Jumat, September 20, 2024
38.1 C
Palangkaraya

Grup Astra Garap Lahan di Luar HGU

Walhi Desak Pemerintah Evaluasi Perizinan PBS

NANGA BULIK-Seng-keta lahan antara masyarakat dengan PT Nirmala Agro Lestari (NAL) tak kunjung usai. Warga dari satu kelurahan dan dua desa di Kabupaten Lamandau, sejak 2017 silam terus berjuang menuntut hak tanah mereka yang dikuasi oleh anak perusahaan sawit PT Astra Agro Lestari (AAL) tersebut.

Sekian lama warga Kelurahan Nanga Bulik, Desa Bunut, dan Desa Sungai Mentawa di Kabupaten Lamandau itu hanya mendapat janji-janji palsu.

Merasa tak tahan lagi, sekelompok warga itu mencari keadilan. Puncak amarah terjadi pada Rabu (2/2). Mereka menggeruduk Kantor PT NAL untuk menyampaikan beberapa tuntutan. Bahkan memaksa perusahaan menghentikan aktivitas di lokasi sengketa terhitung Kamis (3/2).

Keputusan penghentian operasi ini diambil berdasarkan kesepakatan pertemuan antara pihak PT NAL dengan perwakilan warga, Rabu malam (2/2).

 Tim pendamping warga dari Komisi Pelayanan Publik (KPP) Internasional Mission Research Center (IMRC), Sarlianes Riel mengatakan, dalam pertemuan itu pihak perusahaan berjanji tidak akan melakukan aktivitas seperti penen dan lainnya, selama permasalahan ini belum selesai.

“Salah satu poin kesepakatan yakni pihak PT NAL berjanji tidak akan melakukan aktivitas di luar area HGU PT NAL,” ujarnya.

 Sarlianes menambahkan, dilihat berdasarkan peta perusahaan, pihaknnya mengklaim bahwa PT NAL telah menggarap lahan di luar HGU, dengan total sekitar 3.000 hektare lebih.

“Kami minta agar pihak perusahaan bisa menepati janjinya dengan tidak melakukan aktivitas di lahan sengketa sampai permasalahan ini benar-benar selesai,” tegasnya.

 Syahrudin perwakilan warga merasa kecewa dengan perusahaan karena tidak memenuhi hak dan kewajiban, tapi menggunakan lahan dan menjalankan usaha di wilayah desa mereka tanpa ada kontribusi untuk masyarakat.

“Apa bedanya kami dengan warga desa lain, sementara kami juga punya lahan di situ, kami juga punya hak yang sama, kenapa yang lain dapat (plasma), tapi kami tidak, padahal kami warga asli desa, di mana rasa keadilan itu. Kami datang ke sini bukan untuk mencari kekayaan, tapi untuk keadilan,” kata Syahrudin.

Baca Juga :  KONI Pusat Segera Bentuk Karteker

 Menyikapi tuntutan masyarakat, PT NAL mengakui keterlanjuran menggarap lahan di luar HGU saat membuka lahan perusahaan, sehingga menimbulkan sengketa. Terjadinya penggarapan di atas lahan tersebut setelah perusahaan mengantongi izin lokasi yang dikeluarkan oleh bupati. Atas dasar izin lokasi itulah, PT NAL berani membuka lahan tersebut. Namun dalam perjalanannya, luas lahan yang digarap berdasarkan izin lokasi dan Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan, ternyata berbeda.

 “Secara singkat permasalahan tersebut terjadi saat perusahaan mendapat izin lokasi dari bupati seluas 9.000 hektare. Setelah kami dapat izin lokasi, lahan itulah yang kami kelola,” ujar Humas PT NAL Hidayatusya’ban kepada wartawan, Kamis (4/2).

Setelah mengatongi izin lokasi dan mengelola lahan tersebut, PT NAL kemudian mengajukan HGU untuk lahan seluas 9.000 hektare, tapi yang terbit tidak sampai 9.000 hektare.

“HGU yang terbit saat itu hanya 6.700-an lebih, sehingga ada lahan di luar HGU yang masuk wilayah perusahaan,” jelasnya.

Lahan inilah yang kemudian bermasalah dan direspons oleh pemerintah daerah melalui bupati, yang saat itu meminta agar lahan overlay tersebut harus diserahkan kembali ke masyarakat. Kemudian bupati menerbitkan SK dan menunjuk Kelompok Tani (Poktan) Batanggui Lestari untuk mengelola lahan tersebut.

“Selanjutnya pada 2018 perusahaan menyerahkan lahan tersebut kepada kelompok tani berdasarkan SK bupati,” imbuhnya.

 Menurut Hidayat, sejatinya PT NAL sudah tidak punya kewenangan lagi terhadap lahan tersebut. Karena itu, tuntutan warga kepada PT NAL dianggap salah sasaran.

“Warga yang keberatan harusnya menyampaikan tuntutan mereka kepada pihak kelompok tani ataupun pemda, karena kami sudah menyerahkan lahan itu kepada kelompok tani berdasarkan SK bupati,” tegasnya.

Menyikapi sengketa antara grup PT AAL dengan sekelompok warga di Kabupaten Lamandau, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata menerangkan bahwa Walhi sudah mengetahui hal itu sejak 2017 lalu berdasarkan pengaduan dari masyarakat.

Baca Juga :  Kementrian ATR/BPN Sebut Terobosan Kotim Jadi Percontohan

“Awal kasus ini mencuat ke publik terkait temuan masyarakat sekitar izin PT NAL yang menyatakan ada penggarapan dan penanaman sawit di luar izin HGU,” terang Bayu kepada Kalteng Pos, kemarin (4/2).

 Pria yang baru saja ditunjuk sebagai penanggung jawab organisasi Walhi di Kalteng ini mengatakan, Walhi menyarankan kepada masyarakat untuk melakukan pendokumentasian kasus dan pengumpulan data terkait perizinan perusahaaan serta fakta-fakta lapangan. Pihak Walhi siap membantu dan mendukung masyarakat di desa tersebut mempertahankan hak tanah mereka. Namun sejauh ini belum ada surat permintaan dari masyarakat kepada Walhi untuk pendampingan dalam persoalan ini.

“Walhi belum dapat surat permohonan pendampingan dari masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang sedang berkonflik pun sudah ada yang mendampingi,” ucapnya.

Meski tak ada permohonan untuk pendampingan, Bayu menyatakan bahwa Walhi mendukung penuh upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam menuntut hak-hak, yang harus dipenuhi oleh grup PT AAL yang beraktivitas di dalam wilayah dan tanah masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah selaku pemberi izin pun harus memfasilitasi.

 Selain masalah yang terjadi di Kabupaten Lamandau, lanjut Bayu, masih ada sejumlah konflik agraria  di tempat lain, antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal. Dia mencontohkan konflik antara warga dengan PT Gemareksa dan PT Menthobi di wilayah Kecamatan Bulik.

“Konflik agraria terkait realisasi 20% pembangunan kebun masyarakat (plasma atau kemitraan) yang sampai saat ini belum dilaksanakan oleh perusahaan,” tutur aktivis lingkungan lulusan Fakultas Ekonomi UPR ini.

Untuk menghindari terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, terutama terkait konflik agraria, Walhi menawarkan sejumlah usulan. Hal pertama yakni mendesak pemerintah untuk melakukan review izin yang sudah diberikan kepada perusahaan perkebunan.

 Walhi juga mengusulkan kepada pemerintah daerah, apabila muncul konflik antara warga dengan perusahaan, diharapkan ada upaya penyelesaian yang pasti dan menyeluruh dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, agar tidak muncul lagi konflik serupa ke depannya. (lan/sja/ce/ala/ko)

Walhi Desak Pemerintah Evaluasi Perizinan PBS

NANGA BULIK-Seng-keta lahan antara masyarakat dengan PT Nirmala Agro Lestari (NAL) tak kunjung usai. Warga dari satu kelurahan dan dua desa di Kabupaten Lamandau, sejak 2017 silam terus berjuang menuntut hak tanah mereka yang dikuasi oleh anak perusahaan sawit PT Astra Agro Lestari (AAL) tersebut.

Sekian lama warga Kelurahan Nanga Bulik, Desa Bunut, dan Desa Sungai Mentawa di Kabupaten Lamandau itu hanya mendapat janji-janji palsu.

Merasa tak tahan lagi, sekelompok warga itu mencari keadilan. Puncak amarah terjadi pada Rabu (2/2). Mereka menggeruduk Kantor PT NAL untuk menyampaikan beberapa tuntutan. Bahkan memaksa perusahaan menghentikan aktivitas di lokasi sengketa terhitung Kamis (3/2).

Keputusan penghentian operasi ini diambil berdasarkan kesepakatan pertemuan antara pihak PT NAL dengan perwakilan warga, Rabu malam (2/2).

 Tim pendamping warga dari Komisi Pelayanan Publik (KPP) Internasional Mission Research Center (IMRC), Sarlianes Riel mengatakan, dalam pertemuan itu pihak perusahaan berjanji tidak akan melakukan aktivitas seperti penen dan lainnya, selama permasalahan ini belum selesai.

“Salah satu poin kesepakatan yakni pihak PT NAL berjanji tidak akan melakukan aktivitas di luar area HGU PT NAL,” ujarnya.

 Sarlianes menambahkan, dilihat berdasarkan peta perusahaan, pihaknnya mengklaim bahwa PT NAL telah menggarap lahan di luar HGU, dengan total sekitar 3.000 hektare lebih.

“Kami minta agar pihak perusahaan bisa menepati janjinya dengan tidak melakukan aktivitas di lahan sengketa sampai permasalahan ini benar-benar selesai,” tegasnya.

 Syahrudin perwakilan warga merasa kecewa dengan perusahaan karena tidak memenuhi hak dan kewajiban, tapi menggunakan lahan dan menjalankan usaha di wilayah desa mereka tanpa ada kontribusi untuk masyarakat.

“Apa bedanya kami dengan warga desa lain, sementara kami juga punya lahan di situ, kami juga punya hak yang sama, kenapa yang lain dapat (plasma), tapi kami tidak, padahal kami warga asli desa, di mana rasa keadilan itu. Kami datang ke sini bukan untuk mencari kekayaan, tapi untuk keadilan,” kata Syahrudin.

Baca Juga :  KONI Pusat Segera Bentuk Karteker

 Menyikapi tuntutan masyarakat, PT NAL mengakui keterlanjuran menggarap lahan di luar HGU saat membuka lahan perusahaan, sehingga menimbulkan sengketa. Terjadinya penggarapan di atas lahan tersebut setelah perusahaan mengantongi izin lokasi yang dikeluarkan oleh bupati. Atas dasar izin lokasi itulah, PT NAL berani membuka lahan tersebut. Namun dalam perjalanannya, luas lahan yang digarap berdasarkan izin lokasi dan Hak Guna Usaha (HGU) yang diterbitkan, ternyata berbeda.

 “Secara singkat permasalahan tersebut terjadi saat perusahaan mendapat izin lokasi dari bupati seluas 9.000 hektare. Setelah kami dapat izin lokasi, lahan itulah yang kami kelola,” ujar Humas PT NAL Hidayatusya’ban kepada wartawan, Kamis (4/2).

Setelah mengatongi izin lokasi dan mengelola lahan tersebut, PT NAL kemudian mengajukan HGU untuk lahan seluas 9.000 hektare, tapi yang terbit tidak sampai 9.000 hektare.

“HGU yang terbit saat itu hanya 6.700-an lebih, sehingga ada lahan di luar HGU yang masuk wilayah perusahaan,” jelasnya.

Lahan inilah yang kemudian bermasalah dan direspons oleh pemerintah daerah melalui bupati, yang saat itu meminta agar lahan overlay tersebut harus diserahkan kembali ke masyarakat. Kemudian bupati menerbitkan SK dan menunjuk Kelompok Tani (Poktan) Batanggui Lestari untuk mengelola lahan tersebut.

“Selanjutnya pada 2018 perusahaan menyerahkan lahan tersebut kepada kelompok tani berdasarkan SK bupati,” imbuhnya.

 Menurut Hidayat, sejatinya PT NAL sudah tidak punya kewenangan lagi terhadap lahan tersebut. Karena itu, tuntutan warga kepada PT NAL dianggap salah sasaran.

“Warga yang keberatan harusnya menyampaikan tuntutan mereka kepada pihak kelompok tani ataupun pemda, karena kami sudah menyerahkan lahan itu kepada kelompok tani berdasarkan SK bupati,” tegasnya.

Menyikapi sengketa antara grup PT AAL dengan sekelompok warga di Kabupaten Lamandau, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata menerangkan bahwa Walhi sudah mengetahui hal itu sejak 2017 lalu berdasarkan pengaduan dari masyarakat.

Baca Juga :  Kementrian ATR/BPN Sebut Terobosan Kotim Jadi Percontohan

“Awal kasus ini mencuat ke publik terkait temuan masyarakat sekitar izin PT NAL yang menyatakan ada penggarapan dan penanaman sawit di luar izin HGU,” terang Bayu kepada Kalteng Pos, kemarin (4/2).

 Pria yang baru saja ditunjuk sebagai penanggung jawab organisasi Walhi di Kalteng ini mengatakan, Walhi menyarankan kepada masyarakat untuk melakukan pendokumentasian kasus dan pengumpulan data terkait perizinan perusahaaan serta fakta-fakta lapangan. Pihak Walhi siap membantu dan mendukung masyarakat di desa tersebut mempertahankan hak tanah mereka. Namun sejauh ini belum ada surat permintaan dari masyarakat kepada Walhi untuk pendampingan dalam persoalan ini.

“Walhi belum dapat surat permohonan pendampingan dari masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang sedang berkonflik pun sudah ada yang mendampingi,” ucapnya.

Meski tak ada permohonan untuk pendampingan, Bayu menyatakan bahwa Walhi mendukung penuh upaya yang dilakukan oleh masyarakat dalam menuntut hak-hak, yang harus dipenuhi oleh grup PT AAL yang beraktivitas di dalam wilayah dan tanah masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah selaku pemberi izin pun harus memfasilitasi.

 Selain masalah yang terjadi di Kabupaten Lamandau, lanjut Bayu, masih ada sejumlah konflik agraria  di tempat lain, antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal. Dia mencontohkan konflik antara warga dengan PT Gemareksa dan PT Menthobi di wilayah Kecamatan Bulik.

“Konflik agraria terkait realisasi 20% pembangunan kebun masyarakat (plasma atau kemitraan) yang sampai saat ini belum dilaksanakan oleh perusahaan,” tutur aktivis lingkungan lulusan Fakultas Ekonomi UPR ini.

Untuk menghindari terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan, terutama terkait konflik agraria, Walhi menawarkan sejumlah usulan. Hal pertama yakni mendesak pemerintah untuk melakukan review izin yang sudah diberikan kepada perusahaan perkebunan.

 Walhi juga mengusulkan kepada pemerintah daerah, apabila muncul konflik antara warga dengan perusahaan, diharapkan ada upaya penyelesaian yang pasti dan menyeluruh dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, agar tidak muncul lagi konflik serupa ke depannya. (lan/sja/ce/ala/ko)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/