Melihat Geliat UMKM di Palangka Raya Pascapandemi (2)
Tak semua orang mau memanfaatkan barang-barang sisa. Selain capek mikir, juga capek mengerjakan. Namun tidak bagi Dian Purnamawati. Kain-kain perca sisa ia kumpulkan, lalu menyulapnya menjadi barang yang bernilai jual.
*FAUZANNUR, Palangka Raya
RUANG tengah rumahnya di Jalan Putri Karindang II, RTA Milono Palangka Raya menjadi tempat kerja. Tiga mesin jahit dan mesin bordir ditempatkan berjejer. Di ruang berukuran 3×3 meter itu, ada setumpuk kain yang tersimpan dalam karung berwarna putih. Dilihat lebih detail, itu hanya potongan kain polos dan kain perca khas Kalteng. Awalnya saya (penulis, red) mengira itu merupakan kain yang tak berguna. Eh, ternyata itulah bahan utamanya.
Ya, Dian merupakan pengrajin yang menyulap kain-kain sisa menjadi bahan yang bernilai jual. Kain-kain sisa itu dibelinya dari tukang jahit di pasar. Satu karung seharga Rp50 ribu. Lalu diolah sedemikian rupa, dijadikan bermacam-macam barang, seperti sarung bantal, hiasan dinding, tas, dan keranjang belanja yang menjadi kampanyenya dalam mengurangi sampah plastik.
Pemilik nama lengkap Dian Purnamawati itu sudah menekuni pekerjaan itu sejak 2017 lalu. Kini usahanya sudah maju pesat. Pesanan datang dari mana-mana. Pelanggannya tak hanya dari kota ini, melainkan sampai Pulau Jawa.
“Saya menekuni kerajinan ini sudah lima tahun lebih. Awalnya cuman hobi, memanfaatkan kain sisa di rumah untuk dijadikan sarung bantal. Setelah itu saya coba produksi. Eh, ternyata ada yang beli,” ungkap Dian saat ditemui beberapa hari lalu.
Pemasaran produknya biasa dilakukan melalui mulut ke mulut, mengikuti pameran, melalui laman marketplace, maupun media sosial. Rata-rata karya tangannya dibanderol Rp300 ribu hingga Rp500 ribu. Tergantung motif dan kerumitan menyusun kain perca.
Untuk proses pembuatan sendiri, potongan-potongan kain sisa terlebih dahulu dipilah. Dengan begitu ia bisa menemukan kain yang bagus untuk dikombinasikan. Kemudian diukur sesuai kebutuhan, lalu disambung dan dijahit sesuai pola yang ingin dibuat. Rata-rata proses pengerjaannya memakan waktu satu minggu. Wajar saja, karena semua dikerjakannya sendiri. Tak ada karyawan yang bisa membantunya menyelesaikan pesanan konsumen.
Inovasi yang dilakukan ibu rumah tangga berusia 47 tahun itu juga mendapat apresiasi saat mengikuti perlombaan. Salah satunya lomba Inovasi Daerah Palangka Raya. Awalnya ia tak percaya bisa menyabet juara. Hingga sampai pada hari pengumuman, ia mendapat telepon dari pihak panitia, memintanya untuk hadir pada acara pengumuman juara. Kerajinan tangannya ternyata menjadi yang terbaik menurut penilaian juri.
“Ketika juara diumumkan, nama saya keluar sebagai juara 1. Saking masih enggak percaya, sampai-sampai saya nanya ke ibu yang duduk di sebelah saya. Saya bilang; beneran nama saya yang dipanggil,” ujarnya sembari mengenang momen bahagia saat itu.
“Sebelumnya saya juga pernah menjuarai lomba membatik di Kota Cantik ini,” tambah ibu satu anak kelahiran Bangka Belitung itu. (bersambung/ce/ram/ko)