Jumat, November 22, 2024
24.6 C
Palangkaraya

52 Tahun Mengabdi untuk Masjid Tua di Palangka Raya

Mereka yang Bertahun-tahun Mengemban Tugas sebagai Marbut (5)

Sejak berusia 18 tahun, niat dan tekadnya sudah bulat. Mengabdikan diri untuk Masjid Nurul Hikmah. Ketulusannya itu terbukti. Sudah 52 tahun lamanya H Abdul Satar mengemban tanggung jawab sebagai marbut salah satu masjid tua di Palangka Raya.

*FAUZANNUR, Palangka Raya

“INI berapa Rina?” tanya H Abdul Satar kepada anak satu-satunya itu. Satar -sapaan akrabnya- saat itu sedang duduk santai di toko. Di hadapannya berdiri dua anak laki-laki sembari menenteng bola, hendak membeli jajanan ringan. H Abdul belum menghafal semua harga barang yang dijual di tempat usahanya itu. Sejurus kemudian, transaksi jual beli itu diambil alih anaknya. Kebetulan saat itu istrinya sedang sibuk memasak.

Pria tua berusia 70 tahun itu kemudian menjemur kerupuk yang mulai mengering, yang tersimpan pada tiga nampan. Kerupuk itu nantinya buat pelengkap menu berbuka puasa jemaah.

Satar merupakan marbut Masjid Nurul Hikmah. Tinggal di rumah sekaligus toko yang berlokasi sekitar masjid di kompleks Palangka Sari Baru, Jalan Darmosugondo, Kota Palangka Raya. Masjid ini merupakan masjid tua yang ada di Kota Cantik in. Dibangun tahun 1960. Sayangnya, ciri khas bangunan awal tak terlihat lagi saat ini. Tak ada lagi menara yang menjulang dan tiang-tiang yang kokoh. Sebab, pada 2013 lalu masjid ini ikut terbakar bersama sejumlah rumah penduduk.

Baca Juga :  180 Jiwa Korban Kebakaran Flamboyan Bawah Mengungsi di Gor KONI

Satar sudah menjadi marbut sejak tahun 1970. 52 tahun lamanya. Saat itu ia masih berusia 18 tahun. Luar biasa pengabdiannya.

Satar merantau dari tanah kelahirannya, Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan pada 1965 lalu. Kala itu statusnya masih bujang. Perjalanan hidupnya di Palangka Raya dimulai dengan menjual es buah di pinggiran jalan sekitar Pasar Besar.

“Tahun 1965 saya berjualan es buah di pinggir jalan. Lalu cari-cari ide kerja apa agar bermanfaat bagi banyak orang. Lalu saya dengar ada masjid yang baru dibangun, tapi tidak ada yang mengurusnya. Nah di situlah saya bertekad untuk merawat masjid itu,” kata bapak satu anak itu kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Kebetulan, lanjutnya, saat masih tinggal di kampung halaman, sehari-hari banyak waktu yang dihabiskannya di masjid. Bukan hal baru baginya untuk menjalani pekerjaan bersih-bersih, menyiapkan keperluan salat jemaah, sampai azan jika salat lima waktu tiba.

Baca Juga :  Wiyatno Ajak Masyarakat Sukseskan Pemilu

Soal gaji, suami dari Hj Arbayah tak terlalu perhitungan. Tidak pernah mematok ataupun meminta-minta. “Saya tidak digaji dan juga tidak minta digaji, karena dari awal sudah niat menjalani itu semata-mata untuk Allah Swt,” ucapnya seraya menyebut bahwa dirinya tetap berjualan es buah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, walau sudah menjadi marbut.

“Memang, terkadang ada warga yang memberi, ya saya tidak bisa menolak,” tuturnya.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Satar membuka usaha kecil-kecilan. Kebetulan mendapat kepercayaan untuk menangani sebuah ruko warisan dari orang tua istrinya. Masih berjalan sampai sekarang. Hasil mengelola usaha itu, Satar dan istri bisa naik haji. Bahkan sudah dua kali. Tahun 1994 dan 1995.

Ketenangan Satar menjalani hari-hari tuanya, tak lepas dari peran satu sosok. Dia adalah istrinya. Keduanya menikah tahun 1974. Benih-benih cinta di antara keduanya tumbuh sejak awal perjumpaan di lapak es buah. “Abah (suami, red) orangnya baik. Kebapak-bapakan, meski usianya masih muda saat itu. Orangnya sederhana dan sangat bertanggung jawab,” sebut sang istri, Hj Arbayah, yang ikut bergabung dalam perbincangan setelah menyelesaikan urusan di dapur. (ce/ram/ko)

Mereka yang Bertahun-tahun Mengemban Tugas sebagai Marbut (5)

Sejak berusia 18 tahun, niat dan tekadnya sudah bulat. Mengabdikan diri untuk Masjid Nurul Hikmah. Ketulusannya itu terbukti. Sudah 52 tahun lamanya H Abdul Satar mengemban tanggung jawab sebagai marbut salah satu masjid tua di Palangka Raya.

*FAUZANNUR, Palangka Raya

“INI berapa Rina?” tanya H Abdul Satar kepada anak satu-satunya itu. Satar -sapaan akrabnya- saat itu sedang duduk santai di toko. Di hadapannya berdiri dua anak laki-laki sembari menenteng bola, hendak membeli jajanan ringan. H Abdul belum menghafal semua harga barang yang dijual di tempat usahanya itu. Sejurus kemudian, transaksi jual beli itu diambil alih anaknya. Kebetulan saat itu istrinya sedang sibuk memasak.

Pria tua berusia 70 tahun itu kemudian menjemur kerupuk yang mulai mengering, yang tersimpan pada tiga nampan. Kerupuk itu nantinya buat pelengkap menu berbuka puasa jemaah.

Satar merupakan marbut Masjid Nurul Hikmah. Tinggal di rumah sekaligus toko yang berlokasi sekitar masjid di kompleks Palangka Sari Baru, Jalan Darmosugondo, Kota Palangka Raya. Masjid ini merupakan masjid tua yang ada di Kota Cantik in. Dibangun tahun 1960. Sayangnya, ciri khas bangunan awal tak terlihat lagi saat ini. Tak ada lagi menara yang menjulang dan tiang-tiang yang kokoh. Sebab, pada 2013 lalu masjid ini ikut terbakar bersama sejumlah rumah penduduk.

Baca Juga :  180 Jiwa Korban Kebakaran Flamboyan Bawah Mengungsi di Gor KONI

Satar sudah menjadi marbut sejak tahun 1970. 52 tahun lamanya. Saat itu ia masih berusia 18 tahun. Luar biasa pengabdiannya.

Satar merantau dari tanah kelahirannya, Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan pada 1965 lalu. Kala itu statusnya masih bujang. Perjalanan hidupnya di Palangka Raya dimulai dengan menjual es buah di pinggiran jalan sekitar Pasar Besar.

“Tahun 1965 saya berjualan es buah di pinggir jalan. Lalu cari-cari ide kerja apa agar bermanfaat bagi banyak orang. Lalu saya dengar ada masjid yang baru dibangun, tapi tidak ada yang mengurusnya. Nah di situlah saya bertekad untuk merawat masjid itu,” kata bapak satu anak itu kepada Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.

Kebetulan, lanjutnya, saat masih tinggal di kampung halaman, sehari-hari banyak waktu yang dihabiskannya di masjid. Bukan hal baru baginya untuk menjalani pekerjaan bersih-bersih, menyiapkan keperluan salat jemaah, sampai azan jika salat lima waktu tiba.

Baca Juga :  Wiyatno Ajak Masyarakat Sukseskan Pemilu

Soal gaji, suami dari Hj Arbayah tak terlalu perhitungan. Tidak pernah mematok ataupun meminta-minta. “Saya tidak digaji dan juga tidak minta digaji, karena dari awal sudah niat menjalani itu semata-mata untuk Allah Swt,” ucapnya seraya menyebut bahwa dirinya tetap berjualan es buah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, walau sudah menjadi marbut.

“Memang, terkadang ada warga yang memberi, ya saya tidak bisa menolak,” tuturnya.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Satar membuka usaha kecil-kecilan. Kebetulan mendapat kepercayaan untuk menangani sebuah ruko warisan dari orang tua istrinya. Masih berjalan sampai sekarang. Hasil mengelola usaha itu, Satar dan istri bisa naik haji. Bahkan sudah dua kali. Tahun 1994 dan 1995.

Ketenangan Satar menjalani hari-hari tuanya, tak lepas dari peran satu sosok. Dia adalah istrinya. Keduanya menikah tahun 1974. Benih-benih cinta di antara keduanya tumbuh sejak awal perjumpaan di lapak es buah. “Abah (suami, red) orangnya baik. Kebapak-bapakan, meski usianya masih muda saat itu. Orangnya sederhana dan sangat bertanggung jawab,” sebut sang istri, Hj Arbayah, yang ikut bergabung dalam perbincangan setelah menyelesaikan urusan di dapur. (ce/ram/ko)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/