Minggu, September 29, 2024
24.4 C
Palangkaraya

Ketika Bisnis VCD Masih Bertahan di Era Digital

Ada Pelanggan Tetap, VCD Musik dan Film Kartun Diminati

Bagi remaja era 90 an hingga awal tahun 2000 piringan VCD menjadi satu-satunya akses untuk mendengar musik dan menonton film. Kemajuan zaman dan perkembangan era digital memudahkan untuk mendapatkan akses melalui berbagai platform media sosial. Meskipun demikian, hingga kini masih ada pelaku usaha penjualan VCD yang masih bertahan.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

SYARIFAH bersikukuh meneruskan usahanya menjual piringan kaset VCD di tengah kemudahan orang mengakses tontonan seperti saat ini. Wanita 42 tahun itu enggan banting setir dari usaha yang telah ditekuninya belasan tahun itu dengan alasan masih ada yang meminati VCD di tengah kemudahan mengakses tontonan zaman sekarang. Tidak bisa dipungkiri pembeli memang tak sebanyak dulu, namun Syarifah punya strategi agar jualannya tetap laku.

Sejak tahun 2007 Syarifah tak pernah beringsut dari toko kecil yang terletak di dalam Pasar Besar areal khusus menjual produk daging. Bukan daging yang dijual, tapi toko kecil itu ia isi dengan berdagang kaset VCD, DVD, dan MP3. Sejak itu hingga sekarang ia tetap berjualan produk yang sama. Produk hiburan tahun 2000-an. Sejak 2008 itu pula Syarifah berjualan produk CD di toko yang dulu ia gunakan untuk menjual sayur-mayur itu.

“Sejak tahun 2007 saya pindah jualan kaset karena sayur-mayur waktu itu mahal,” tutur Syarifah saat berbincang dengan Kalteng Pos, Jumat (14/10).

Perjalanannya mempertahankan usaha terbilang tidak mudah dan penuh tantangan. Syarifah mengatakan sejak ia mulai berjualan kaset 2007 lalu, ia sudah mengalami naik turun jumlah pembeli setiap tahunnya. Apalagi, ia ikut terkena imbas pandemi pada 2019 lalu yang membuat usahanya hampir gulung tikar. Diceritakannya, penjualan kaset terbilang cukup laku sebelum pandemi melanda. Memang, diakuinya, memasuki dekade ke-2 tahun 2000, pembeli tak sebanyak ketika awal ia merintis usaha dulu.

“Sejak sebelum pandemi ramai saja, meski tak seramai di tahun-tahun awal merintis usaha dulu. Pas pandemi itu meredup, bahkan sempat sehari tidak pernah ada pembeli sama sekali,” tuturnya.

“Hampir gulung tikar sebab itu,” imbuhnya.

Tahun 2020 menjadi tahun sial baginya. Pandemi yang menyebabkan perdagangan sepi akibat banyak orang beraktivitas di dalam rumah, membuat pembeliannya menurun drastis. Dari yang sebelumnya memang sudah menurun akibat akses hiburan yang lebih mudah didapat lewat gawai. Namun, hal itu tidak menyurutkan pendiriannya untuk mempertahankan usahanya. Ketika ditanya mengapa ia bersikukuh meneruskan usaha itu.

“Belum ada alasan kuat (menutup usaha). Karena dibilang sepi kadang tetap ada yang beli, mau tutup jadi serbasalah karena itu tadi,” ucapnya.

Kendati terbilang hiburan lawas, Syarifah mengungkapkan sehari-harinya tetap ada saja pembeli yang meminati jualannya. Bahkan ada pelanggan tetap (langganan) yang sering membeli kaset CD di tempatnya. Ia bisa saja memperoleh laba Rp.100 ribu sampai Rp.500 ribu dalam sehari. “Bisa saja tidak ada. Paling apesnya itu kalau tidak ada yang beli,” tuturnya.

Namun, sejak 2020 sampai sekarang terjadi pengurangan keuntungan dari yang di tahun bawah itu ia bisa mendapatkan untung lebih banyak dari untung rata-rata yang ia peroleh saat ini. Perubahan tetaplah ada. Terjadi pergeseran selera kaset. Di tengah kemudahan terhadap akses tontonan seperti saat ini, produk kaset film yang ia jual tidak laku. Mengimpor dari Banjarmasin, ia membeli produk kaset yang laku sekarang saja seperti kaset berisikan lagu-lagu lawas dan kaset berisikan kartun anak-anak.

“Kaset perfilman tidak laku, tapi kaset lagu-lagu, sama kaset kartun, itu yang laku, makanya saya perbanyak jualan kaset jenis itu,” ucapnya.

Dalam menyiasati agar usahanya tetap bertahan, ia tidak berjualan kaset tok, tetapi juga alat elektronik lain yang saat ini masih dibutuhkan masyarakat seperti remote televisi, kabel televisi, alat karaoke, dan alat elektronik hiburan lainnya. “Kalau hanya mengharapkan dari kaset saja, sudah dari kemarin-kemarin saya gulung tikar,” celetuknya.

Toko kaset itu ia buka dari pagi jam 07.00 Wib sampai sore jam 15.00 Wib. Toko kasetnya sering ramai pembeli saat pagi pukul 07.00 Wib sampai 11.00 Wib dengan kalangan usia berkisar antara 35-40 tahunan. Kebanyakan yang membeli kaset juga orang-orang pemilik mobil yang membutuhkan kaset berisi lagu-lagu.

“Kadang ada yang lewat toko ini, trus ‘oh ini ada kaset’, lalu mereka singgah untuk beli kaset di sini,” tutur wanita anak tiga itu sambil menirukan pembeli.

Untuk ke depannya, Syarifah bersikukuh untuk tetap mempertahankan dagangannya, sebab, selain tidak adanya alasan yang kuat untuk gulung tikar, ia juga menyenangi pekerjaan berdagang, khususnya berdagang kaset sebagai usaha yang telah dijalankannya selama belasan tahun. (*/ala)

Bagi remaja era 90 an hingga awal tahun 2000 piringan VCD menjadi satu-satunya akses untuk mendengar musik dan menonton film. Kemajuan zaman dan perkembangan era digital memudahkan untuk mendapatkan akses melalui berbagai platform media sosial. Meskipun demikian, hingga kini masih ada pelaku usaha penjualan VCD yang masih bertahan.

AKHMAD DHANI, Palangka Raya

SYARIFAH bersikukuh meneruskan usahanya menjual piringan kaset VCD di tengah kemudahan orang mengakses tontonan seperti saat ini. Wanita 42 tahun itu enggan banting setir dari usaha yang telah ditekuninya belasan tahun itu dengan alasan masih ada yang meminati VCD di tengah kemudahan mengakses tontonan zaman sekarang. Tidak bisa dipungkiri pembeli memang tak sebanyak dulu, namun Syarifah punya strategi agar jualannya tetap laku.

Sejak tahun 2007 Syarifah tak pernah beringsut dari toko kecil yang terletak di dalam Pasar Besar areal khusus menjual produk daging. Bukan daging yang dijual, tapi toko kecil itu ia isi dengan berdagang kaset VCD, DVD, dan MP3. Sejak itu hingga sekarang ia tetap berjualan produk yang sama. Produk hiburan tahun 2000-an. Sejak 2008 itu pula Syarifah berjualan produk CD di toko yang dulu ia gunakan untuk menjual sayur-mayur itu.

“Sejak tahun 2007 saya pindah jualan kaset karena sayur-mayur waktu itu mahal,” tutur Syarifah saat berbincang dengan Kalteng Pos, Jumat (14/10).

Perjalanannya mempertahankan usaha terbilang tidak mudah dan penuh tantangan. Syarifah mengatakan sejak ia mulai berjualan kaset 2007 lalu, ia sudah mengalami naik turun jumlah pembeli setiap tahunnya. Apalagi, ia ikut terkena imbas pandemi pada 2019 lalu yang membuat usahanya hampir gulung tikar. Diceritakannya, penjualan kaset terbilang cukup laku sebelum pandemi melanda. Memang, diakuinya, memasuki dekade ke-2 tahun 2000, pembeli tak sebanyak ketika awal ia merintis usaha dulu.

“Sejak sebelum pandemi ramai saja, meski tak seramai di tahun-tahun awal merintis usaha dulu. Pas pandemi itu meredup, bahkan sempat sehari tidak pernah ada pembeli sama sekali,” tuturnya.

“Hampir gulung tikar sebab itu,” imbuhnya.

Tahun 2020 menjadi tahun sial baginya. Pandemi yang menyebabkan perdagangan sepi akibat banyak orang beraktivitas di dalam rumah, membuat pembeliannya menurun drastis. Dari yang sebelumnya memang sudah menurun akibat akses hiburan yang lebih mudah didapat lewat gawai. Namun, hal itu tidak menyurutkan pendiriannya untuk mempertahankan usahanya. Ketika ditanya mengapa ia bersikukuh meneruskan usaha itu.

“Belum ada alasan kuat (menutup usaha). Karena dibilang sepi kadang tetap ada yang beli, mau tutup jadi serbasalah karena itu tadi,” ucapnya.

Kendati terbilang hiburan lawas, Syarifah mengungkapkan sehari-harinya tetap ada saja pembeli yang meminati jualannya. Bahkan ada pelanggan tetap (langganan) yang sering membeli kaset CD di tempatnya. Ia bisa saja memperoleh laba Rp.100 ribu sampai Rp.500 ribu dalam sehari. “Bisa saja tidak ada. Paling apesnya itu kalau tidak ada yang beli,” tuturnya.

Namun, sejak 2020 sampai sekarang terjadi pengurangan keuntungan dari yang di tahun bawah itu ia bisa mendapatkan untung lebih banyak dari untung rata-rata yang ia peroleh saat ini. Perubahan tetaplah ada. Terjadi pergeseran selera kaset. Di tengah kemudahan terhadap akses tontonan seperti saat ini, produk kaset film yang ia jual tidak laku. Mengimpor dari Banjarmasin, ia membeli produk kaset yang laku sekarang saja seperti kaset berisikan lagu-lagu lawas dan kaset berisikan kartun anak-anak.

“Kaset perfilman tidak laku, tapi kaset lagu-lagu, sama kaset kartun, itu yang laku, makanya saya perbanyak jualan kaset jenis itu,” ucapnya.

Dalam menyiasati agar usahanya tetap bertahan, ia tidak berjualan kaset tok, tetapi juga alat elektronik lain yang saat ini masih dibutuhkan masyarakat seperti remote televisi, kabel televisi, alat karaoke, dan alat elektronik hiburan lainnya. “Kalau hanya mengharapkan dari kaset saja, sudah dari kemarin-kemarin saya gulung tikar,” celetuknya.

Toko kaset itu ia buka dari pagi jam 07.00 Wib sampai sore jam 15.00 Wib. Toko kasetnya sering ramai pembeli saat pagi pukul 07.00 Wib sampai 11.00 Wib dengan kalangan usia berkisar antara 35-40 tahunan. Kebanyakan yang membeli kaset juga orang-orang pemilik mobil yang membutuhkan kaset berisi lagu-lagu.

“Kadang ada yang lewat toko ini, trus ‘oh ini ada kaset’, lalu mereka singgah untuk beli kaset di sini,” tutur wanita anak tiga itu sambil menirukan pembeli.

Untuk ke depannya, Syarifah bersikukuh untuk tetap mempertahankan dagangannya, sebab, selain tidak adanya alasan yang kuat untuk gulung tikar, ia juga menyenangi pekerjaan berdagang, khususnya berdagang kaset sebagai usaha yang telah dijalankannya selama belasan tahun. (*/ala)

Artikel Terkait