Sabtu, November 23, 2024
30.3 C
Palangkaraya

Paradigma dan Visi Guru Penggerak

Oleh: Yogyantoro

PROGRAM Pendidikan Guru Penggerak (PPGP) sebagai program pendidikan kepemimpinan bagi guru selama enam hingga sembilan bulan untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Saat ini telah berjalan di angkatan ke- 6 dan 7 sejak dibuka oleh Mendikbudristek, Nadiem Makariem pada 15 Oktober 2020 lalu.

Melalui program ini diharapkan lahir guru penggerak yang dapat menerapkan visi guru penggerak, menanamkan nilai-nilai kebajikan universal dan menciptakan lingkungan positif.  Lingkungan positif adalah tempat terbaik untuk persemaian budaya positif di sekolah sehingga dapat menciptakan sebanyak-banyaknya pemelajar sepanjang hayat.

Menjadi guru penggerak artinya siap menjadi pemimpin sekolah (instructional leader) yang fokus pada pembelajaran dengan menyinergikan berbagai elemen yang berpihak pada murid agar murid kita dapat berkembang baik dalam cipta (kognitif), rasa, karsa (afektif) dan karya (psikomotorik).

Oleh karena itu, melalui pendekatan siklus inkuri dengan banyak melakukan refleksi dan praktik langsung, calon guru penggerak (CGP) belajar untuk melakukan pengembangan terhadap diri dan orang lain, pengembangan pembelajaran, pengembangan manajemen sekolah dan pengembangan sekolah. Hal-hal tersebut dilandaskan pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) seperti Standar Kompetensi kelulusan, Standar Pengelolaan Pendidikan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan Standar Proses.

Modul 1.1 Refleksi filosofis pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara adalah refleksi kritis untuk menjadi pemimpin pembelajaran yang mengajarkan kepada CGP bagaimana mengidentifikasi kebutuhan peningkatan kompetensi dan kematangan diri demi mendukung pembelajaran murid.

Pemimpin pembelajaran yang dimaksudkan adalah yang mengupayakan terwujudnya sekolah sebagai pusat pengembangan karakter. Relevansinya terhadap penerapan pendidikan abad ke-21 adalah pada kontek budaya lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur sosial dan budaya di tempat asal. Kontekstualisasi filosofi pendidikan KHD mengajarkan tentang budi pekerti, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani.

Maka pada Modul 1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak menekankan pada nilai-nilai kebajikan yang sifatnya universal yang dapat dijadikan landasan bersama (common ground). Nilai-nilai yang perlu ditanamkan dalam diri guru penggerak antara lain berpihak pada murid, reflektif (daya saing), mandiri (daya lenting), kolaboratif (daya sanding) dan inovatif (daya lentur).

Berbekal nilai-nilai yang telah dimiliki akan membuat manusia atau guru penggerak dapat menjalankan peran sebagai guru penggerak serta menjadi tergerak dan bergerak dan semakin menghayati bagaimana menggerakkan manusia lainnya.

CGP dapat tergerak dengan memahami cara kerja otak, 5 (lima) kebutuhan manusia dan tahap tumbuh kembang anak. CGP dapat bergerak dengan memahami teori pilihan,motivasi intrinsik, nilai-nilai guru penggerak dan profil pelajar Pancasila. Selanjutnya CGP dapat menggerakkan manusia dengan kemampuan berpikir strategis dengan menguatkan lingkaran pengaruh.

Baca Juga :  BDR melalui TV Digital

Selanjutnya pada Modul 1.3 Visi Guru Penggerak, CGP menggunakan paradigma sekaligus model manajemen perubahan dalam mewujudkan visi guru penggerak dalam menggerakkan hati lebih banyak pihak hingga kemudian mengundang upaya kolaboratif demi terwujud perubahan penting dan berkesinambungan melalui inkuiri apresiatif. Salah satunya adalah upaya membawa perubahan budaya sekolah yang berarti merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah.

Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga seorang guru perlu mengusahakan agar sekolah dapat menjadi lingkungan yang menyenangkan, aman, nyaman untuk bertumbuh dan melindungi murid dari hal-hal yang kurang bermanfaat atau bahkan mengganggu perkembangan potensi murid.

Pada Modul 1.4 Budaya Positif dijelaskan bahwa peraturan kelas yang selanjutnya bertransformasi menjadi keyakinan kelas dapat mendukung terwujudnya lingkungan positif dan akhirnya dapat menciptakan budaya yang positif. Keyakinan kelas dapat menumbuhkan disiplin positif karena motivasi yang timbul tidak terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah melainkan timbul karena tujuan mulia.

Motivasi yang dimunculkan adalah motivasi intrinsik yaitu nilai-nilai kebajikan universal. Pemberian hukuman dan penghargaan dalam upaya menegakkan disiplin disebut sebagai identitas gagal. Maka mengganti dengan restitusi yaitu proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi dari masalah mereka sendiri,seperti menanyakan tentang apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain disebut sebagai identitas sukses.

 

Langkah dan Strategi Budaya Positif

CGP perlu menerapkan langkah dan strategi yang efektif, konkret dan realistis untuk mewujudkan budaya positif di sekolah. Peran yang dapat CGP lakukan diantaranya dengan menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia, posisi kontrol diri, keyakinan sekolah atau kelas dan segitiga restitusi.

CGP dapat memulai dari diri dengan membiasakan diri mengambil kontrol diri sebagi manajer atau among. Selanjutnya CGP akan menciptakan lingkungan yang memfasilitasi bagi para pemelajar sepanjang hayat dengan berperan dalam menggerakkan komunitas sekolah. Selain itu CGP perlu merubah paradigma stimulus respon yang masih menjadi miskonsepsi yang terjadi di kehidupan sehari-hari menjadi teori kontrol yang berlandaskan nilai-nilai kebajikan universal.

Hal yang sudah baik yang terjadi adalah konsep-konsep inti seperti kebutuhan dasar, teori disiplin positif, posisi kontrol guru dan segitiga restitusi dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di sekolah. Hal-hal yang perlu diperbaiki diantaranya masih adanya hukuman yang berlaku pada sebuah institusi (sekolah) yang membuat sistem tidak akan berjalan bila murid tidak takut.

Baca Juga :  Pelajaran dari Kerusuhan Prancis

Keberadaan hukuman juga mengontrol murid dengan penguatan negatif atau seperti membayar impas. Selain itu masih berlakunya pola konsekuensi dengan supervisi berkelanjutan, yang menuntut murid menghormati peraturan. Meskipun konsekuensi mengontrol murid dengan penguatan yang positif, hal ini belum mencapai tahapan yang kita harapkan yaitu kontrol guru sebagai manajer.

Guru saat ini kadang-kadang masih menurunkan daya tawar ke posisi kontrol guru sebagai pemantau atau teman. Bagi penulis hal tersebut menandakan posisi guru masih berada di lingkaran perhatian (di luar kendaraan) atau lingkaran kepedulian (di kursi penumpang) dan belum berada di lingkaran pengaruh. Lingkaran perhatian dan lingkaran kepedulian sejatinya belum dapat dikatakan mampu membuat sebuah perubahan. Oleh karena itu CGP perlu memperkuat relasi, komunikasi, kolaborasi dan kontribusi baik dengan diri sendiri, orang lain, institusi dan masyarakat agar dapat memiliki lingkaran pengaruh yang bersifat menggerakkan.

Murid dengan guru sebagai pemantau hanya akan menyesuaikan bila mendapat pengawasan. Posisi kontrol guru sebagai pemantau juga masih meletakkan guru dan peraturan di dunia berkualitas. Sedangkan kontrol guru sebagai teman hanya akan menimbulkan ketergantungan murid terhadap guru.

Setelah mempelajari Modul 1.4, CGP seyogyanya dapat semakin konsisten dengan keteladanan, nilai atau identitas dan keyakinan, perilaku atau softskill (88% bawah sadar) serta kebiasaan yang secara sadar (12 %) sebagaimana tercantum dalam Diagram Identitas Gunung Es untuk menerapkan perilaku kontrol diri sebagai among atau manajer. Selanjutnya apabila ditemukan adanya kasus pelanggaran peraturan oleh murid atau perilaku murid yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan maka dapat diidentifikasi bahwa murid tersebut gagal memenuhi salah satu dari kelima kebutuhan dasar manusia (modul 1.2) sehinga dapat diterapkan segitiga restitusi.

Pendekatan restitusi sendiri berpusat pada murid, bersifat memerdekakan dan memandirikan murid. Menurut penulis ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif selain merujuk pada konsep-konsep yang disampaikan dalam modul diantaranya konsep pendidikan inklusif dan penguatan literasi.

Akhirnya, semoga pendidikan kita dapat diarahkan untuk pengembangan kepribadian, bakat, mental dan fisik murid sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat 1 United Nations Convention on the Rights of Child. Salam Guru Penggerak, Salam Selamat dan Bahagia.(*)

 *Penulis adalah Fasilitator Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 7

** Sebuah Tinjauan Kritis dan Analitis Koneksi Antar Materi Modul 1 Pendidikan Guru Penggerak

 

 

Oleh: Yogyantoro

PROGRAM Pendidikan Guru Penggerak (PPGP) sebagai program pendidikan kepemimpinan bagi guru selama enam hingga sembilan bulan untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Saat ini telah berjalan di angkatan ke- 6 dan 7 sejak dibuka oleh Mendikbudristek, Nadiem Makariem pada 15 Oktober 2020 lalu.

Melalui program ini diharapkan lahir guru penggerak yang dapat menerapkan visi guru penggerak, menanamkan nilai-nilai kebajikan universal dan menciptakan lingkungan positif.  Lingkungan positif adalah tempat terbaik untuk persemaian budaya positif di sekolah sehingga dapat menciptakan sebanyak-banyaknya pemelajar sepanjang hayat.

Menjadi guru penggerak artinya siap menjadi pemimpin sekolah (instructional leader) yang fokus pada pembelajaran dengan menyinergikan berbagai elemen yang berpihak pada murid agar murid kita dapat berkembang baik dalam cipta (kognitif), rasa, karsa (afektif) dan karya (psikomotorik).

Oleh karena itu, melalui pendekatan siklus inkuri dengan banyak melakukan refleksi dan praktik langsung, calon guru penggerak (CGP) belajar untuk melakukan pengembangan terhadap diri dan orang lain, pengembangan pembelajaran, pengembangan manajemen sekolah dan pengembangan sekolah. Hal-hal tersebut dilandaskan pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) seperti Standar Kompetensi kelulusan, Standar Pengelolaan Pendidikan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan Standar Proses.

Modul 1.1 Refleksi filosofis pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara adalah refleksi kritis untuk menjadi pemimpin pembelajaran yang mengajarkan kepada CGP bagaimana mengidentifikasi kebutuhan peningkatan kompetensi dan kematangan diri demi mendukung pembelajaran murid.

Pemimpin pembelajaran yang dimaksudkan adalah yang mengupayakan terwujudnya sekolah sebagai pusat pengembangan karakter. Relevansinya terhadap penerapan pendidikan abad ke-21 adalah pada kontek budaya lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur sosial dan budaya di tempat asal. Kontekstualisasi filosofi pendidikan KHD mengajarkan tentang budi pekerti, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani.

Maka pada Modul 1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak menekankan pada nilai-nilai kebajikan yang sifatnya universal yang dapat dijadikan landasan bersama (common ground). Nilai-nilai yang perlu ditanamkan dalam diri guru penggerak antara lain berpihak pada murid, reflektif (daya saing), mandiri (daya lenting), kolaboratif (daya sanding) dan inovatif (daya lentur).

Berbekal nilai-nilai yang telah dimiliki akan membuat manusia atau guru penggerak dapat menjalankan peran sebagai guru penggerak serta menjadi tergerak dan bergerak dan semakin menghayati bagaimana menggerakkan manusia lainnya.

CGP dapat tergerak dengan memahami cara kerja otak, 5 (lima) kebutuhan manusia dan tahap tumbuh kembang anak. CGP dapat bergerak dengan memahami teori pilihan,motivasi intrinsik, nilai-nilai guru penggerak dan profil pelajar Pancasila. Selanjutnya CGP dapat menggerakkan manusia dengan kemampuan berpikir strategis dengan menguatkan lingkaran pengaruh.

Baca Juga :  BDR melalui TV Digital

Selanjutnya pada Modul 1.3 Visi Guru Penggerak, CGP menggunakan paradigma sekaligus model manajemen perubahan dalam mewujudkan visi guru penggerak dalam menggerakkan hati lebih banyak pihak hingga kemudian mengundang upaya kolaboratif demi terwujud perubahan penting dan berkesinambungan melalui inkuiri apresiatif. Salah satunya adalah upaya membawa perubahan budaya sekolah yang berarti merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah.

Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga seorang guru perlu mengusahakan agar sekolah dapat menjadi lingkungan yang menyenangkan, aman, nyaman untuk bertumbuh dan melindungi murid dari hal-hal yang kurang bermanfaat atau bahkan mengganggu perkembangan potensi murid.

Pada Modul 1.4 Budaya Positif dijelaskan bahwa peraturan kelas yang selanjutnya bertransformasi menjadi keyakinan kelas dapat mendukung terwujudnya lingkungan positif dan akhirnya dapat menciptakan budaya yang positif. Keyakinan kelas dapat menumbuhkan disiplin positif karena motivasi yang timbul tidak terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah melainkan timbul karena tujuan mulia.

Motivasi yang dimunculkan adalah motivasi intrinsik yaitu nilai-nilai kebajikan universal. Pemberian hukuman dan penghargaan dalam upaya menegakkan disiplin disebut sebagai identitas gagal. Maka mengganti dengan restitusi yaitu proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi dari masalah mereka sendiri,seperti menanyakan tentang apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain disebut sebagai identitas sukses.

 

Langkah dan Strategi Budaya Positif

CGP perlu menerapkan langkah dan strategi yang efektif, konkret dan realistis untuk mewujudkan budaya positif di sekolah. Peran yang dapat CGP lakukan diantaranya dengan menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia, posisi kontrol diri, keyakinan sekolah atau kelas dan segitiga restitusi.

CGP dapat memulai dari diri dengan membiasakan diri mengambil kontrol diri sebagi manajer atau among. Selanjutnya CGP akan menciptakan lingkungan yang memfasilitasi bagi para pemelajar sepanjang hayat dengan berperan dalam menggerakkan komunitas sekolah. Selain itu CGP perlu merubah paradigma stimulus respon yang masih menjadi miskonsepsi yang terjadi di kehidupan sehari-hari menjadi teori kontrol yang berlandaskan nilai-nilai kebajikan universal.

Hal yang sudah baik yang terjadi adalah konsep-konsep inti seperti kebutuhan dasar, teori disiplin positif, posisi kontrol guru dan segitiga restitusi dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di sekolah. Hal-hal yang perlu diperbaiki diantaranya masih adanya hukuman yang berlaku pada sebuah institusi (sekolah) yang membuat sistem tidak akan berjalan bila murid tidak takut.

Baca Juga :  Pelajaran dari Kerusuhan Prancis

Keberadaan hukuman juga mengontrol murid dengan penguatan negatif atau seperti membayar impas. Selain itu masih berlakunya pola konsekuensi dengan supervisi berkelanjutan, yang menuntut murid menghormati peraturan. Meskipun konsekuensi mengontrol murid dengan penguatan yang positif, hal ini belum mencapai tahapan yang kita harapkan yaitu kontrol guru sebagai manajer.

Guru saat ini kadang-kadang masih menurunkan daya tawar ke posisi kontrol guru sebagai pemantau atau teman. Bagi penulis hal tersebut menandakan posisi guru masih berada di lingkaran perhatian (di luar kendaraan) atau lingkaran kepedulian (di kursi penumpang) dan belum berada di lingkaran pengaruh. Lingkaran perhatian dan lingkaran kepedulian sejatinya belum dapat dikatakan mampu membuat sebuah perubahan. Oleh karena itu CGP perlu memperkuat relasi, komunikasi, kolaborasi dan kontribusi baik dengan diri sendiri, orang lain, institusi dan masyarakat agar dapat memiliki lingkaran pengaruh yang bersifat menggerakkan.

Murid dengan guru sebagai pemantau hanya akan menyesuaikan bila mendapat pengawasan. Posisi kontrol guru sebagai pemantau juga masih meletakkan guru dan peraturan di dunia berkualitas. Sedangkan kontrol guru sebagai teman hanya akan menimbulkan ketergantungan murid terhadap guru.

Setelah mempelajari Modul 1.4, CGP seyogyanya dapat semakin konsisten dengan keteladanan, nilai atau identitas dan keyakinan, perilaku atau softskill (88% bawah sadar) serta kebiasaan yang secara sadar (12 %) sebagaimana tercantum dalam Diagram Identitas Gunung Es untuk menerapkan perilaku kontrol diri sebagai among atau manajer. Selanjutnya apabila ditemukan adanya kasus pelanggaran peraturan oleh murid atau perilaku murid yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan maka dapat diidentifikasi bahwa murid tersebut gagal memenuhi salah satu dari kelima kebutuhan dasar manusia (modul 1.2) sehinga dapat diterapkan segitiga restitusi.

Pendekatan restitusi sendiri berpusat pada murid, bersifat memerdekakan dan memandirikan murid. Menurut penulis ada beberapa hal yang penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif selain merujuk pada konsep-konsep yang disampaikan dalam modul diantaranya konsep pendidikan inklusif dan penguatan literasi.

Akhirnya, semoga pendidikan kita dapat diarahkan untuk pengembangan kepribadian, bakat, mental dan fisik murid sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat 1 United Nations Convention on the Rights of Child. Salam Guru Penggerak, Salam Selamat dan Bahagia.(*)

 *Penulis adalah Fasilitator Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 7

** Sebuah Tinjauan Kritis dan Analitis Koneksi Antar Materi Modul 1 Pendidikan Guru Penggerak

 

 

Artikel Terkait

Bukan Bakso Mas Bejo

Adab Anak Punk

Kota Cantik Tak Baik-Baik Saja

Parade Umbar Janji

Terpopuler

Artikel Terbaru

/