Jumat, November 22, 2024
25.1 C
Palangkaraya

Potret Kemiskinan di Balik Badut Jalanan

PALANGKA RAYA-Badut jalanan sudah lama eksis di Kota Palangka Raya. Bermodalkan kostum karakter film kartun seperti Doraemon, Mickey Mouse, Boyboy, Upin & Ipin, maupun kelinci, mereka beraksi di beberapa ruas jalan protokol dan pusat keramaian yang ada di ibu kota Provinsi Kalteng ini.

Andriyati (42) merupakan salah satu badut di Palangka Raya. Bekerja dengan membawa serta anaknya. Bermodalkan kostum badut berbentuk kelinci warna biru liris putih, tiap pagi ibu lima anak itu berangkat dari rumahnya di Jalan Murdjani menuju SPBU di Jalan Tjilik Riwut Km 6,5. Membawa serta anak keempatnya yang masih berusia tujuh tahun. Dari pukul 07.00 WIB sampai 11.00 WIB, Andriyati berdiri di pintu keluar SPBU tersebut. Ia terpaksa menjadi badut jalanan demi menghidupi lima anaknya, karena sang suami yang tinggal di Banjarmasin sedang sakit.

Wanita kelahiran Banjarmasin itu menjadi badut jalanan sejak 2020 lalu di tanah kelahirannya. Menjadi badut di Palangka Raya baru dua bulan belakangan. Ia memutuskan pindah ke Palangka Raya karena penghasilan yang ia dapatkan di Tanah Banua sangat lesu.

“Di Banjar susah, kami dapat penghasilan sedikit, baru dua bulan kemarin pindah ke Palangka Raya, alhamdulillah di sini lumayan,” tutur wanita kelahiran 1982 itu.

Andriyati mengaku menjadi badut dengan membawa serta anak baru dilakukannya saat beraksi di Palangka Raya. Waktu di Banjarmasin, tidak membawa serta anak karena sudah ada yang menjaga di rumah. Namun, dia tidak menampik bahwa penghasilan yang didapatkan sehari-hari dengan membawa anaknya memang bisa lebih banyak.

“Memang selain karena dia tidak bisa tinggal di rumah oleh enggak ada yang jaga karena anak-anak saya yang lain masih kecil, alasan saya bawa dia juga karena bisa dapat uang lebih banyak,” beber Andriyati.

Andriyati terpaksa harus membiarkan anaknya putus sekolah karena keterbatasan ekonomi. Anak berusia tujuh tahun itu harus menunda sekolah satu tahun mengikuti ibunya menjadi badut jalanan. Kendati tidak terlihat rasa sedih dalam raut wajahnya, terselip keinginan mendalam untuk melanjutkan sekolah seperti anak-anak seusianya.

Baca Juga :  Wali Kota Ikuti Dzikir dan Doa Kebangsaan 76 Tahun Indonesia

“Pengen sekolah,” tutur putri Andriyati.

Sambil menemani ibunya bekerja, anak itu duduk persis di samping ibunya yang berdiri melambai-lambai pembeli. Beralaskan lantai cor-coran SPBU yang kasar. Sesekali, tangan mungilnya lincah mengambil camilan dan minuman botol dari plastik hitam yang dibawanya. Plastik hitam itu juga menjadi tempat menyimpan uang hasil pekerjaan ibunya. Meski agak malu-malu, anak itu mampu membaca dan lumayan supel.

Ketika ditanya apakah anaknya itu akan kembali disekolahkan, Andriyati ragu-ragu untuk menjawab. Namun dia memang mengaku memiliki keyakinan akan menyekolahkan anaknya tahun ini, setelah penghasilannya cukup untuk membiayai sekolah.

“Sudah cukup anak saya yang lainnya putus sekolah, kakak-kakaknya, jangan sampai dia lagi yang putus sekolah, mudah-mudahan tahun ini habis memasuki semester baru, saya mampu menyekolahkan dia,” tutur Andriyati setengah memelas dan penuh harap. Topeng badutnya itu kemudian dipakainya kembali dan melanjutkan pekerjaan.

Badut lain yang membawa anak adalah Sari (40). Hampir tiap hari ia duduk di trotoar dekat pintu keluar SPBU Jalan A Yani. Juga membawa serta anak keempatnya yang belum genap berusia lima tahun. Wanita asal Teluk Tiram itu mengaku menjadi badut sejak dua bulan lalu. Ia pindah dari Banjarmasin karena pekerjaan yang tidak menentu. Di sana ia juga bekerja sebagai badut jalanan.

Sejak pagi pukul 09.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB, wanita itu duduk di trotoar jalan bersama anak perempuannya, Siti Aisah. Keduanya duduk menghadap jalan. Padahal posisi trotoar sangat mepet dengan garis putih pembatas jalan. Tiap hari Sari dan anak balitanya harus kuat melihat kendaraan roda empat ataupun roda dua lewat dekat mereka. Tak jarang jantung dibuat berdebar. Nyawa pun jadi taruhan.

“Harus kuat, mas, memang begitu di sini, selain memerhatikan keselamatan saya, saya juga harus memerhatikan keselamatan anak saya, kalau geser di tempat lain enggak bakal dapat banyak,” ungkap Sari.

Sari tetap bekerja meski dalam kondisi mengandung. Enam bulan usia kandungan. Brojol perut tampak jelas pada kostum badut kusam berwarna biru muda berbentuk Doraemon yang dikenakannya. Menjadi badut merupakan pilihan yang terpaksa diambil demi mencari nafkah. Sang suami yang juga ikut merantau ke Kota Cantik sejak dua bulan lalu, belum menemukan pekerjaan tetap.

Baca Juga :  BBPOM Periksa Takjil Penyebab Keracunan Massal

“Waktu di Banjar dulu suami kerja bangunan mas, tapi pas di sini belum ketemu proyek, enggak ada kenalan di sini. Di Banjar kemarin sejak pandemi, proyek sepi,” ungkapnya.

Tiap hari Sari membawa serta anaknya. Hal itu ia lakukan dengan motif mencari keuntungan. Sebab, kata Sari, penghasilan yang ia dapatkan lebih banyak saat membawa serta anak ketimbang saat bekerja sendirian.

“Kalau saya bawa anak, paling jam 12 siang saya sudah bisa dapat Rp100 ribu. Kalau enggak bawa anak, saya baru bisa dapat penghasilan segitu kalau kerja seharian, itu pun harus keliling-keliling,” tuturnya.

Ketika ditanya apakah akan menyekolahkan anaknya ke PAUD, ia memastikan akan menyekolahkan saat penghasilan yang ia dapatkan mencukupi.

“Saya juga enggak mau selamanya jadi badut, nanti setelah duit terkumpul, saya mau jualan saja,” ucapnya.

Menyikapi keberadaan badut jalanan yang membawa anak saat beraksi di Kota Cantik ini, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP3KBP3) Kota Palangka Raya Ellya Ulfah SSos MAP mengatakan hal seperti itu merupakan bentuk eksploitasi anak. Pihaknya sudah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para badut agar tidak melakukan hal seperti itu. Akan tetapi aksi serupa diulang kembali.

Berdasarkan pantauan pihaknya di lapangan, ada beberapa badut yang membawa anak yang bukan anak kandung.

Eksploitasi anak merupakan suatu tindakan memanfaatkan anak-anak secara tidak etis untuk kepentingan ataupun keuntungan para orang tua maupun pihak tertentu. Salah satunya adalah keuntungan secara ekonomi. Dalam pasal 76I UU Nomor 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi atau seksual terhadap anak.

PALANGKA RAYA-Badut jalanan sudah lama eksis di Kota Palangka Raya. Bermodalkan kostum karakter film kartun seperti Doraemon, Mickey Mouse, Boyboy, Upin & Ipin, maupun kelinci, mereka beraksi di beberapa ruas jalan protokol dan pusat keramaian yang ada di ibu kota Provinsi Kalteng ini.

Andriyati (42) merupakan salah satu badut di Palangka Raya. Bekerja dengan membawa serta anaknya. Bermodalkan kostum badut berbentuk kelinci warna biru liris putih, tiap pagi ibu lima anak itu berangkat dari rumahnya di Jalan Murdjani menuju SPBU di Jalan Tjilik Riwut Km 6,5. Membawa serta anak keempatnya yang masih berusia tujuh tahun. Dari pukul 07.00 WIB sampai 11.00 WIB, Andriyati berdiri di pintu keluar SPBU tersebut. Ia terpaksa menjadi badut jalanan demi menghidupi lima anaknya, karena sang suami yang tinggal di Banjarmasin sedang sakit.

Wanita kelahiran Banjarmasin itu menjadi badut jalanan sejak 2020 lalu di tanah kelahirannya. Menjadi badut di Palangka Raya baru dua bulan belakangan. Ia memutuskan pindah ke Palangka Raya karena penghasilan yang ia dapatkan di Tanah Banua sangat lesu.

“Di Banjar susah, kami dapat penghasilan sedikit, baru dua bulan kemarin pindah ke Palangka Raya, alhamdulillah di sini lumayan,” tutur wanita kelahiran 1982 itu.

Andriyati mengaku menjadi badut dengan membawa serta anak baru dilakukannya saat beraksi di Palangka Raya. Waktu di Banjarmasin, tidak membawa serta anak karena sudah ada yang menjaga di rumah. Namun, dia tidak menampik bahwa penghasilan yang didapatkan sehari-hari dengan membawa anaknya memang bisa lebih banyak.

“Memang selain karena dia tidak bisa tinggal di rumah oleh enggak ada yang jaga karena anak-anak saya yang lain masih kecil, alasan saya bawa dia juga karena bisa dapat uang lebih banyak,” beber Andriyati.

Andriyati terpaksa harus membiarkan anaknya putus sekolah karena keterbatasan ekonomi. Anak berusia tujuh tahun itu harus menunda sekolah satu tahun mengikuti ibunya menjadi badut jalanan. Kendati tidak terlihat rasa sedih dalam raut wajahnya, terselip keinginan mendalam untuk melanjutkan sekolah seperti anak-anak seusianya.

Baca Juga :  Wali Kota Ikuti Dzikir dan Doa Kebangsaan 76 Tahun Indonesia

“Pengen sekolah,” tutur putri Andriyati.

Sambil menemani ibunya bekerja, anak itu duduk persis di samping ibunya yang berdiri melambai-lambai pembeli. Beralaskan lantai cor-coran SPBU yang kasar. Sesekali, tangan mungilnya lincah mengambil camilan dan minuman botol dari plastik hitam yang dibawanya. Plastik hitam itu juga menjadi tempat menyimpan uang hasil pekerjaan ibunya. Meski agak malu-malu, anak itu mampu membaca dan lumayan supel.

Ketika ditanya apakah anaknya itu akan kembali disekolahkan, Andriyati ragu-ragu untuk menjawab. Namun dia memang mengaku memiliki keyakinan akan menyekolahkan anaknya tahun ini, setelah penghasilannya cukup untuk membiayai sekolah.

“Sudah cukup anak saya yang lainnya putus sekolah, kakak-kakaknya, jangan sampai dia lagi yang putus sekolah, mudah-mudahan tahun ini habis memasuki semester baru, saya mampu menyekolahkan dia,” tutur Andriyati setengah memelas dan penuh harap. Topeng badutnya itu kemudian dipakainya kembali dan melanjutkan pekerjaan.

Badut lain yang membawa anak adalah Sari (40). Hampir tiap hari ia duduk di trotoar dekat pintu keluar SPBU Jalan A Yani. Juga membawa serta anak keempatnya yang belum genap berusia lima tahun. Wanita asal Teluk Tiram itu mengaku menjadi badut sejak dua bulan lalu. Ia pindah dari Banjarmasin karena pekerjaan yang tidak menentu. Di sana ia juga bekerja sebagai badut jalanan.

Sejak pagi pukul 09.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB, wanita itu duduk di trotoar jalan bersama anak perempuannya, Siti Aisah. Keduanya duduk menghadap jalan. Padahal posisi trotoar sangat mepet dengan garis putih pembatas jalan. Tiap hari Sari dan anak balitanya harus kuat melihat kendaraan roda empat ataupun roda dua lewat dekat mereka. Tak jarang jantung dibuat berdebar. Nyawa pun jadi taruhan.

“Harus kuat, mas, memang begitu di sini, selain memerhatikan keselamatan saya, saya juga harus memerhatikan keselamatan anak saya, kalau geser di tempat lain enggak bakal dapat banyak,” ungkap Sari.

Sari tetap bekerja meski dalam kondisi mengandung. Enam bulan usia kandungan. Brojol perut tampak jelas pada kostum badut kusam berwarna biru muda berbentuk Doraemon yang dikenakannya. Menjadi badut merupakan pilihan yang terpaksa diambil demi mencari nafkah. Sang suami yang juga ikut merantau ke Kota Cantik sejak dua bulan lalu, belum menemukan pekerjaan tetap.

Baca Juga :  BBPOM Periksa Takjil Penyebab Keracunan Massal

“Waktu di Banjar dulu suami kerja bangunan mas, tapi pas di sini belum ketemu proyek, enggak ada kenalan di sini. Di Banjar kemarin sejak pandemi, proyek sepi,” ungkapnya.

Tiap hari Sari membawa serta anaknya. Hal itu ia lakukan dengan motif mencari keuntungan. Sebab, kata Sari, penghasilan yang ia dapatkan lebih banyak saat membawa serta anak ketimbang saat bekerja sendirian.

“Kalau saya bawa anak, paling jam 12 siang saya sudah bisa dapat Rp100 ribu. Kalau enggak bawa anak, saya baru bisa dapat penghasilan segitu kalau kerja seharian, itu pun harus keliling-keliling,” tuturnya.

Ketika ditanya apakah akan menyekolahkan anaknya ke PAUD, ia memastikan akan menyekolahkan saat penghasilan yang ia dapatkan mencukupi.

“Saya juga enggak mau selamanya jadi badut, nanti setelah duit terkumpul, saya mau jualan saja,” ucapnya.

Menyikapi keberadaan badut jalanan yang membawa anak saat beraksi di Kota Cantik ini, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP3KBP3) Kota Palangka Raya Ellya Ulfah SSos MAP mengatakan hal seperti itu merupakan bentuk eksploitasi anak. Pihaknya sudah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada para badut agar tidak melakukan hal seperti itu. Akan tetapi aksi serupa diulang kembali.

Berdasarkan pantauan pihaknya di lapangan, ada beberapa badut yang membawa anak yang bukan anak kandung.

Eksploitasi anak merupakan suatu tindakan memanfaatkan anak-anak secara tidak etis untuk kepentingan ataupun keuntungan para orang tua maupun pihak tertentu. Salah satunya adalah keuntungan secara ekonomi. Dalam pasal 76I UU Nomor 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi atau seksual terhadap anak.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/