PALANGKA RAYA-PT Kumai Sentosa (KS) dipastikan lolos dari jeratan pidana atas kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2.600 hektare (ha) di Desa Sungai Cabang, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar). Bahkan perusahaan perkebunan kelapa sawit ini juga dipastikan bebas dari tuntutan ganti rugi sebesar Rp935 miliar. Kepastian itu setelah Mahkamah Agung (MA) menolak upaya hukum kasasi yang diajukan oleh jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kobar.
Dalam petikan keputusan perkara nomor 3840 K/Pid.sus/2021 tertera, menolak kasasi penuntut umum dari Kejari Kobar. Putusan tersebut mendapat sorotan tajam dari para pegiat lingkungan. Banyak yang menyesalkan keputusan itu. Dinilai sebagai preseden buruk terhadap penanganan kasus-kasus karhutla di Indonesia secara umum dan Kalteng khususnya.
Sorotan datang dari Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas. Ia menyebut, pada dasarnya terkait kebakaran hutan dan lahan, yang paling penting adalah berkenaan dengan penegakan hukum. Tetapi tantangan di pengadilan itu banyak aspek yang perlu dipertimbangkan, terutama pemahaman hakim.
“Kasus ini setelah dilakukan kasasi ke MA dan kemudian diputuskan dengan argumentasi yang agak lucu, perusahaan memang sudah memasang plang, kemudian dianggap sudah bertanggung jawab,” kata Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas kepada wartawan, Selasa (9/12).
Diungkapkannya, meski ada dissenting opinion atau perbedaan pendapat dengan hakim lain, diduga ada kekeliruan majelis hakim dalam memahami soal kasus kebakaran hutan dan lahan. Padahal sebelumnya ada pertanggungjawaban mutlak atau strict liability yang harus dilakukan perusahaan ketika mendapatkan izin. “Pada konteks strict liability ini, sebetulnya sudah dilemahkan dalam Omnibus Law, seharusnya terkait pasal ini sebagai pertanggungjawaban mutlak, tapi kemudian diubah menjadi unsur pembuktian saja,” ungkapnya.
Makanya, ketika mau melihat apakah pertanggungjawaban perusahaan sudah dilakukan dengan benar, kemudian muncul perusahaan yang hanya dengan memasang plang kemudian dianggap sudah bertanggungjawaban, tentu akan berdampak buruk terhadap penanganan kasus kasus karhutla. Akhirnya kasus-kasus ini menjadi preseden buruk terhadap penanganan karhutla, sehingga pelaku makin sulit dikejar atau dimintai pertanggungjawaban.
“Sebetulnya penting dilakukan pendekatan, tidak hanya menggunakan satu undang-undang untuk menjerat pelaku karhutla, karena banyak pasal dalam beberapa undang-undang yang bisa digunakan untuk menjerat para pelaku. Selain perdata, bisa juga secara pidana,” ujarnya.
Ia menyebut, untuk penanganan kasus-kasus karhutlah, harusnya dipastikan bahwa hakim memiliki sertifikat lingkungan. Hakim mesti paham soal karakteristik kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan.