Jumat, September 20, 2024
29.1 C
Palangkaraya

Memahami Gagasan Keadilan Berhati Nurani Jaksa Agung ST Burhanuddin

Oleh: Dr. Erianto N, SH.MH*

PADA Jumat pagi Tanggal 10 September 2021 ST. Burhanuddin yang juga menjabat sebagai Jaksa Agung dikukuhkan sebagai guru besar tidak tetap dalam hukum pidana khususnya Ilmu Keadilan Restoratif pada Universitas Jenderal Soedirman berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 37421/MPK.A/KP.05.00/2021 Tanggal 11 Juni 2021 sehingga menyandang gelar Prof. Dr. ST Burhanuddin, S.H., M.M., M.H. dengan pidato pengukuhan berjudul Hukum Berdasarkan Hati Nurani (Sebuah Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif).
Tidak dipungkiri ada pro dan kontra terkait pemberian gelar ini mengingat ST. Burhanuddin bukan berprofesi sebagai dosen yang jelas rekam jejaknya di perguruan tinggi seperti keberatan yang disampaikan oleh dosen hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar SH.MH yang beralasan “profesor itu kan gelar lamanya mengajar”. Sementara pandangan berbeda disampaikan Guru Besar Hukum Universitas Jayabaya Prof. Dr. Fauzie Yusuf Hasibuan bahwa gelar yang diterima ST Burhanuddin sudah melalui kajian akademik oleh Universitas Jendral Soedirman yang senada dengan pandangan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin Makassar Prof. Dr. Muhadar SH.MH. bahwa pemberian gelar Profesor kepada ST Burhanuddin sudah tepat sepanjang kriteria dan syarat terpenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan sambil mencontohkan pemberian gelar guru besar kepada Prof. Dr. Andi Hamzah, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, Prof. Dr. Bambang Waluyo dan (mantan Jaksa Agung) lainnya. Muhadar menjelaskan pendekatan keadilan restoratif dalam penegakan hukum seperti yang digagas ST. Burhanuddin perlu dukungan semua pihak sebab cara ini dinilai lebih manusiawi dan Pancasilais yaitu mencerminkan sila ke-2 dan ke-5, kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apabila dikaji secara menyeluruh ketentuan yang mendasari pemberian gelar guru besar kepada ST. Burhanuddin berupa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi maka sangat jelas dimungkinkan sebagaimana termuat dalam Pasal 72 ayat (2) “ Jenjang jabatan akademik Dosen Tidak Tetap diatur dan ditetapkan oleh penyelenggara Perguruan Tinggi.” Berbeda dengan Dosen Tetap yang mensyaratkan telah memiliki pengalaman kerja 10 (sepuluh) tahun sebagai Dosen tetap dan memiliki publikasi ilmiah serta berpendidikan doktor atau yang sederajat, dan telah memenuhi persyaratan dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik profesor sebagaimana diatur dalam ayat (3) bahkan dalam ayat (5) memberi peluang bagi Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 88 Tahun 2003 Tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap Dalam Jabatan Akademik Pada Perguruan Tinggi Negeri sebagai pedoman lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 maka pengangkatan seperti ST Burhanuddin dimungkinkan. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan No. 88 Tahun 2003 menegaskan Menteri dapat menetapkan dosen tidak tetap pada perguruan tinggi negeri yang memiliki kompetensi luar biasa untuk diangkat dalam jabatan akademik profesor berdasarkan usulan dari perguruan tinggi dan rekomendasi dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Kriteria yang digunakan untuk pengusulan sebagai profesor adalah bahwa yang bersangkutan memiliki karya yang bersifat pengetahuan tacit yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian sudah sangat jelas secara peraturan perundang-undangan tidak ada persoalan dalam pengangkatan guru besar seperti ST. Burhanuddin yang sudah melalui persetujuan Senat Universitas Jendral Soedirman karena Gagasan Keadilan Berhati Nurani yang berdampak luas pada masyarakat kecil pencari keadilan dan mungkin keberatan sebagian akademisi dilatarbelakangi faktor subjektifitas dari dosen tetap pada perguruan tinggi yang wajar berharap gelar profesor hanya untuk internal kampus.

Gagasan Keadilan Berhati Nurani dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin
Merujuk pada pidato pengukuhan sebagai guru besar hukum pidana pada Universitas Jenderal Soedirman tanggal 10 September ST Burhanuddin merasa gelisah dengan penegakan hukum di lapangan yang mengedepankan aspek legal formal untuk kepastian hukum tanpa memperhatikan keadilan substansial sehingga tidak heran perkara Nenek Minah hanya mencuri tiga buah kakao dihukum penjara satu bulan begitu juga kasus Kakek Sarmin mencuri karet senilai tujuh belas ribu rupiah dihukum penjara empat bulan sehingga terkesan hukum ibarat pisau bermata tajam ke bawah dan publik mempertanyakan dimana nurani penegak hukum dan kondisi tersebut harus diakhiri dan mencari alternatif untuk masyarakat kecil memperoleh keadilan.
Merujuk pendapat Gustav Radbruch mengenai tiga tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum yang sangat potensial akan menimbulkan benturan satu sama lain yang dalam praktek belum ada solusi mewujudkan ketiga tujuan dimaksud sehingga ST. Burhanuddin dengan menggunakan dasar pemikiran dari Filusuf hukum ternama Von Savigny berupa hukum didasarkan pada karakter dan jiwa kebangsaan bangsa yang bersangkutan. Dalam kontek keindonesiaan ST Burhanuddin melihat nilai nilai yang tercermin dalam dasar negara pancasila berupa nilai-nilai moral, kekeluargaan, keserasian, keseimbangan, musyawarah, dan keadilan sosial sangat relevan untuk dikedepankan sebagai sistem hukum berdasarkan pancasila sehingga perubahan paradigma penegakan hukum dari keadilan retributif berupa pembalasan semata kepada keadilan restoratif berupa pemulihan sudah menjadi sebuah keniscayaan dan sudah saatnya ketimpangan antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian dijembatani dengan neraca keseimbangan berupa hati nurani sebagai katalisator, pemersatu meraih ketiga tujuan hukum secara bersamaan.
Gagasan hukum berdasarkan hati nurani dari ST. Burhanuddin menukil dari teori hukum alam filusuf Thomas Aquinas bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari moral dan etika yang selanjutnya hukum berdasarkan hati nurani diharapkan tetap mencapai tujuan hukum berupa manfaat sebagai tujuan idial dan tujuan hukum berupa berkepastian sebagai tujuan operasional dengan memformulasikan ke dalam tiga bingkai:
Pertama, Keadilan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani dengan mengutip pendapat Hakim Agung Inggris Lord Denning, yang mengatakan “keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal. Bagaimana seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil penalaran tetapi produk nurani.” Keadilan hukum yang hakiki tanpa penggunaan Hati Nurani tidak akan tercapai karena keberadaan Hati Nurani ada di dalam setiap moral yang merupakan sumber hukum.
Kedua, Kemanfaatan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani yang selaras dengan teori kemanfaatan yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf yang menganut Utility Teori, yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum. “Keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat hakiki yaitu kebahagian mayoritas rakyat. Kebahagian yang sebesarbesarnya untuk sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness of the greatest number).” Dalam kontek tujuan kemanfaatan inilah rasa keadilan mayoritas masyarakat harus direspon dengan baik sesuai nurani berupa keinginan kasus kasus yang relatif ringan, beraspek kemanusiaan tidak meski dilakukan proses hukum sampai ke pengadilan.
Ketiga, Kepastian Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani dengan beranjak dari pandangan Hans Kelsen, bahwa “hukum adalah sistem norma yang menekankan aspek ‘seharusnya’ dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.” Kepastian hukum yang dilandasi hati nurani bukan menapikan kepastian hukum justru sebaliknya memberi kepastian kepada pelaku sebagai pelanggar hukum namun penegak hukum dalam hal ini seorang Jaksa menggunakan hati nuraninya untuk tidak melanjutkan perkara dengan mengoptimalkan kewenangannya memberikan diskresi penuntutan (prosecutorial discretion) yang sudah dijamin dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang juga berhak didapatkan oleh para jaksa sehingga akhirnya ST Burhanuddin selaku Jaksa Agung sekaligus Penuntut Umum Tertinggi melegalisasi gagasannya dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai peraturan yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh seluruh jaksa dalam melakukan penuntutan sebagai penyempurna keadilan restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang masih menjangkau pelaku pelanggaran oleh anak anak.

Baca Juga :  Momentum Menjaga Marwah Adhyaksa yang Semakin Dipercaya Masyarakat

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Oleh Penuntut Umum
Dengan keluarnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai wujud dari gagasan Keadilan Berhati Nurani dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin yang diundangkan lebih setahun yang lalu bertepatan dengan Hari Bhakti Adhyaksa ke 60 Tanggal 22 Juli 2020 diharapkan dapat lebih menggugah Hati Nurani para Jaksa sebagai pengendali perkara pidana (dominus litis) dalam melihat realitas hukum masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapatkan akses keadilan hukum sehingga keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak dengan dilandasi Hati Nurani dapat hadir ditengah masyarakat. Keberadaan Jaksa sebagai dominus litis yang menjadi dasar yuridis dalam Perja bukanlah hal baru karena sudah ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagaimana Pasal 139 dan Pasal 140 ayat (2) huruf b yang berbunyi:
Pasal 139 “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”;
Pasal 140 ayat (2) huruf b “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”
Frasa ”menentukan” dan ”memutuskan” yang terdapat dalam Pasal 139 dan Pasal 140 ayat (2) huruf b KUHAP tersebut merupakan dasar hukum atau bentuk dari kepastian hukum atas kewenangan diskresi penuntutan seorang Jaksa yang juga dapat dianggap sebagai Quasi Seponering berupa penghentian perkara demi kepentingan hukum sebagaimana sesuai Pasal 14 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sementara kewenangan Seponering berupa mengesampingkan perkara demi kepentingan umum hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sesuai Asas Oportunitas Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Keadilan Restoratif dimaksudkan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Ada beberapa bentuk penyelesaian yang digariskan dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 berupa:
Pertama, Penuntut Umum diberi kewenangan menutup perkara demi kepentingan hukum dengan tolak ukur yang jelas berupa terpenuhinya hal-hal berupa: terdakwa meninggal dunia, kedaluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem); pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali atau telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process) sepanjang memenuhi ketentuan untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif. Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang secara mutantis mutandis menghentikan penuntutan harus dilakukan oleh seorang Penuntut Umum secara bertanggungjawabkan dan diajukan secara berjenjang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai pengambil keputusan akhir.
Kedua, Penghentian penuntutan yang dilakukan dengan memperhatikan Kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, respon dan keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Penghentian penuntutan dilakukan dengan mempertimbangkan subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana, juga mempertimbangan latar belakang terjadinya/ dilakukannya tindak pidana, tingkat ketercelaan, kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, cost and benefit penanganan perkara, pemulihan kembali pada keadaan semula dan yang terpenting adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.
Meskipun sudah ada kriteria perkara yang dapat ditutup demi kepentingan hukum dan dihentikan proses penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif namun untuk kepastian hukum tetap ada pengaturan lebih detil mengenai persyaratan pelaku atau nilai kerugian yang harus terpenuhi berupa; tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah.
Sebagai pelengkap pengaturan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal tindak pidana terkait harta benda yang bersifat kasuistik, Penuntut umum memberikan pertimbangan penghentian penuntutan dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dengan syarat tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dengan disertai kondisi alternatif antara pertama tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun atau kedua tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah.
Selanjutnya ada pengecualian terhadap tindak pidana terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang maka tidak berlaku persyaratan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah, begitu juga dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian maka tidak berlaku persyaratan tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun serta tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah. Kedua kondisi yang ada pengecualian ini tidak berlaku apabila menurut pertimbangan Penuntut umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
Persyaratan lainnya dalam penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat: telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka, masyarakat merespon positif dan telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka dengan cara: Pertama mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban; kedua mengganti kerugian Korban; ketiga mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/ atau Keempat memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
Persyaratan pemulihan kembali pada keadaan semula ini dapat dikesampingkan apabila ada kesepakatan antara tersangka dan korban. Sebagai batasan penggunaan penghentian berdasarkan Keadilan Restoratif tidak dapat dilakukan dalam perkara:
Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan; Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal; Tindak pidana narkotika; Tindak pidana lingkungan hidup; dan Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Dengan begitu rincinya ketentuan yang harus dipedomoni oleh penuntut umum dalam melaksanakan keadilan berdasarkan Keadilan Restoratif yang tertuang dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 sebagai implementasi dari gagasan Keadilan Berhati Nurani dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin yang dikuatkan lagi dengan surat Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Nomor: B-4301/E/EJP/9/2020 Tanggal 16 September 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 serta surat Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Nomor: B-4762/E/EJP/10/2020 Tanggal 9 Oktober 2020 tentang Pelaksanaan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentu sangat menuntut ketelitian, kesungguhan dan iktikad baik yang berdasarkan hati nurani dari seluruh Penuntut umum, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dan Kepala Kejaksaan Negeri yang bersentuhan dengan perkara yang akan diselesikan sesuai keadilan restoratif dan sebaliknya ketidakseriusan apalagi penyimpangan di lapangan dengan memanfaatkan peluang penghentian berdasarkan keadilan restoratif untuk mempermainkan perkara untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu justru akan membuat gagasan dan harapan mulia dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin selaku Penuntut umum tertinggi hanya tinggal dalam tataran kajian ilmiah sehingga sangat masuk akal Jaksa Agung ST. Burhanuddin mewanti-wanti kepada seluruh Jaksa “saya tidak menghendaki para Jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam Hati Nurani” sembari mengakhiri pidato pengukuhan guru besarnya dengan kalimat tegas “Saya sebagai Jaksa Agung, tidak membutuhkan Jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral dan saya juga tidak butuh Jaksa yang cerdas tetapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan adalah para Jaksa yang pintar dan berintegritas”. Semoga terwujud. (*)

Baca Juga :  Jaksa Agung Ingatkan Jajaran untuk Meningkatkan Sense of Crisis

*) Penulis adalah Koordinator Pada Kejati Kalteng dan Dosen pada Universitas Pancasila.

Oleh: Dr. Erianto N, SH.MH*

PADA Jumat pagi Tanggal 10 September 2021 ST. Burhanuddin yang juga menjabat sebagai Jaksa Agung dikukuhkan sebagai guru besar tidak tetap dalam hukum pidana khususnya Ilmu Keadilan Restoratif pada Universitas Jenderal Soedirman berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 37421/MPK.A/KP.05.00/2021 Tanggal 11 Juni 2021 sehingga menyandang gelar Prof. Dr. ST Burhanuddin, S.H., M.M., M.H. dengan pidato pengukuhan berjudul Hukum Berdasarkan Hati Nurani (Sebuah Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif).
Tidak dipungkiri ada pro dan kontra terkait pemberian gelar ini mengingat ST. Burhanuddin bukan berprofesi sebagai dosen yang jelas rekam jejaknya di perguruan tinggi seperti keberatan yang disampaikan oleh dosen hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar SH.MH yang beralasan “profesor itu kan gelar lamanya mengajar”. Sementara pandangan berbeda disampaikan Guru Besar Hukum Universitas Jayabaya Prof. Dr. Fauzie Yusuf Hasibuan bahwa gelar yang diterima ST Burhanuddin sudah melalui kajian akademik oleh Universitas Jendral Soedirman yang senada dengan pandangan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanuddin Makassar Prof. Dr. Muhadar SH.MH. bahwa pemberian gelar Profesor kepada ST Burhanuddin sudah tepat sepanjang kriteria dan syarat terpenuhi sesuai dengan peraturan perundang-undangan sambil mencontohkan pemberian gelar guru besar kepada Prof. Dr. Andi Hamzah, Prof. Dr. Baharuddin Lopa, Prof. Dr. Bambang Waluyo dan (mantan Jaksa Agung) lainnya. Muhadar menjelaskan pendekatan keadilan restoratif dalam penegakan hukum seperti yang digagas ST. Burhanuddin perlu dukungan semua pihak sebab cara ini dinilai lebih manusiawi dan Pancasilais yaitu mencerminkan sila ke-2 dan ke-5, kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Apabila dikaji secara menyeluruh ketentuan yang mendasari pemberian gelar guru besar kepada ST. Burhanuddin berupa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi maka sangat jelas dimungkinkan sebagaimana termuat dalam Pasal 72 ayat (2) “ Jenjang jabatan akademik Dosen Tidak Tetap diatur dan ditetapkan oleh penyelenggara Perguruan Tinggi.” Berbeda dengan Dosen Tetap yang mensyaratkan telah memiliki pengalaman kerja 10 (sepuluh) tahun sebagai Dosen tetap dan memiliki publikasi ilmiah serta berpendidikan doktor atau yang sederajat, dan telah memenuhi persyaratan dapat diusulkan ke jenjang jabatan akademik profesor sebagaimana diatur dalam ayat (3) bahkan dalam ayat (5) memberi peluang bagi Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik profesor atas usul Perguruan Tinggi.
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 88 Tahun 2003 Tentang Pengangkatan Dosen Tidak Tetap Dalam Jabatan Akademik Pada Perguruan Tinggi Negeri sebagai pedoman lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 maka pengangkatan seperti ST Burhanuddin dimungkinkan. Dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan No. 88 Tahun 2003 menegaskan Menteri dapat menetapkan dosen tidak tetap pada perguruan tinggi negeri yang memiliki kompetensi luar biasa untuk diangkat dalam jabatan akademik profesor berdasarkan usulan dari perguruan tinggi dan rekomendasi dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Kriteria yang digunakan untuk pengusulan sebagai profesor adalah bahwa yang bersangkutan memiliki karya yang bersifat pengetahuan tacit yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi pengetahuan eksplisit di perguruan tinggi dan bermanfaat untuk kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian sudah sangat jelas secara peraturan perundang-undangan tidak ada persoalan dalam pengangkatan guru besar seperti ST. Burhanuddin yang sudah melalui persetujuan Senat Universitas Jendral Soedirman karena Gagasan Keadilan Berhati Nurani yang berdampak luas pada masyarakat kecil pencari keadilan dan mungkin keberatan sebagian akademisi dilatarbelakangi faktor subjektifitas dari dosen tetap pada perguruan tinggi yang wajar berharap gelar profesor hanya untuk internal kampus.

Gagasan Keadilan Berhati Nurani dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin
Merujuk pada pidato pengukuhan sebagai guru besar hukum pidana pada Universitas Jenderal Soedirman tanggal 10 September ST Burhanuddin merasa gelisah dengan penegakan hukum di lapangan yang mengedepankan aspek legal formal untuk kepastian hukum tanpa memperhatikan keadilan substansial sehingga tidak heran perkara Nenek Minah hanya mencuri tiga buah kakao dihukum penjara satu bulan begitu juga kasus Kakek Sarmin mencuri karet senilai tujuh belas ribu rupiah dihukum penjara empat bulan sehingga terkesan hukum ibarat pisau bermata tajam ke bawah dan publik mempertanyakan dimana nurani penegak hukum dan kondisi tersebut harus diakhiri dan mencari alternatif untuk masyarakat kecil memperoleh keadilan.
Merujuk pendapat Gustav Radbruch mengenai tiga tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum yang sangat potensial akan menimbulkan benturan satu sama lain yang dalam praktek belum ada solusi mewujudkan ketiga tujuan dimaksud sehingga ST. Burhanuddin dengan menggunakan dasar pemikiran dari Filusuf hukum ternama Von Savigny berupa hukum didasarkan pada karakter dan jiwa kebangsaan bangsa yang bersangkutan. Dalam kontek keindonesiaan ST Burhanuddin melihat nilai nilai yang tercermin dalam dasar negara pancasila berupa nilai-nilai moral, kekeluargaan, keserasian, keseimbangan, musyawarah, dan keadilan sosial sangat relevan untuk dikedepankan sebagai sistem hukum berdasarkan pancasila sehingga perubahan paradigma penegakan hukum dari keadilan retributif berupa pembalasan semata kepada keadilan restoratif berupa pemulihan sudah menjadi sebuah keniscayaan dan sudah saatnya ketimpangan antara keadilan, kemanfaatan dan kepastian dijembatani dengan neraca keseimbangan berupa hati nurani sebagai katalisator, pemersatu meraih ketiga tujuan hukum secara bersamaan.
Gagasan hukum berdasarkan hati nurani dari ST. Burhanuddin menukil dari teori hukum alam filusuf Thomas Aquinas bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari moral dan etika yang selanjutnya hukum berdasarkan hati nurani diharapkan tetap mencapai tujuan hukum berupa manfaat sebagai tujuan idial dan tujuan hukum berupa berkepastian sebagai tujuan operasional dengan memformulasikan ke dalam tiga bingkai:
Pertama, Keadilan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani dengan mengutip pendapat Hakim Agung Inggris Lord Denning, yang mengatakan “keadilan bukanlah sesuatu yang bisa dilihat, keadilan itu abadi dan tidak temporal. Bagaimana seseorang mengetahui apa itu keadilan, padahal keadilan itu bukan hasil penalaran tetapi produk nurani.” Keadilan hukum yang hakiki tanpa penggunaan Hati Nurani tidak akan tercapai karena keberadaan Hati Nurani ada di dalam setiap moral yang merupakan sumber hukum.
Kedua, Kemanfaatan Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani yang selaras dengan teori kemanfaatan yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham, seorang filsuf yang menganut Utility Teori, yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum. “Keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat hakiki yaitu kebahagian mayoritas rakyat. Kebahagian yang sebesarbesarnya untuk sebanyak-banyaknya orang (the greatest happiness of the greatest number).” Dalam kontek tujuan kemanfaatan inilah rasa keadilan mayoritas masyarakat harus direspon dengan baik sesuai nurani berupa keinginan kasus kasus yang relatif ringan, beraspek kemanusiaan tidak meski dilakukan proses hukum sampai ke pengadilan.
Ketiga, Kepastian Hukum Dalam Bingkai Hati Nurani dengan beranjak dari pandangan Hans Kelsen, bahwa “hukum adalah sistem norma yang menekankan aspek ‘seharusnya’ dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan.” Kepastian hukum yang dilandasi hati nurani bukan menapikan kepastian hukum justru sebaliknya memberi kepastian kepada pelaku sebagai pelanggar hukum namun penegak hukum dalam hal ini seorang Jaksa menggunakan hati nuraninya untuk tidak melanjutkan perkara dengan mengoptimalkan kewenangannya memberikan diskresi penuntutan (prosecutorial discretion) yang sudah dijamin dalam Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 yang juga berhak didapatkan oleh para jaksa sehingga akhirnya ST Burhanuddin selaku Jaksa Agung sekaligus Penuntut Umum Tertinggi melegalisasi gagasannya dengan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai peraturan yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh seluruh jaksa dalam melakukan penuntutan sebagai penyempurna keadilan restoratif dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang masih menjangkau pelaku pelanggaran oleh anak anak.

Baca Juga :  Momentum Menjaga Marwah Adhyaksa yang Semakin Dipercaya Masyarakat

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif Oleh Penuntut Umum
Dengan keluarnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai wujud dari gagasan Keadilan Berhati Nurani dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin yang diundangkan lebih setahun yang lalu bertepatan dengan Hari Bhakti Adhyaksa ke 60 Tanggal 22 Juli 2020 diharapkan dapat lebih menggugah Hati Nurani para Jaksa sebagai pengendali perkara pidana (dominus litis) dalam melihat realitas hukum masih banyaknya masyarakat kecil dan kurang mampu yang kesulitan mendapatkan akses keadilan hukum sehingga keadilan hukum yang membawa manfaat dan sekaligus kepastian hukum untuk semua pihak dengan dilandasi Hati Nurani dapat hadir ditengah masyarakat. Keberadaan Jaksa sebagai dominus litis yang menjadi dasar yuridis dalam Perja bukanlah hal baru karena sudah ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP sebagaimana Pasal 139 dan Pasal 140 ayat (2) huruf b yang berbunyi:
Pasal 139 “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”;
Pasal 140 ayat (2) huruf b “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”
Frasa ”menentukan” dan ”memutuskan” yang terdapat dalam Pasal 139 dan Pasal 140 ayat (2) huruf b KUHAP tersebut merupakan dasar hukum atau bentuk dari kepastian hukum atas kewenangan diskresi penuntutan seorang Jaksa yang juga dapat dianggap sebagai Quasi Seponering berupa penghentian perkara demi kepentingan hukum sebagaimana sesuai Pasal 14 huruf h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sementara kewenangan Seponering berupa mengesampingkan perkara demi kepentingan umum hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sesuai Asas Oportunitas Pasal 35 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Keadilan Restoratif dimaksudkan sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Ada beberapa bentuk penyelesaian yang digariskan dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 berupa:
Pertama, Penuntut Umum diberi kewenangan menutup perkara demi kepentingan hukum dengan tolak ukur yang jelas berupa terpenuhinya hal-hal berupa: terdakwa meninggal dunia, kedaluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem); pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali atau telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process) sepanjang memenuhi ketentuan untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif. Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang secara mutantis mutandis menghentikan penuntutan harus dilakukan oleh seorang Penuntut Umum secara bertanggungjawabkan dan diajukan secara berjenjang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi sebagai pengambil keputusan akhir.
Kedua, Penghentian penuntutan yang dilakukan dengan memperhatikan Kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, respon dan keharmonisan masyarakat, kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Penghentian penuntutan dilakukan dengan mempertimbangkan subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana, juga mempertimbangan latar belakang terjadinya/ dilakukannya tindak pidana, tingkat ketercelaan, kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, cost and benefit penanganan perkara, pemulihan kembali pada keadaan semula dan yang terpenting adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.
Meskipun sudah ada kriteria perkara yang dapat ditutup demi kepentingan hukum dan dihentikan proses penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif namun untuk kepastian hukum tetap ada pengaturan lebih detil mengenai persyaratan pelaku atau nilai kerugian yang harus terpenuhi berupa; tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah.
Sebagai pelengkap pengaturan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal tindak pidana terkait harta benda yang bersifat kasuistik, Penuntut umum memberikan pertimbangan penghentian penuntutan dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dengan syarat tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dengan disertai kondisi alternatif antara pertama tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun atau kedua tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah.
Selanjutnya ada pengecualian terhadap tindak pidana terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang maka tidak berlaku persyaratan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah, begitu juga dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian maka tidak berlaku persyaratan tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun serta tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah. Kedua kondisi yang ada pengecualian ini tidak berlaku apabila menurut pertimbangan Penuntut umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
Persyaratan lainnya dalam penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat: telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka, masyarakat merespon positif dan telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh tersangka dengan cara: Pertama mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban; kedua mengganti kerugian Korban; ketiga mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/ atau Keempat memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
Persyaratan pemulihan kembali pada keadaan semula ini dapat dikesampingkan apabila ada kesepakatan antara tersangka dan korban. Sebagai batasan penggunaan penghentian berdasarkan Keadilan Restoratif tidak dapat dilakukan dalam perkara:
Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan; Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal; Tindak pidana narkotika; Tindak pidana lingkungan hidup; dan Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Dengan begitu rincinya ketentuan yang harus dipedomoni oleh penuntut umum dalam melaksanakan keadilan berdasarkan Keadilan Restoratif yang tertuang dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 sebagai implementasi dari gagasan Keadilan Berhati Nurani dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin yang dikuatkan lagi dengan surat Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Nomor: B-4301/E/EJP/9/2020 Tanggal 16 September 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 serta surat Jaksa Agung Tindak Pidana Umum Nomor: B-4762/E/EJP/10/2020 Tanggal 9 Oktober 2020 tentang Pelaksanaan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentu sangat menuntut ketelitian, kesungguhan dan iktikad baik yang berdasarkan hati nurani dari seluruh Penuntut umum, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dan Kepala Kejaksaan Negeri yang bersentuhan dengan perkara yang akan diselesikan sesuai keadilan restoratif dan sebaliknya ketidakseriusan apalagi penyimpangan di lapangan dengan memanfaatkan peluang penghentian berdasarkan keadilan restoratif untuk mempermainkan perkara untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu justru akan membuat gagasan dan harapan mulia dari Jaksa Agung ST. Burhanuddin selaku Penuntut umum tertinggi hanya tinggal dalam tataran kajian ilmiah sehingga sangat masuk akal Jaksa Agung ST. Burhanuddin mewanti-wanti kepada seluruh Jaksa “saya tidak menghendaki para Jaksa melakukan penuntutan asal-asalan, tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tetapi ada dalam Hati Nurani” sembari mengakhiri pidato pengukuhan guru besarnya dengan kalimat tegas “Saya sebagai Jaksa Agung, tidak membutuhkan Jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral dan saya juga tidak butuh Jaksa yang cerdas tetapi tidak berintegritas. Yang saya butuhkan adalah para Jaksa yang pintar dan berintegritas”. Semoga terwujud. (*)

Baca Juga :  Jaksa Agung Ingatkan Jajaran untuk Meningkatkan Sense of Crisis

*) Penulis adalah Koordinator Pada Kejati Kalteng dan Dosen pada Universitas Pancasila.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/