Senin, November 25, 2024
24.2 C
Palangkaraya

Mau Entaskan Kemiskinan di Kalteng, Ini Kata Pengamat

PALANGKA RAYA-Kemiskinan menjadi perhatian serius pemerintah provinsi (pemprov) bersama pemerintah kabupaten/kota di Bumi Tambun Bungai. Perlu rencana, strategi, serta kerja keras untuk menuntaskan masalah kemiskinan. Hal itu ditegaskan Wakil Gubernur (Wagub) Kalteng H Edy Pratowo saat membuka rakor penanggulangan kemiskinan di Aula Serbaguna Bappedalitbang, Senin (28/11/2022).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kondisi penduduk miskin di Kalteng selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Tahun 2020 (Maret 2020) sebesar 4,82 % atau 134,594 ribu jiwa; Tahun 2021 (September 2021) sebesar 5,16 % atau 141,03 ribu jiwa; Tahun 2022 (Maret 2022) sebesar 5,28 % atau 145,10 ribu jiwa.

“Memperhatikan kondisi itu, saya minta kepada Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi (TKPK) Kalteng serta wakil wali kota dan wakil bupati se-Kalteng selaku ketua TKPK kabupaten/kota, untuk terus berperan aktif mengoordinasikan dan merencanakan program/kegiatan penanggulangan kemiskinan secara realistis dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi bersama,” ucap Edy Pratowo.

Untuk mewujudkan penurunan kemiskinan, dibutuhkan komitmen bersama dan kerja keras berbagai pihak terkait melalui upaya-upaya menyinergikan program pusat dan daerah, sinergi antarsektor pembangunan, termasuk percepatan penyerapan dana pembangunan.

“Dengan makin tingginya sinergi dan harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah, swasta, dan masyarakat, serta didukung potensi sumber daya alam Kalimantan Tengah yang melimpah, insyaallah dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalteng,” katanya sembari menyebut beberapa upaya penanggulangan kemiskinan.

Salah satunya melalui kebijakan subsidi pemerintah yang dinilai dapat meringankan beban masyarakat akan kebutuhan dasar, seperti program perlindungan sosial berupa Program Beras Sejahtera (Rastera), Bantuan Siswa Miskin (BSM), atau Kartu Indonesia Pintar (KIP), Jamkesmas atau Kartu Indonesia Sehat (KIS), Jamkesda yang dialokasikan di tiap 4 kabupaten/kota, Program Keluarga Harapan (PKH) dan Beasiswa Kalteng BERKAH, serta program pemberdayaan masyarakat miskin.

Baca Juga :  Dorong Atlet Dayung Kobar Berprestasi

Melihat masalah kemiskinan ini, Dr Fitria Husnatarina SE MSi selaku pengamat ekonomi mengatakan, angka kemiskinan di Kalteng persis sama dengan yang dialami secara nasional. Daerah lain juga mengalami peningkatan angka kemiskinan. Hal ini terjadi karena dua tahun terakhir Kalteng mengalami pergolakan ekonomi dan terjadi pemecatan buruh secara besar-besaran.

“Kalau kemudian ada pemecatan, berarti kapasitas untuk daya beli itu berkurang, kalau daya beli masyarakat berkurang, berarti produk itu sebenarnya tidak banyak menghasilkan profit lagi bagi pelaku bisnis, sehingga menjadi pemicu pemecatan, hal yang sama juga dialami daerah lain, bukan cuma di Kalteng,” beber Fitria kepada Kalteng Pos, Selasa (29/11/2022).

Berkaca dari bagaimana sektor kerja formal dan informal yang disinyalir mulai bangkit saat ini, dosen ekonomi itu menganggap data mengenai itu belum cukup signifikan. Apalagi dengan anggapan bahwa perusahaan-perusahaan yang sudah mulai bergerak akan merekrut kembali kembali karyawan-karyawannya. Menurutnya tidak semua perusahaan dapat mengambil kebijakan demikian.

“Apalagi kalau kita bicara perusahaan-perusahaan yang mulai bergerak itu akan merekrut kembali, misalnya perusahaan sawit atau perusahaan tambang, tidak sepenuhnya akan mencari karyawan, jadi sebelumnya yang dipecat atau dirumahkan, tidak sepenuhnya akan dipanggil kembali, sehingga daya beli masyarakat rendah. Nah, daya beli masyarakat ini menjadi indikator tingkat kemiskinan suatu daerah,” jelasnya.

Menurut Fitria, sebaiknya kebijakan untuk menurunkan kemiskinan itu mulai dipikirkan dan dilihat baik, agar bagaimana pemberian bantuan atau jaring pengaman sosial lebih banyak diberikan kepada pelaku bisnis selaku penggerak ekonomi.

Baca Juga :  Dukung Aparat Berantas Mafia Tanah di Kalteng

“Kalau kondisi mulai aman untuk berproduksi dan melakukan manufakturing yang membutuhkan atau menyerap banyak tenaga kerja, kita harus mulai melirik ke sana, atau setidaknya kalau memang tidak bisa kita lakukan dalam kapasitas yang besar seperti itu, mari kita support pelaku-pelaku UMKM, bantu mereka dari sisi bahan baku, bantu dari sisi rantai pasok, bantu dari sisi proses, bantu dengan stimulus lainnya sehingga mempunyai kapasitas dan kualitas yang baik,” jelasnya.

Penyelesaian kemiskinan harus dilihat dari kelompok terkecil yaitu keluarga. Ketika sebuah keluarga berdaulat secara ekonomi, maka kemiskinan bisa diatasi. Maka dari itu, lanjut Fitria, membuat lapangan pekerjaan di sisi informal untuk membangun mindset bisnis dari keluarga adalah kunci menurunkan kemiskinan, karena dapat menciptakan sebuah keluarga yang berdaulat secara ekonomi. “Ini yang kemudian harus coba dimotivasi oleh pemerintah atau pihak yang berkepentingan,” tuturnya.

Lebih lanjut Fitria menjelaskan, ketika keluarga bisa berdaulat secara ekonomi dari kapasitas aktivitas bisnis kecil yang dijalankan oleh keluarga, akan jauh lebih baik untuk menurunkan kemiskinan.

“Apa inisiasi kita bersama di sana agar masyarakat punya kedaulatan ekonomi dan tidak miskin lagi. Ya, membangun mindset bisnis dan kreativitas berdasarkan potensi masing-masing keluarga. Jadi jangan latah kalau keluarga yang satu buka warung, lalu semua buka warung, atau yang satu jual gorengan, semua ikut-ikutan jual, kita harus punya produk yang saling komplemen alias melengkapi,” pungkasnya. (dan/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Kemiskinan menjadi perhatian serius pemerintah provinsi (pemprov) bersama pemerintah kabupaten/kota di Bumi Tambun Bungai. Perlu rencana, strategi, serta kerja keras untuk menuntaskan masalah kemiskinan. Hal itu ditegaskan Wakil Gubernur (Wagub) Kalteng H Edy Pratowo saat membuka rakor penanggulangan kemiskinan di Aula Serbaguna Bappedalitbang, Senin (28/11/2022).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kondisi penduduk miskin di Kalteng selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Tahun 2020 (Maret 2020) sebesar 4,82 % atau 134,594 ribu jiwa; Tahun 2021 (September 2021) sebesar 5,16 % atau 141,03 ribu jiwa; Tahun 2022 (Maret 2022) sebesar 5,28 % atau 145,10 ribu jiwa.

“Memperhatikan kondisi itu, saya minta kepada Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi (TKPK) Kalteng serta wakil wali kota dan wakil bupati se-Kalteng selaku ketua TKPK kabupaten/kota, untuk terus berperan aktif mengoordinasikan dan merencanakan program/kegiatan penanggulangan kemiskinan secara realistis dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi bersama,” ucap Edy Pratowo.

Untuk mewujudkan penurunan kemiskinan, dibutuhkan komitmen bersama dan kerja keras berbagai pihak terkait melalui upaya-upaya menyinergikan program pusat dan daerah, sinergi antarsektor pembangunan, termasuk percepatan penyerapan dana pembangunan.

“Dengan makin tingginya sinergi dan harmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah, swasta, dan masyarakat, serta didukung potensi sumber daya alam Kalimantan Tengah yang melimpah, insyaallah dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Kalteng,” katanya sembari menyebut beberapa upaya penanggulangan kemiskinan.

Salah satunya melalui kebijakan subsidi pemerintah yang dinilai dapat meringankan beban masyarakat akan kebutuhan dasar, seperti program perlindungan sosial berupa Program Beras Sejahtera (Rastera), Bantuan Siswa Miskin (BSM), atau Kartu Indonesia Pintar (KIP), Jamkesmas atau Kartu Indonesia Sehat (KIS), Jamkesda yang dialokasikan di tiap 4 kabupaten/kota, Program Keluarga Harapan (PKH) dan Beasiswa Kalteng BERKAH, serta program pemberdayaan masyarakat miskin.

Baca Juga :  Dorong Atlet Dayung Kobar Berprestasi

Melihat masalah kemiskinan ini, Dr Fitria Husnatarina SE MSi selaku pengamat ekonomi mengatakan, angka kemiskinan di Kalteng persis sama dengan yang dialami secara nasional. Daerah lain juga mengalami peningkatan angka kemiskinan. Hal ini terjadi karena dua tahun terakhir Kalteng mengalami pergolakan ekonomi dan terjadi pemecatan buruh secara besar-besaran.

“Kalau kemudian ada pemecatan, berarti kapasitas untuk daya beli itu berkurang, kalau daya beli masyarakat berkurang, berarti produk itu sebenarnya tidak banyak menghasilkan profit lagi bagi pelaku bisnis, sehingga menjadi pemicu pemecatan, hal yang sama juga dialami daerah lain, bukan cuma di Kalteng,” beber Fitria kepada Kalteng Pos, Selasa (29/11/2022).

Berkaca dari bagaimana sektor kerja formal dan informal yang disinyalir mulai bangkit saat ini, dosen ekonomi itu menganggap data mengenai itu belum cukup signifikan. Apalagi dengan anggapan bahwa perusahaan-perusahaan yang sudah mulai bergerak akan merekrut kembali kembali karyawan-karyawannya. Menurutnya tidak semua perusahaan dapat mengambil kebijakan demikian.

“Apalagi kalau kita bicara perusahaan-perusahaan yang mulai bergerak itu akan merekrut kembali, misalnya perusahaan sawit atau perusahaan tambang, tidak sepenuhnya akan mencari karyawan, jadi sebelumnya yang dipecat atau dirumahkan, tidak sepenuhnya akan dipanggil kembali, sehingga daya beli masyarakat rendah. Nah, daya beli masyarakat ini menjadi indikator tingkat kemiskinan suatu daerah,” jelasnya.

Menurut Fitria, sebaiknya kebijakan untuk menurunkan kemiskinan itu mulai dipikirkan dan dilihat baik, agar bagaimana pemberian bantuan atau jaring pengaman sosial lebih banyak diberikan kepada pelaku bisnis selaku penggerak ekonomi.

Baca Juga :  Dukung Aparat Berantas Mafia Tanah di Kalteng

“Kalau kondisi mulai aman untuk berproduksi dan melakukan manufakturing yang membutuhkan atau menyerap banyak tenaga kerja, kita harus mulai melirik ke sana, atau setidaknya kalau memang tidak bisa kita lakukan dalam kapasitas yang besar seperti itu, mari kita support pelaku-pelaku UMKM, bantu mereka dari sisi bahan baku, bantu dari sisi rantai pasok, bantu dari sisi proses, bantu dengan stimulus lainnya sehingga mempunyai kapasitas dan kualitas yang baik,” jelasnya.

Penyelesaian kemiskinan harus dilihat dari kelompok terkecil yaitu keluarga. Ketika sebuah keluarga berdaulat secara ekonomi, maka kemiskinan bisa diatasi. Maka dari itu, lanjut Fitria, membuat lapangan pekerjaan di sisi informal untuk membangun mindset bisnis dari keluarga adalah kunci menurunkan kemiskinan, karena dapat menciptakan sebuah keluarga yang berdaulat secara ekonomi. “Ini yang kemudian harus coba dimotivasi oleh pemerintah atau pihak yang berkepentingan,” tuturnya.

Lebih lanjut Fitria menjelaskan, ketika keluarga bisa berdaulat secara ekonomi dari kapasitas aktivitas bisnis kecil yang dijalankan oleh keluarga, akan jauh lebih baik untuk menurunkan kemiskinan.

“Apa inisiasi kita bersama di sana agar masyarakat punya kedaulatan ekonomi dan tidak miskin lagi. Ya, membangun mindset bisnis dan kreativitas berdasarkan potensi masing-masing keluarga. Jadi jangan latah kalau keluarga yang satu buka warung, lalu semua buka warung, atau yang satu jual gorengan, semua ikut-ikutan jual, kita harus punya produk yang saling komplemen alias melengkapi,” pungkasnya. (dan/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/