Sabtu, November 23, 2024
32.1 C
Palangkaraya

Sebagian Besar Sawit Beroperasi dalam Kawasan Hutan

PALANGKA RAYA–Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI baru saja membeberkan indikasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang masuk dalam kawasan hutan. Total luas lahannya mencapai 3,3 juta hektare (ha). Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng tak menampik bahwa sebagian besar perkebunan sawit di Bumi Tambun Bungai ini beroperasi dalam kawasan hutan.

Plt Kepala Disbun Kalteng Sri Suwanto mengatakan, berdasarkan Keputusanan Menteri LHK No. SK.8108/MenLHK-PKTL/Kuh/Pla.2/11/2018, masih banyak perkebunan sawit yang diketahui beroperasi dalam kawasan hutan.

Sri Suwanto menyebut, khusus Kalteng ada sejarah kawasan hutan yang tetap harus diperhatikan dalam upaya pembangunan. Menurutnya, sejak 2003 lalu pembangunan selalu mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Dalam Perda RTRWP Nomor 8 Tahun 2003 disebutkan bahwa perbandingan kawasan hutan dan non-kawasan hutan adalah 67,4 % dan 32,6%. Dari 15,3 juta hektare (ha) luas wilayah Kalteng, sekitar 5 juta ha bukan merupakan kawasan hutan versi Perda Nomor 08 Tahun 2003.

Akan tetapi berdasarkan SK Menhut No.SK.529/Menhut-II/2012 Jo. SK MenLHK No.SK.8108/MenLHK-PKTL/Kuh/Pla.2/11/2018, perbandingan kawasan hutan dan non-kawasan hutan sebesar 79,75 % dan 20,25%. Dari total luas wilayah Kalteng (15,3 juta ha), hanya sekitar 3 juta ha yang bukan kawasan hutan versi Kementerian LHK.

Perbedaan acuan fungsi kawasan yang tidak sama antara pusat dan daerah, yang mana non-kawasan hutan versi daerah adalah kurang lebih 5 juta ha sedangkan versi pusat kurang lebih 3 juta dengan selisih 2 juta ha lebih, telah dikategorikan sebagai keterlanjuran penggunaan kawasan hutan yang telah dijembatani melalui PP Nomor 60 Tahun 2012 Jo. PP Nomor 104 Tahun 2015.

“Perusahaaan perkebunan sawit yang masuk pada kriteria tersebut diminta untuk melakukan proses pelepasan kawasan hutan ke Kementerian LHK,” ujar Sri Suwanto kepada Kalteng Pos di ruang kerjanya, Selasa (6/4).

Data-data perusahaan yang dianggap sebagai keterlanjuran penggunaan kawasan hutan, sejak 2012 lalu sudah meminta pelepasan kawasan hutan pada Kementerian LHK dan telah berproses di Kementerian LHK.

“Ada yang sudah disesuaikan fungsi dan peruntukannya sebesar 500 ribu ha. Sisanya masih proses pengkajian tim terpadu dan finalisasi penyesuaian fungsi dan peruntukan menjadi kawasan nonhutan untuk perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.

Saat ini Provinsi Kalteng telah memiliki Perda Tata Ruang Provinsi yang baru yakni Perda Nomor 5 Tahun 2015 sebagai perubahan dari Perda Nomor 8 Tahun 2003.

Baca Juga :  Manfaatkan Layanan 112

“Yang mana telah mengakomodasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kehutanan melalui mekanisme outline, karena ada sekitar 2,88 juta ha yang perlu dilepaskan review tata ruang pada tahun ini,” tambah Sri.

Kesesuaian peruntukan ruang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2015, khususnya untuk pola ruang kawasan hutan, ditinjau dari kondisi eksistingnya, sebagian sudah tidak layak sebagai kawasan hutan. Antara lain, masih ada sekitar 785 desa/kelurahan yang wilayahnya masuk dalam kawasan hutan. Hasil survei dan identifikasi oleh DPUPR Kalteng menjelaskan bahwa infrastruktur (jalan nasional: 858 km (42%), jalan provinsi: 432 km (34%) masuk dalam kawasan hutan. Areal budi daya pertanian di lahan pangan pertanian berkelanjutan (LP2B) 204.575,17 ha dan lahan cadangan pangan pertanian berkelanjutan (LCP2B) 1.376.873,80 ha. Programnya belum bisa terlaksana secara maksimal, karena sebagian besar wilayahnya masuk dalam kategori kawasan hutan.

Kawasan yang direncanakan untuk pengembangan kawasan industri (KI) atau kawasan ekonomi khusus (KEK) bernilai strategis untuk investasi sebagian masih berupa kawasan hutan, sehingga proses perizinan masih terkendala.

Sebagai tindak lanjut, jelas Sri, saat ini pemprov telah menyelesaikan proses peninjauan kembali (PK) RTRWP tahun 2015-2035 yang mengacu pada ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagaimana dijabarkan secara operasional pada Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2017 tentang Peninjauan Kembali RTRW, yang menyebutkan bahwa revisi tata ruang pelaksanaannya didahului dengan proses peninjauan kembali (PK) RTRW yang dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali pada tahun kelima.

“Dengan hasil revisi Perda RTRWP sebagaimana rekomendasi gubernur nomor 188.44/313/2020 tanggal 20 Juli 2020,” ungkapnya.

Dalam program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang sudah dilaksanakan, masih ada banyak usulan yang belum terakomodasi, karena dibatasi peta indikatif serta proses yang rumit dan lama. Diharapkan ada program serupa atau TORA tahap kedua untuk mengakomodasinya.

Ia mengaku, pihaknya terus mendorong perusahaan besar swasta untuk melakukan pelepasan kawasan hutan secara parsial sesuai ketentuan yang berlaku, terhadap area perkebunan yang masih masuk dalam kawasan hutan.

Terkait pembangunan sarana prasarana baru yang masih berada di kawasan hutan, kata Sri, perlu melakukan proses izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Baca Juga :  KPK RI dan Pemda Se-Kalteng Berkomitmen Ciptakan Birokrasi Antikorupsi

Melalui jalur tata ruang, gubernur mengusulkan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri LHK dengan usulan pelepasan kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan yang terdiri dari permukiman seluas 165.772,95 ha, pertanian 563.732,15 ha, transmigrasi 45.322,82 ha, ruang kelola masyarakat/kebun masyarakat 651.893,93 ha, wilayah pertambangan rakyat (WPR) 30.240,57 ha, fasus dan fasum 2.837,57 ha, perkebunan besar swasta yang sudah HGU 839.024,42 ha, dan peruntukan budi daya lainnya  384.430,71 ha.

Sementara itu, selama ini pemerintah masih melakukan moratorium untuk izin sawit. Menurut Sri, manfaat perpanjangan moratorium izin sawit bagi pengelolaan hutan yakni menurunkan deforestasi dan degradasi hutan serta emisi gas rumah kaca.

“Dapat dilakukan evaluasi terhadap areal izin yang sudah diberikan dan adanya perbaikan atau pembenahan pada areal izin,” katanya.

Ia menambahkan, meningkatnya perambahan kebun kelapa sawit pada kawasan hutan dikarenakan belum selesainya pengukuhan kawasan hutan. Sehingga secara fisik pal batas kawasan hutan banyak yang belum terpasang.

“Masyarakat yang masih awam tidak tahu secara pasti lokasi kawasan hutan, karena itulah sosialisasi kepada masyarakat sangat diperlukan,” tambahnya.

Selain itu, dalam proses perubahan peruntukan kawasan hutan, terjadi perbedaan antara peta kawasan hutan dengan peta rencana tata ruang dan wilayah yang masih belum selesai. Sehingga masih terdapat sebagai perambahan kawasan hutan. 

Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, data izin perkebunan kelapa sawit setelah moratorium dan sebelum moratium merupakan data yang dipegang langsung oleh Pihak Kabupaten (Bupati/ Kepala DMPTSP).

“Untuk perkebunan kelapa sawit tidak ada kontribusi kepada pendapatan daerah. Namun, pajak perkebunan kelapa sawit yang menjadi PAD daerah berupa pajak HGU ke pusat, pajak ekspor ke pusat, pungutan atas produksi kelapa sawit berupa PNBP, pungutan atas sertifikat benih, penambahan pendapatan ke pusat, dan pajak kendaraan bermotor yang dioperasionalkan pada perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut sesuai dengan nopol daerah masing-masing,” urainya.

“Dasar pemungutan dan retribusi daerah sesua UU Nomor 28 Tahun 2009. Provinsi hanya mendapatkan dana bagi hasil 16% dari PBB sektor P3 dan PPh di provinsi tersebut yang dibagikan dari pusat,” lanjutnya. (nue/sja/ce/ala)

PALANGKA RAYA–Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI baru saja membeberkan indikasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang masuk dalam kawasan hutan. Total luas lahannya mencapai 3,3 juta hektare (ha). Dinas Perkebunan (Disbun) Kalteng tak menampik bahwa sebagian besar perkebunan sawit di Bumi Tambun Bungai ini beroperasi dalam kawasan hutan.

Plt Kepala Disbun Kalteng Sri Suwanto mengatakan, berdasarkan Keputusanan Menteri LHK No. SK.8108/MenLHK-PKTL/Kuh/Pla.2/11/2018, masih banyak perkebunan sawit yang diketahui beroperasi dalam kawasan hutan.

Sri Suwanto menyebut, khusus Kalteng ada sejarah kawasan hutan yang tetap harus diperhatikan dalam upaya pembangunan. Menurutnya, sejak 2003 lalu pembangunan selalu mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Dalam Perda RTRWP Nomor 8 Tahun 2003 disebutkan bahwa perbandingan kawasan hutan dan non-kawasan hutan adalah 67,4 % dan 32,6%. Dari 15,3 juta hektare (ha) luas wilayah Kalteng, sekitar 5 juta ha bukan merupakan kawasan hutan versi Perda Nomor 08 Tahun 2003.

Akan tetapi berdasarkan SK Menhut No.SK.529/Menhut-II/2012 Jo. SK MenLHK No.SK.8108/MenLHK-PKTL/Kuh/Pla.2/11/2018, perbandingan kawasan hutan dan non-kawasan hutan sebesar 79,75 % dan 20,25%. Dari total luas wilayah Kalteng (15,3 juta ha), hanya sekitar 3 juta ha yang bukan kawasan hutan versi Kementerian LHK.

Perbedaan acuan fungsi kawasan yang tidak sama antara pusat dan daerah, yang mana non-kawasan hutan versi daerah adalah kurang lebih 5 juta ha sedangkan versi pusat kurang lebih 3 juta dengan selisih 2 juta ha lebih, telah dikategorikan sebagai keterlanjuran penggunaan kawasan hutan yang telah dijembatani melalui PP Nomor 60 Tahun 2012 Jo. PP Nomor 104 Tahun 2015.

“Perusahaaan perkebunan sawit yang masuk pada kriteria tersebut diminta untuk melakukan proses pelepasan kawasan hutan ke Kementerian LHK,” ujar Sri Suwanto kepada Kalteng Pos di ruang kerjanya, Selasa (6/4).

Data-data perusahaan yang dianggap sebagai keterlanjuran penggunaan kawasan hutan, sejak 2012 lalu sudah meminta pelepasan kawasan hutan pada Kementerian LHK dan telah berproses di Kementerian LHK.

“Ada yang sudah disesuaikan fungsi dan peruntukannya sebesar 500 ribu ha. Sisanya masih proses pengkajian tim terpadu dan finalisasi penyesuaian fungsi dan peruntukan menjadi kawasan nonhutan untuk perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.

Saat ini Provinsi Kalteng telah memiliki Perda Tata Ruang Provinsi yang baru yakni Perda Nomor 5 Tahun 2015 sebagai perubahan dari Perda Nomor 8 Tahun 2003.

Baca Juga :  Manfaatkan Layanan 112

“Yang mana telah mengakomodasi penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kehutanan melalui mekanisme outline, karena ada sekitar 2,88 juta ha yang perlu dilepaskan review tata ruang pada tahun ini,” tambah Sri.

Kesesuaian peruntukan ruang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2015, khususnya untuk pola ruang kawasan hutan, ditinjau dari kondisi eksistingnya, sebagian sudah tidak layak sebagai kawasan hutan. Antara lain, masih ada sekitar 785 desa/kelurahan yang wilayahnya masuk dalam kawasan hutan. Hasil survei dan identifikasi oleh DPUPR Kalteng menjelaskan bahwa infrastruktur (jalan nasional: 858 km (42%), jalan provinsi: 432 km (34%) masuk dalam kawasan hutan. Areal budi daya pertanian di lahan pangan pertanian berkelanjutan (LP2B) 204.575,17 ha dan lahan cadangan pangan pertanian berkelanjutan (LCP2B) 1.376.873,80 ha. Programnya belum bisa terlaksana secara maksimal, karena sebagian besar wilayahnya masuk dalam kategori kawasan hutan.

Kawasan yang direncanakan untuk pengembangan kawasan industri (KI) atau kawasan ekonomi khusus (KEK) bernilai strategis untuk investasi sebagian masih berupa kawasan hutan, sehingga proses perizinan masih terkendala.

Sebagai tindak lanjut, jelas Sri, saat ini pemprov telah menyelesaikan proses peninjauan kembali (PK) RTRWP tahun 2015-2035 yang mengacu pada ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagaimana dijabarkan secara operasional pada Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 6 Tahun 2017 tentang Peninjauan Kembali RTRW, yang menyebutkan bahwa revisi tata ruang pelaksanaannya didahului dengan proses peninjauan kembali (PK) RTRW yang dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali pada tahun kelima.

“Dengan hasil revisi Perda RTRWP sebagaimana rekomendasi gubernur nomor 188.44/313/2020 tanggal 20 Juli 2020,” ungkapnya.

Dalam program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang sudah dilaksanakan, masih ada banyak usulan yang belum terakomodasi, karena dibatasi peta indikatif serta proses yang rumit dan lama. Diharapkan ada program serupa atau TORA tahap kedua untuk mengakomodasinya.

Ia mengaku, pihaknya terus mendorong perusahaan besar swasta untuk melakukan pelepasan kawasan hutan secara parsial sesuai ketentuan yang berlaku, terhadap area perkebunan yang masih masuk dalam kawasan hutan.

Terkait pembangunan sarana prasarana baru yang masih berada di kawasan hutan, kata Sri, perlu melakukan proses izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Baca Juga :  KPK RI dan Pemda Se-Kalteng Berkomitmen Ciptakan Birokrasi Antikorupsi

Melalui jalur tata ruang, gubernur mengusulkan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri LHK dengan usulan pelepasan kawasan hutan menjadi kawasan nonhutan yang terdiri dari permukiman seluas 165.772,95 ha, pertanian 563.732,15 ha, transmigrasi 45.322,82 ha, ruang kelola masyarakat/kebun masyarakat 651.893,93 ha, wilayah pertambangan rakyat (WPR) 30.240,57 ha, fasus dan fasum 2.837,57 ha, perkebunan besar swasta yang sudah HGU 839.024,42 ha, dan peruntukan budi daya lainnya  384.430,71 ha.

Sementara itu, selama ini pemerintah masih melakukan moratorium untuk izin sawit. Menurut Sri, manfaat perpanjangan moratorium izin sawit bagi pengelolaan hutan yakni menurunkan deforestasi dan degradasi hutan serta emisi gas rumah kaca.

“Dapat dilakukan evaluasi terhadap areal izin yang sudah diberikan dan adanya perbaikan atau pembenahan pada areal izin,” katanya.

Ia menambahkan, meningkatnya perambahan kebun kelapa sawit pada kawasan hutan dikarenakan belum selesainya pengukuhan kawasan hutan. Sehingga secara fisik pal batas kawasan hutan banyak yang belum terpasang.

“Masyarakat yang masih awam tidak tahu secara pasti lokasi kawasan hutan, karena itulah sosialisasi kepada masyarakat sangat diperlukan,” tambahnya.

Selain itu, dalam proses perubahan peruntukan kawasan hutan, terjadi perbedaan antara peta kawasan hutan dengan peta rencana tata ruang dan wilayah yang masih belum selesai. Sehingga masih terdapat sebagai perambahan kawasan hutan. 

Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, data izin perkebunan kelapa sawit setelah moratorium dan sebelum moratium merupakan data yang dipegang langsung oleh Pihak Kabupaten (Bupati/ Kepala DMPTSP).

“Untuk perkebunan kelapa sawit tidak ada kontribusi kepada pendapatan daerah. Namun, pajak perkebunan kelapa sawit yang menjadi PAD daerah berupa pajak HGU ke pusat, pajak ekspor ke pusat, pungutan atas produksi kelapa sawit berupa PNBP, pungutan atas sertifikat benih, penambahan pendapatan ke pusat, dan pajak kendaraan bermotor yang dioperasionalkan pada perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut sesuai dengan nopol daerah masing-masing,” urainya.

“Dasar pemungutan dan retribusi daerah sesua UU Nomor 28 Tahun 2009. Provinsi hanya mendapatkan dana bagi hasil 16% dari PBB sektor P3 dan PPh di provinsi tersebut yang dibagikan dari pusat,” lanjutnya. (nue/sja/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/