perlindungan dan Hak Masyarakat

Namun tidak semua bahan mudah diperoleh. Arin menjelaskan bahwa rotan, khususnya untuk gagang Mandau, menjadi tantangan tersendiri.

“Kami butuh rotan yang panjangnya minimal dua meter, karena kalau kurang harus disambung-sambung dan hasilnya jadi kurang bagus. Biasanya kami pesan khusus ke pengrajin yang biasa buat tas atau aksesoris,” katanya.

Pembuatan Mandau bukanlah pekerjaan satu dua hari. Untuk jenis mini berukuran 33–37 cm, waktu pengerjaan bisa mencapai lebih dari seminggu. Sedangkan Mandau ukuran besar membutuhkan waktu dua hingga tiga minggu, tergantung kerumitan motif.

“Kalau menjelang acara besar biasanya kami lembur agar bisa selesai tepat waktu,” ujarnya.

Harganya pun bervariasi. Mandau mini dibanderol mulai dari Rp1 juta, sementara yang berukuran sedang bisa mencapai Rp3,5 juta. Khusus Mandau bertanduk rusa, harga bisa tembus hingga Rp6 juta.

“Kami juga sediakan versi cinderamata dalam peti ukir dari kayu ulin, biasanya untuk pejabat atau kolektor,” ujar Arin.

Tak hanya Mandau, gelang-gelang lilis lamiang juga jadi incaran para pengunjung. Harga mulai dari Rp25 ribu hingga ratusan ribu, tergantung jenis dan model.

“Gelang lilis lamiang bisa sampai Rp350 ribu. Bisa custom juga sesuai keinginan pembeli,” kata Arin.

Keberadaan Car Free Night yang diinisiasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, menurut Arin, sangat berdampak positif terhadap penjualan.

“Omset naik cukup signifikan. Masyarakat tumpah ruah datang, apalagi kalau ada artis atau event besar. Sekali seminggu, tapi dampaknya luar biasa,” tuturnya.

Baca Juga :  Polres Seruyan Gelar Lomba Tari Dayak Sambut Hari Bhayangkara ke-79

Arin mengaku telah rutin mengikuti CFN selama empat minggu berturut-turut. Ia pun mengapresiasi langkah pemerintah.

“Terima kasih untuk Bapak Gubernur yang sudah menghadirkan kegiatan ini. Program ini bukan hanya hiburan, tapi media promosi yang luar biasa bagi kami pelaku UMKM,” ucapnya.

Bahkan, dirinya juga mengapresiasi istri Gubernur Kalteng, Aisya Thisia Agustiar Sabran, yang selalu menggunakan gelang lilis lamiang dalam berbagai kesempatan, sehingga ikut mempopulerkan gelang khas Dayak ini di kalangan anak muda dan pelancong luar daerah.

Menariknya, produk Huma Mandau tidak hanya digemari masyarakat lokal. Arin mengungkapkan bahwa sejumlah produk telah dikirim ke berbagai daerah bahkan hingga Malaysia. Strategi pemasaran juga menyasar media sosial.

“Kami aktif bikin konten di TikTok, bisa cari saja ‘Huma Mandau’ di sana. Banyak juga yang lihat proses pembuatan Mandau dari situ,” ujarnya bangga.

Bukan hanya sekadar bisnis, Huma Mandau adalah warisan keluarga yang telah bertahan empat generasi. Mandau dibuat sejak zaman kakek buyut, sementara gelang-gelang batu diwariskan dari sang ibu yang kini telah lanjut usia. “Kami hanya melanjutkan tradisi. Ini bukan sekadar usaha, tapi amanah budaya,” tutur Arin.

Di tengah hiruk pikuk kota, di bawah gemerlap lampu dan senyum pengunjung, Huma Mandau bukan sekadar stan kerajinan. Ia adalah saksi hidup dari semangat melestarikan budaya, dari tangan-tangan sederhana yang membentuk warisan menjadi karya berharga. (*/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/