Minggu, Oktober 6, 2024
25 C
Palangkaraya

7 Hari Bersama Geng Kapak, Seniman, dan Budayawan Murung Raya (1): Terpikat Betang Tumbang Apat 1897

Mengikuti perjalanan bersama Geng Kapak, seniman, serta budayawan Kalteng, meninggalkan kenangan syarat kekeluargaan. Seminggu menjelajah hingga pedalaman Murung Raya, memberikan pengalaman tak ternilai harganya. Alam raya mengajari logika hingga metafisika menjadi kearifan lokal nan kekal.

ALBERT M SHOLEH, Puruk Cahu

PERSIAPAN mental ternyata tak kalah penting dibanding kesiapan fisik dan bekal. Perjalanan darat dengan jarak tempuh Palangka Raya – Kuala Kurun – Murung Raya hingga beberapa titik lokasi, mengikis keringat dan keyakinan.

Sembari mencoba menelusuri mozaik Dayak Siang, diawali dari Rumah Betang Apat, Desa Konut, Kecamatan Tanah Siang. Sebagian menyebut sebagai Betang Konut, rumah yang kini dihuni enam kepala keluarga dengan beragam agama.

Perjalanan ditemani 17 anggota Geng Kapak yang boleh dibilang seniman dan budayawan muda. Menari? Tentu saja mahir. Selain itu, mereka juga ada keterikatan leluhur Huma Betang Tumbang Apat dan Dayak Siang.

Tepat pukul 17.00 WIB tiba di Huma Betang. Barang bawaan, logistik, hingga alat musik dan kostum tari diangkut Geng Kapak naik rumah betang. Sedangkan penulis bersama empat orang fotografer dan videografer Hitam Putih Borneo (HPB), kegirangan melihat indahnya senja.

Baca Juga :  Kasus Menurun, Fasilitas Isoman Terpusat Tak Banyak Terisi

Pasang tripod untuk timelapse. Mondar-mandir mencoba bikin konten. Menerbangkan drone sebelum gelap, melihat sekitar Sungai Babuat, hingga mencoba mengintip air terjun Tomoku berjarak tak lebih 2 kilometer (km).

Namun, ratusan frame foto tampak blur alias tidak fokus, meski lensa sudah dikunci ke satu titik. Video? Lensa manual fokus pun seolah berbayang dan hilang fokus. Nasib drone? Sempat hilang kontak. Drone mengandalkan GPS. Lantaran tidak ada sinyal telekomunikasi, alhasil sulit dikendali. Hingga seperti menabrak pembatas awan, meski langit tampak cerah.

Belum sadar. Namun, kepala rombongan Jimy O Andin mulai menghampiri tim visual. Begitu juga Althur Malik yang langsung masuk rumah betang tatkala senja menuju gelap.
“Ayo masuk semua,” kata Jimy memanggil.

Peralatan foto, video, audio, alat musik, kostum, dan sejenisnya dikumpulkan di tengah huma betang. Dikelilingi seluruh rombongan dan keluarga tuan rumah. Ternyata mereka menggelar ritual. Ada telur, ayam, beras kuning, anding, dupa, dan lainnya.

Baca Juga :  Ketertarikan di Bidang Forensik Muncul Ketika Ikut Ayah Dinas di Papua

Asianel, Basir atau Basi Tumbang Apat memimpin ritual. Jimy mencoba menatap wajah tim dokumentasi untuk tetap tenang dan mengikutinya. Usai doa dan niat izin dilantunkan basir, semua peralatan dibuat tampung tawar. Di akhir ritual, penyambutan tuan rumah terhadap tamu dengan menyediakan anding, memberikan nuansa lain. Segelas anding atau minuman tradisional tidak memabukkan. Cukup melegakan dan menghangatkan badan. Sebagai pembuka perkenalan dan saling sapa.

Althur Malik mengenalkan keluarga betang dan tamunya dengan bahasa Dayak Siang. Dari semua tim yang datang, hanya Jimy yang bisa. Kudapan, kopi, dan anding atau minuman tradisional (baram) menemani keakraban malam itu.

MENJAGA HUTAN: Dari kanan, Ali Laca Singa Bulo, El Nazer Sarajan Ganap, dan Kuleh Tarung Apui berada di air terjun Tomoku, tak jauh dari rumah betang, dua pekan lalu. FOTO: ALBERT/KALTENG POS

Sejak selesai ritual dan pengambilan gambar di betang dan sekitarnya, malam, pagi, siang, sore hingga malam lagi selalu ritual. Minimal minta izin atau mengutamakan tujuan baik.
“Di rumah betang ini ada poros tengah sebagai tanda untuk garis keturunan sebelah Andin dan Ura Tarung,” ucap generasi keempat leluhur Huma Betang Apat dari Keluarga Ura Tarung, Althur Malik.

Mengikuti perjalanan bersama Geng Kapak, seniman, serta budayawan Kalteng, meninggalkan kenangan syarat kekeluargaan. Seminggu menjelajah hingga pedalaman Murung Raya, memberikan pengalaman tak ternilai harganya. Alam raya mengajari logika hingga metafisika menjadi kearifan lokal nan kekal.

ALBERT M SHOLEH, Puruk Cahu

PERSIAPAN mental ternyata tak kalah penting dibanding kesiapan fisik dan bekal. Perjalanan darat dengan jarak tempuh Palangka Raya – Kuala Kurun – Murung Raya hingga beberapa titik lokasi, mengikis keringat dan keyakinan.

Sembari mencoba menelusuri mozaik Dayak Siang, diawali dari Rumah Betang Apat, Desa Konut, Kecamatan Tanah Siang. Sebagian menyebut sebagai Betang Konut, rumah yang kini dihuni enam kepala keluarga dengan beragam agama.

Perjalanan ditemani 17 anggota Geng Kapak yang boleh dibilang seniman dan budayawan muda. Menari? Tentu saja mahir. Selain itu, mereka juga ada keterikatan leluhur Huma Betang Tumbang Apat dan Dayak Siang.

Tepat pukul 17.00 WIB tiba di Huma Betang. Barang bawaan, logistik, hingga alat musik dan kostum tari diangkut Geng Kapak naik rumah betang. Sedangkan penulis bersama empat orang fotografer dan videografer Hitam Putih Borneo (HPB), kegirangan melihat indahnya senja.

Baca Juga :  Kasus Menurun, Fasilitas Isoman Terpusat Tak Banyak Terisi

Pasang tripod untuk timelapse. Mondar-mandir mencoba bikin konten. Menerbangkan drone sebelum gelap, melihat sekitar Sungai Babuat, hingga mencoba mengintip air terjun Tomoku berjarak tak lebih 2 kilometer (km).

Namun, ratusan frame foto tampak blur alias tidak fokus, meski lensa sudah dikunci ke satu titik. Video? Lensa manual fokus pun seolah berbayang dan hilang fokus. Nasib drone? Sempat hilang kontak. Drone mengandalkan GPS. Lantaran tidak ada sinyal telekomunikasi, alhasil sulit dikendali. Hingga seperti menabrak pembatas awan, meski langit tampak cerah.

Belum sadar. Namun, kepala rombongan Jimy O Andin mulai menghampiri tim visual. Begitu juga Althur Malik yang langsung masuk rumah betang tatkala senja menuju gelap.
“Ayo masuk semua,” kata Jimy memanggil.

Peralatan foto, video, audio, alat musik, kostum, dan sejenisnya dikumpulkan di tengah huma betang. Dikelilingi seluruh rombongan dan keluarga tuan rumah. Ternyata mereka menggelar ritual. Ada telur, ayam, beras kuning, anding, dupa, dan lainnya.

Baca Juga :  Ketertarikan di Bidang Forensik Muncul Ketika Ikut Ayah Dinas di Papua

Asianel, Basir atau Basi Tumbang Apat memimpin ritual. Jimy mencoba menatap wajah tim dokumentasi untuk tetap tenang dan mengikutinya. Usai doa dan niat izin dilantunkan basir, semua peralatan dibuat tampung tawar. Di akhir ritual, penyambutan tuan rumah terhadap tamu dengan menyediakan anding, memberikan nuansa lain. Segelas anding atau minuman tradisional tidak memabukkan. Cukup melegakan dan menghangatkan badan. Sebagai pembuka perkenalan dan saling sapa.

Althur Malik mengenalkan keluarga betang dan tamunya dengan bahasa Dayak Siang. Dari semua tim yang datang, hanya Jimy yang bisa. Kudapan, kopi, dan anding atau minuman tradisional (baram) menemani keakraban malam itu.

MENJAGA HUTAN: Dari kanan, Ali Laca Singa Bulo, El Nazer Sarajan Ganap, dan Kuleh Tarung Apui berada di air terjun Tomoku, tak jauh dari rumah betang, dua pekan lalu. FOTO: ALBERT/KALTENG POS

Sejak selesai ritual dan pengambilan gambar di betang dan sekitarnya, malam, pagi, siang, sore hingga malam lagi selalu ritual. Minimal minta izin atau mengutamakan tujuan baik.
“Di rumah betang ini ada poros tengah sebagai tanda untuk garis keturunan sebelah Andin dan Ura Tarung,” ucap generasi keempat leluhur Huma Betang Apat dari Keluarga Ura Tarung, Althur Malik.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/