Sabtu, November 23, 2024
23.7 C
Palangkaraya

Mantan Tukang Becak dan Penjual Kue Keliling Mengabdi 16 Tahun di Masjid

*ISABELA, Palangka Raya

HUSNI bersiap menuju masjid. Sebentar lagi salat Asar. Ia pun melangkahkan kaki dari rumahnya yang berjarak selemparan batu. Sedikit cepat, sembari merapikan baju koko berwarna putih yang dikenakannya.

Di usia yang sudah 67 tahun, Husni tak segesit dan selincah masih muda. Namun, ia masih mampu memberikan pelayanan terbaik sebagai marbut di Masjid Al-Fitrah, Jalan Madang, Palangka Raya.

16 tahun lamanya bapak empat anak itu mengemban tugas sebagai marbut. Pertama kali menginjakkan di Bumi Tambun Bungai pada 1992 lalu. Merantau dari tanah kelahirannya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Saat itu, ia digaji Rp75 ribu per pekan. Lalu, semenjak 2006 sampai sekarang ini, ia menerima Rp500 ribu per pekan.

Husni sadar, gaji marbut tak bisa dijadikan penghasilan utama. Ia pun memutar otak. Lalu memilih nyambi menjadi guru ngaji di Taman Pengajian Al-Qur’an. “Alhamdulillah, ada tambahan Rp300 ribu per bulan,” ucap Husni saat berbincang dengan Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Rutinitas yang dijalani saban hari sama seperti marbut-marbut pada umumnya. Mulai dari membersihkan tempat wudu, toilet, karpet, lantai, dan halaman, hingga turut mengurus semua kegiatan yang diselenggarakan di masjid.

“16 tahun itu bukan waktu yang singkat dan mudah. Ada suka dukanya, itu pasti. Profesi ini sebagai langkah saya mengabdi kepada agama dan masyarakat, tapi juga membuat bangga anak cucu saya,” kata suami dari Hernawati ini.

Seraya duduk di sofa cokelat yang ada di ruang tamu rumahnya, Husni menceritakan awal mula tiba di Palangka Raya. Bersama istrinya Hernawati, merantau dengan membawa serta keempat anak. Semuanya perempuan. Mahrina, Misriati, Mahfudzah, dan si bungsu Khairunisa. Sekeluarga tinggal di permukiman padat Jalan Riau. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka berjualan keliling kue basah buatan sang istri. Nahas, delapan tahun kemudian, kebakaran hebat meluluhlantakkan tempat tinggal yang disewa mereka. Semua perabotan, barang berharga, dan perlengkapan rumah ludes dilahap api. “Cuma sisa baju di badan saja,” kenangnya.

Baca Juga :  Jabatan Komisioner KPU-Bawaslu Segera Berakhir, Diperpanjang atau Buka Seleksi?

Semenjak itu, hidup berpindah-pindah dijalani oleh Husni sekeluarga. Bahkan pernah tinggal bersama anak keduanya yang sudah bersuami. Sampai akhirnya ia mengontrak rumah di Jalan Madang. Husni menyewa becak untuk mencari nafkah di siang hari. Pagi harinya, Husni tetap berjualan keliling kue basah menggunakan sepeda ontel. “Uang hasil itu saya tabung, buat tambahan biaya sekolah si bungsu,” ujar kakek yang dikaruniai dua cucu perempuan dan tujuh cucu laki-laki ini.

Bahkan, Husni bisa membeli becak dan sepeda ontel yang baru. Tidak perlu menyewa lagi.

Namun, cobaan hidup datang lagi. Baru setahun mengais rezeki dengan becak yang dibeli dari hasil menabung, kendaraan roda tiganya itu raib. Hilang di depan rumahnya. Husni tak bisa berbuat apa-apa. Berserah terhadap Yang Kuasa.

Husni tak ingin berlarut dalam kesedihan. Ia tetap berjualan kue keliling. Sampai sepeda ontelnya sudah tampak tua. “Saya akhirnya beli sepeda ontel lagi, agar lebih enak pas dibawa berjualan,” ucap pemilik nama lengkap Muhammad Husni itu.

Baca Juga :  Tiang Masjid Al-Ikhlas dari Kayu Ulin Usia 119 Tahun

Ujian datang kembali. Sepeda baru itu hilang di parkiran Masjid Nurul Islam, saat dirinya menghadiri salat Jumat. “Semenjak itu, saya gak beli sepeda lagi. Pakai sepeda yang lama saja,” tutur Husni mengingat momen itu, sembari tangan kanannya menutupi mulut yang ingin tertawa kecil.

Pada 2006, Husni dipilih sebagai marbut. Menggantikan marbut sebelumnya yang mengundurkan diri. Semenjak menjadi marbut, Husni mulai merasa kehidupannya lebih baik. Lebih tenang. Lebih ikhlas. Anak-anaknya pun sudah mulai tidak berharap uang jajan maupun uang untuk pendidikan. Mahrina dan Mahfudzah sudah menjadi ibu rumah tangga. Misriati sudah menjadi guru di madarasah. Sementara Khairunisa menjadi bidan. “Saat kuliah, si bungsu mendapat beasiswa,” sebutnya.

Ketua Pengurus Masjid Al-Fitrah Hasanudin Nasution menilai sosok Husni sebagai pribadi yang luar biasa kesabarannya. Menjalankan tugas dengan bertanggung jawab. Suka mengayomi. Tidak pernah bermasalah dengan jemaah. Juga tidak banyak menuntut. “Apa yang diberi, diterima. Juga tidak pernah yang namanya meminta-minta,” ucapnya.

Dengan pengabdian Husni sebagai marbut sejak 2006 lalu hingga sekarang ini, Hasanudin berharap ada perhatian lebih dari segi finansial dan lainnya kepada Husni. Sebagai seorang ketua, ia bersama teman-teman pengurus lainnya bertekad untuk memberangkatkan Husni ke Tanah Suci untuk menjalani ibadah umrah. Ini sebagai hadiah dan tanda terima kasih kepada Husni, yang bertahun-tahun lamanya merawat Masjid Al-Fitrah dengan sepenuh hati.

“Insyaallah, kami pengurus berusaha memberangkatkan umrah Pak Husni. Semoga cita-cita kami bisa tercapai dalam waktu dekat,” sebutnya. (ce/ram)

*ISABELA, Palangka Raya

HUSNI bersiap menuju masjid. Sebentar lagi salat Asar. Ia pun melangkahkan kaki dari rumahnya yang berjarak selemparan batu. Sedikit cepat, sembari merapikan baju koko berwarna putih yang dikenakannya.

Di usia yang sudah 67 tahun, Husni tak segesit dan selincah masih muda. Namun, ia masih mampu memberikan pelayanan terbaik sebagai marbut di Masjid Al-Fitrah, Jalan Madang, Palangka Raya.

16 tahun lamanya bapak empat anak itu mengemban tugas sebagai marbut. Pertama kali menginjakkan di Bumi Tambun Bungai pada 1992 lalu. Merantau dari tanah kelahirannya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Saat itu, ia digaji Rp75 ribu per pekan. Lalu, semenjak 2006 sampai sekarang ini, ia menerima Rp500 ribu per pekan.

Husni sadar, gaji marbut tak bisa dijadikan penghasilan utama. Ia pun memutar otak. Lalu memilih nyambi menjadi guru ngaji di Taman Pengajian Al-Qur’an. “Alhamdulillah, ada tambahan Rp300 ribu per bulan,” ucap Husni saat berbincang dengan Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Rutinitas yang dijalani saban hari sama seperti marbut-marbut pada umumnya. Mulai dari membersihkan tempat wudu, toilet, karpet, lantai, dan halaman, hingga turut mengurus semua kegiatan yang diselenggarakan di masjid.

“16 tahun itu bukan waktu yang singkat dan mudah. Ada suka dukanya, itu pasti. Profesi ini sebagai langkah saya mengabdi kepada agama dan masyarakat, tapi juga membuat bangga anak cucu saya,” kata suami dari Hernawati ini.

Seraya duduk di sofa cokelat yang ada di ruang tamu rumahnya, Husni menceritakan awal mula tiba di Palangka Raya. Bersama istrinya Hernawati, merantau dengan membawa serta keempat anak. Semuanya perempuan. Mahrina, Misriati, Mahfudzah, dan si bungsu Khairunisa. Sekeluarga tinggal di permukiman padat Jalan Riau. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka berjualan keliling kue basah buatan sang istri. Nahas, delapan tahun kemudian, kebakaran hebat meluluhlantakkan tempat tinggal yang disewa mereka. Semua perabotan, barang berharga, dan perlengkapan rumah ludes dilahap api. “Cuma sisa baju di badan saja,” kenangnya.

Baca Juga :  Jabatan Komisioner KPU-Bawaslu Segera Berakhir, Diperpanjang atau Buka Seleksi?

Semenjak itu, hidup berpindah-pindah dijalani oleh Husni sekeluarga. Bahkan pernah tinggal bersama anak keduanya yang sudah bersuami. Sampai akhirnya ia mengontrak rumah di Jalan Madang. Husni menyewa becak untuk mencari nafkah di siang hari. Pagi harinya, Husni tetap berjualan keliling kue basah menggunakan sepeda ontel. “Uang hasil itu saya tabung, buat tambahan biaya sekolah si bungsu,” ujar kakek yang dikaruniai dua cucu perempuan dan tujuh cucu laki-laki ini.

Bahkan, Husni bisa membeli becak dan sepeda ontel yang baru. Tidak perlu menyewa lagi.

Namun, cobaan hidup datang lagi. Baru setahun mengais rezeki dengan becak yang dibeli dari hasil menabung, kendaraan roda tiganya itu raib. Hilang di depan rumahnya. Husni tak bisa berbuat apa-apa. Berserah terhadap Yang Kuasa.

Husni tak ingin berlarut dalam kesedihan. Ia tetap berjualan kue keliling. Sampai sepeda ontelnya sudah tampak tua. “Saya akhirnya beli sepeda ontel lagi, agar lebih enak pas dibawa berjualan,” ucap pemilik nama lengkap Muhammad Husni itu.

Baca Juga :  Tiang Masjid Al-Ikhlas dari Kayu Ulin Usia 119 Tahun

Ujian datang kembali. Sepeda baru itu hilang di parkiran Masjid Nurul Islam, saat dirinya menghadiri salat Jumat. “Semenjak itu, saya gak beli sepeda lagi. Pakai sepeda yang lama saja,” tutur Husni mengingat momen itu, sembari tangan kanannya menutupi mulut yang ingin tertawa kecil.

Pada 2006, Husni dipilih sebagai marbut. Menggantikan marbut sebelumnya yang mengundurkan diri. Semenjak menjadi marbut, Husni mulai merasa kehidupannya lebih baik. Lebih tenang. Lebih ikhlas. Anak-anaknya pun sudah mulai tidak berharap uang jajan maupun uang untuk pendidikan. Mahrina dan Mahfudzah sudah menjadi ibu rumah tangga. Misriati sudah menjadi guru di madarasah. Sementara Khairunisa menjadi bidan. “Saat kuliah, si bungsu mendapat beasiswa,” sebutnya.

Ketua Pengurus Masjid Al-Fitrah Hasanudin Nasution menilai sosok Husni sebagai pribadi yang luar biasa kesabarannya. Menjalankan tugas dengan bertanggung jawab. Suka mengayomi. Tidak pernah bermasalah dengan jemaah. Juga tidak banyak menuntut. “Apa yang diberi, diterima. Juga tidak pernah yang namanya meminta-minta,” ucapnya.

Dengan pengabdian Husni sebagai marbut sejak 2006 lalu hingga sekarang ini, Hasanudin berharap ada perhatian lebih dari segi finansial dan lainnya kepada Husni. Sebagai seorang ketua, ia bersama teman-teman pengurus lainnya bertekad untuk memberangkatkan Husni ke Tanah Suci untuk menjalani ibadah umrah. Ini sebagai hadiah dan tanda terima kasih kepada Husni, yang bertahun-tahun lamanya merawat Masjid Al-Fitrah dengan sepenuh hati.

“Insyaallah, kami pengurus berusaha memberangkatkan umrah Pak Husni. Semoga cita-cita kami bisa tercapai dalam waktu dekat,” sebutnya. (ce/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/