PALANGKA RAYA-Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) memasuki hari kedua. Setidaknya delapan cabang lomba dan pertandingan olahraga tradisional telah menemukan juaranya. Sayangnya, event akbar kali ini minim peserta. Salah satunya pertandingan sepak sawut. Olahraga tradisional yang dikenal dengan permainan sepak bola api itu, kali ini hanya diikuti peserta dari empat kabupaten/kota.
Keempat daerah yang ambil bagian kali ini yakni Palangka Raya, Sukamara, Barito Timur, dan Kapuas. Pertandingan digelar di halaman Tanaman Budaya Kalteng, Rabu malam (18/5). Tuan rumah Palangka Raya keluar sebagai juara pertama, disusul Sukamara di peringkat dua, dan Barito Timur di tempat ketiga.
Koordinator panitia sepak sawut, Yerson menyebut, jumlah peserta sepak sawut pada FBIM 2022 berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ia berharap permainan sepak sawut bisa dilestarikan oleh generasi muda Kalteng, sehingga pada FBIM berikutnya ada lebih banyak lagi peserta yang berpartisipasi.
“Kami mengharapkan ke depannya peserta yang ikut tidak hanya wakil dari 14 kabupaten/kota, tapi juga dari perangkat daerah dan kalangan pelajar. Karena FBIM ini digelar bukan hanya untuk memperingati HUT Kalteng, tapi juga sebagai ajang pelestarian budaya,” kata Yerson.
Yerson menjelaskan, permainan sepak sawut dimainkan oleh dua tim. Satu tim beranggota lima pemain dan dua orang cadangan. Permainannya mirip dengan sepak bola pada umumnya. Pemenang ditentukan dengan jumlah gol yang dicetak. Waktu normal pertandingan 2×10 menit. Jika tidak ada gol yang tercipta, maka ada perpanjangan waktu 2×5 menit. Bisa juga dilanjutkan dengan adu penalti, jika selama perpanjangan waktu tak ada gol.
Terkait sejarah dari sepak sawut ini, Yerson menceritakan, pada zaman dahulu terutama di kalangan masyarakat adat suku Dayak Ngaju, permainan sepak sawut ini dilaksanakan saat warga sedang menunggu jenazah. “Dahulu sepak sawut ini dimainkan pada malam hari sewaktu menunggu orang mati ,supaya tidak ada yang tertidur sampai pagi,” cerita Yerson.
Dengan adanya permainan itu, suasana di rumah perkabungan tempat jenazah disemayamkan tetap ramai hingga pagi hari. “Kalau dulu permainan ini menggunakan bola sabut kelapa yang dibakar, tidak dengan tempurungnya,” ujar Yerson.
Diterangkan Yerson, permainan sepak sawut ini memiliki filosofinya. Ketika permainan sepak sawut ini dimainkan, maka mahluk gaib, roh, ataupun kekuatan jahat tidak berani menganggu aktivitas warga yang sedang menunggu jenazah. “Jadi tidak ada ketakutan, karena adanya api, maka hal-hal yang tidak baik bisa disingkirkan,” ujar Yerson. (sja/*irj/*rky/*pwn/ce/ala)