PALANGKA RAYA-Upaya penertiban dan pemberdayaan badut jalanan perlu menjadi perhatian berbagai pihak. Utamanya oleh Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya. Melalui Dinas Sosial (Dinsos) Kota Palangka Raya, para badut yang beraksi di beberapa tempat di Kota Cantik ini bakal ditertibkan untuk selanjutnya diberdayakan. Solusi lain, badut jalanan yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) di luar Palangka Raya akan dipulangkan ke daerah asal.
Kepala Dinas Sosial Kota Palangka Raya Nyta Bianyta Rezza melalui Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang (Kabid) Rehabilitasi Sosial (Rehsos) Roly Irhamna mengatakan, pihaknya sudah mendata para badut jalanan hasil dari razia yang dilaksanakan sebelum-sebelumnya.
Dari data itu, pihaknya kemudian melakukan asesmen. Mulai dari menanyakan alamat, daerah asal, keterampilan yang dimiliki, dan lainnya.
Diketahui para badut jalanan itu bukanlah warga Kota Palangka Raya. Paling banyak berasal dari Banjarmasin, daerah Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Alasan mereka menjadi badut adalah karena keterbatasan ekonomi dan minimnya keterampilan kerja.
“Kami sarankan mereka untuk berhenti menjadi badut jalanan, kami ajak mereka membuat kartu nama dan media sosial, siapa tahu mendapat undangan menghibur masyarakat di acara-acara, tidak lagi menghibur warga di pinggir-pinggir jalan yang justru bisa membahayakan keselamatan jiwa mereka,” ungkapnya saat dihubungi Kalteng Pos melalui sambungan telepon, Selasa (24/1).
Tak dimungkiri bahwa keberadaan badut di jalanan kota ini makin marak. Fokus Dinas Sosial Kota Palangka Raya adalah memulangkan para badut jalanan yang bukan ber-KTP Palangka Raya.
“Tahun 2023 ini, solusi kami lebih ke arah pemulangan, artinya berdasarkan data-data yang sudah kami kumpulkan, kami coba komunikasi dengan teman-teman dinas sosial daerah lain seperti Banjarmasin, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk bisa ikut membantu memberdayakan mereka dari hasil asesmen kami tadi,” jelasnya.
Ia menegaskan, pemberdayaan para badut merupakan tugas bersama, sehingga perlu melibatkan instansi terkait dengan perannya masing-masing. Apalagi soal pemberian keterampilan kepada para badut agar memiliki kecakapan kerja, perlu melibatkan dinas tenaga kerja. Perangkat daerah lain juga tidak tertutup kemungkinan akan terlibat jika terdapat beberapa tugas pemberdayaan yang sesuai dengan tupoksi masing-masing.
“Terkait kebutuhan pemberian keterampilan dan lain-lain, kami coba mengomunikasikan dengan instansi lain, misalkan untuk pemberian pelatihan, kami akan melibatkan disnaker,” jelasnya.
Menanggapi perihal maraknya badut yang membawa anak dalam melancarkan aksi serta pemberdayaan sosial yang harus dilakukan khususnya bagi anak-anak yang dibawa oleh para badut, Roly menyebut pihaknya mengimbau kepada para badut agar mempertimbangkan dari segi kemanusiaan ketika memutuskan untuk membawa anak dalam aksi.
“Karena anak-anak ini kan punya hak dasar sosial, mereka ada kewajiban untuk sekolah, ada hak mereka untuk bermain, maka kami sesuai tupoksi bersama kawan-kawan Satpol PP dan dinas perlindungan anak serta tim teknis lainnya bisa melakukan penertiban dan pemberdayaan,” tandasnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP3KBP3) Kota Palangka Raya Ellya Ulfah mengatakan, badut yang membawa serta anak saat beraksi merupakan bentuk eksploitasi terhadap anak. Pihaknya sudah memberi sosialisasi dan edukasi kepada para badut agar tidak mengulangi hal seperti itu. Akan tetapi aksi serupa justru terjadi kembali.
Berdasarkan pantauan pihaknya di lapangan, ada beberapa badut yang membawa anak yang bukan anak kandung. Eksploitasi anak merupakan suatu tindakan memanfaatkan anak-anak secara tidak etis untuk kepentingan ataupun keuntungan para orang tua maupun pihak tertentu. Salah satunya adalah untuk keuntungan ekonomi. Dalam pasal 76I Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi atau seksual terhadap anak.
“Ya, mereka melandasi tindakan mereka karena alasan ekonomi, biasanya yang mereka bawa itu bahkan bukan anak mereka sendiri melainkan anak orang, tapi mereka selalu mengaku bahwa itu anak kandung,” tutur Ulfah kepada Kalteng Pos, beberapa hari lalu.
Lebih lanjut Ulfah menjelaskan, tindakan yang dilakukan oleh para badut itu sangat tidak ramah anak. Hak-hak dasar anak seperti menikmati masa kecil dengan bermain dan belajar, direnggut karena dibawa serta bekerja di bawah terik matahari dan terpaan debu jalanan. (dan/ce/ram)