Jumat, November 22, 2024
31.2 C
Palangkaraya

Eks Lokalisasi Masih Beroperasi, Prostitusi Berkedok Warung Kopi Juga Marak

PALANGKA RAYA-Pada 2019 lalu, lokalisasi Km 12 resmi ditutup Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya. Penutupan ini merupakan realisasi program Kementerian Sosial (Kemensos) yang menginginkan Indonesia bebas lokalisasi prostitusi. Tiga tahun berlalu, ternyata eks lokalisasi yang terkenal dengan nama pal 12 itu justru diduga masih beroperasi.

Akhir Februari lalu, Kalteng Pos menelusuri eks lokalisasi yang juga dikenal dengan nama lokalisasi Bukit Sungkai tersebut. Malam itu, di salah satu gang terlihat dua perempuan setengah baya tengah duduk santai di bangku. Kedua perempuan itu asyik memainkan ponsel masing-masing. Suasana sekitar cukup sunyi. Tidak ada suara musik atau orang bernyanyi. Beberapa bangunan lain yang ada di lorong itu tanpa penerangan. Gelap. Sepertinya tidak berpenghuni.

Hal yang sama juga terlihat di lorong lain. Beberapa bangunan bekas tempat karaoke dan wisma terlihat kosong. Beberapa bangunan seperti dibiarkan rusak atau tidak terurus. Demikian pemandangan di bekas tempat lokalisasi itu. Namun, ada beberapa tempat karaoke yang terlihat beroperasi. Ada beberapa perempuan duduk di bagian depan. Ada yang menyapa, ada juga yang cuek saja. Namun mereka memiliki harapan yang sama. Berharap ada pelanggan yang mau mampir.

Kondisi lokalisasi pal 12 saat ini terlihat jauh berbeda dibandingkan beberapa tahun lalu. Pengunjung yang datang berkurang drastis. Terlebih setelah pandemi Covid-19. Meski demikian, praktik prostitus masih terjadi di eks lokalisasi yang berada di Jalan Tjilik Riwut Km 12, Kota Palangka Raya ini.

Pada malam yang dingin itu, ada beberapa orang pengunjung yang datang. Perempuan yang diduga PSK di eks lokalisasi pal 12 tersebut mengaku masih melayani pelanggan. Ia mematok tarif bervariasi kepada pelanggan yang ingin memakai jasanya. Mulai dari Rp350 ribu hingga Rp400 ribu sekali kencan. Sedangkan bagi pelanggan yang ingin bermalam, tarifnya lebih mahal dari itu. Jika tamu hanya ingin ditemani karaoke atau sekadar minum, bayarannya Rp100 ribu per jam.

“Tergantung omongan aja, kalau sudah kenal, bisa aja murah,” ucap perempuan itu.

Makin sepinya eks lokalisasi pal 12 itu tak lepas dari keputusan pemerintah daerah menutup tempat lokalisasi itu tiga tahun lalu. Ditambah lagi makin banyak tempat prostitusi luar berkedok warung kopi di Jalan Tjilik Riwut Km 12 hingga arah Tangkiling serta di Jalan Lingkar Luar atau Jalan Mahir Mahar. Diperkirakan ada 40-50 warung kopi yang diduga menyediakan praktik prostitusi. Diduga banyak mantan PSK di eks lokalisasi pal 12 mencari pelanggan di warung-warung kopi itu.

Meski ada dugaan praktik prostitusi berkedok warung kopi, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) selaku aparat penegak peraturan daerah (perda) tidak bisa melakukan penertiban.

Baca Juga :  Kalteng Tanam Durian Gelapir

Kasatpol PP Kota Palangka Raya, Yohn B.G Pangaribuan mengatakan, penindakan yang dilakukan Satpol PP tidak seperti dahulu, karena ada undang-undang yang mengatur Satpol PP tidak boleh lagi masuk ke ranah urusan penertiban yang berkaitan dengan prostitusi, karena bertentangan dengan KUHP tentang Perzinaan.

“Di dalam KHUP Perzinahan, Satpol PP tidak diperbolehkan menindak, merazia, dan melakukan penggerebekan, kami tidak mau melanggar ketentuan itu, kalau kami gerebek atau melakukan penertiban, kami yang kena nantinya,” ucapnya, beberapa waktu lalu.

Dengan ditetapkannya KUHP Perzinahan, maka penggerebekan dan penindakan bukan lagi merupakan ranah Satpol PP. Meski ada perda, yang bisa dilakukan Satpol PP hanya bersifat penanganan WTS, bukan masalah prostitusinya.

“WTS itu bekerja di tempat resmi seperti mendiami rumah atau kompleks, contoh saja Km 12, itu kewenangan kami, tapi sekarang sudah ditutup, kalau yang praktiknya di luar itu, seperti di hotel, kos-kosan, hingga wisma bukan lagi kewenangan kami, karena itu murni tindak kriminal,” tegas Yohn.

Berkaitan dengan aktivitas seperti patroli, menurut Yohn, tidak ada lagi kewenangan, karena sudah ditutup. Meski demikian, pihaknya bisa bekerja sama dengan kepolisian untuk menelisik praktik prostitusi.

Ia menambahkan, sebenarnya untuk menutup tempat praktik prostitusi, alangkah lebih baik ada kesadaran masyarakat, bekerja sama dengan tokoh agama dan tokoh adat.

“Jadi sebenarnya bila ingin memberantas praktik itu, tentu perlu kerja sama semua pihak, bahkan imbas dari undang-undang yang baru, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ucapnya.

Seperti diketahui, lokalisasi tidak melulu menjadi penyumbang banyaknya kasus HIV/AIDS. Justru setelah lokalisasi ditutup, maka potensi HIV/AIDS akan makin besar dan tidak terpantau.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kalteng Saidah Suryani mengatakan, tren penularan HIV/AIDS selama empat tahun terakhir tidak terjadi di lokasi prostitusi, sehingga tempat prostitusi tidak lagi menjadi tempat prioritas penanganan.

“Meski demikian kami akan tetap datang ke tempat-tempat itu,” katanya saat dihubungi Kalteng Pos.

Saidah mengatakan, peningkatan kasus HIV/AIDS sebenarnya tidak bergantung pada ditutup atau tidaknya tempat lokalisasi. Sebab, perilaku seks berisiko tidak hanya terjadi di dalam lokalisasi. Apalagi dewasa ini transaksi seks makin mudah dengan adanya aplikasi sosial.

“Namun keberadaan lokalisasi akan mempermudah petugas kesehatan melakukan edukasi dan pemeriksaan pada para wanita pekerja seks (WPS). Mereka wajib rutin imunisasi, mendapatkan kondom, dan pemeriksaan penyakit menular seksual,” ujarnya.

Dengan dibubarkannya lokalisasi, para pekerja seks justru membaur dengan masyarakat dan tidak mendapatkan lagi layanan kesehatan rutin. Tentunya risiko penularan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya akan makin meningkat dan tak terkendali.

Baca Juga :  Diminati Dunia, Ikan Botia, Betutu dan Seluang Diekspor hingga Jepang

“Dengan ditutupnya lokalisasi dan kemungkinan adanya lokasi prostitusi ilegal, dalam hal pemeriksaan kesehatan tergantung kesadaran dan inisiatif pribadi, apakah mau memeriksakan diri atau tidak,” ujarnya.

Sebelumnya, saat lokalisasi yang berlokasi di Jalan Tjlik Riwut Km 12 belum dibubarkan, pihak Puskesmas Jekan Raya rutin melakukan pemeriksaan penyakit menular seksual terhadap semua WPS. Namun kini pihak puskesmas hanya bisa menawarkan pemeriksaan. Keputusan mau atau tidak tetap pada klien.

“KPA dalam tupoksinya yaitu fungsi koordinasi, hanya menjembatani pihak dinas kesehatan, dalam hal ini puskesmas untuk melakukan pemeriksaan kepada klien (WPS, red). Hasil pemeriksaan itu hanya petugas kesehatan dan klien saja yang tahu,” jelasnya.

Penularan HIV/AIDS umumnya terjadi melalui perilaku seks berisiko dengan berganti-ganti pasangan dan tanpa menggunakan kondom. Dapat pula ditularkan melalui jarum yang tidak steril, seperti saat pembuatan tato, facial, dan lainnya. Selain itu dapat juga ditularkan dari ibu yang telah terinfeksi HIV kepada anak saat melahirkan atau menyusui.

“Kita semua sebenarnya berisiko terinfeksi HIV, tapi ada yang berisiko tinggi, ada yang berisiko rendah,” sebutnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, orang yang berisiko tinggi terinfeksi, tentunya orang yang sering berganti pasangan seks. HIV tidak hanya ada di lokalisasi saja, karena orang bisa melakukan seks di mana saja. “Selain itu, pengguna narkoba juga termasuk dalam golongan berisiko tinggi tertular HIV,” tuturnya.

Sementara itu, yang berisiko rendah yakni mereka yang tidak termasuk dalam golongan seks bebas atau pengguna narkoba, tapi berpotensi tertular HIV. “Misalnya, ibu rumah tangga yang tertular dari suami,” ucapnya.

Berdasarkan data, jumlah kasus HIV/AID di Kota Palangka Raya sebanyak 745 kasus. Itu merupakan data kumulatif sejak 2018 hingga Juli 2022.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalteng Khairil Anwar mengatakan, pemerintah kota maupun provinsi melalui dinas terkait sebaiknya melakukan penertiban tempat-tempat yang diduga terjadi prostitusi. Dari sisi agama, hal ini melanggar ajaran agama. Juga ada banyak dampak buruk yang ditimbulkan dari adanya aktivitas negatif ini, seperti sumber penyakit seksual.

“Harapan kami, pemerintah dapat menertibkan lokasiyang diduga sebagai tempat prostitusi,” ucapnya.

Menyongsong bulan ramadan, MUI berharap masyarakat tidak mengotori diri dengan hal-hal negatif. Pemerintah juga diharapkan proaktif berkoordinasi dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.

“Karena memang seharusnya tempat-tempat prostitusi itu tidak dilegalkan, termasuk tempat-tempat yang menjadi pelarian daripada pembubaran lokalisasi yang ada sebelumnya,” sebut rektor IAIN Palangka Raya ini.

Selain itu, pemerintah daerah juga harus memperhatikan para pelaku, memberikan sosialisasi, edukasi, bahkan keterampilan kerja. (sja/ena/abw/ce/ala)

PALANGKA RAYA-Pada 2019 lalu, lokalisasi Km 12 resmi ditutup Pemerintah Kota (Pemko) Palangka Raya. Penutupan ini merupakan realisasi program Kementerian Sosial (Kemensos) yang menginginkan Indonesia bebas lokalisasi prostitusi. Tiga tahun berlalu, ternyata eks lokalisasi yang terkenal dengan nama pal 12 itu justru diduga masih beroperasi.

Akhir Februari lalu, Kalteng Pos menelusuri eks lokalisasi yang juga dikenal dengan nama lokalisasi Bukit Sungkai tersebut. Malam itu, di salah satu gang terlihat dua perempuan setengah baya tengah duduk santai di bangku. Kedua perempuan itu asyik memainkan ponsel masing-masing. Suasana sekitar cukup sunyi. Tidak ada suara musik atau orang bernyanyi. Beberapa bangunan lain yang ada di lorong itu tanpa penerangan. Gelap. Sepertinya tidak berpenghuni.

Hal yang sama juga terlihat di lorong lain. Beberapa bangunan bekas tempat karaoke dan wisma terlihat kosong. Beberapa bangunan seperti dibiarkan rusak atau tidak terurus. Demikian pemandangan di bekas tempat lokalisasi itu. Namun, ada beberapa tempat karaoke yang terlihat beroperasi. Ada beberapa perempuan duduk di bagian depan. Ada yang menyapa, ada juga yang cuek saja. Namun mereka memiliki harapan yang sama. Berharap ada pelanggan yang mau mampir.

Kondisi lokalisasi pal 12 saat ini terlihat jauh berbeda dibandingkan beberapa tahun lalu. Pengunjung yang datang berkurang drastis. Terlebih setelah pandemi Covid-19. Meski demikian, praktik prostitus masih terjadi di eks lokalisasi yang berada di Jalan Tjilik Riwut Km 12, Kota Palangka Raya ini.

Pada malam yang dingin itu, ada beberapa orang pengunjung yang datang. Perempuan yang diduga PSK di eks lokalisasi pal 12 tersebut mengaku masih melayani pelanggan. Ia mematok tarif bervariasi kepada pelanggan yang ingin memakai jasanya. Mulai dari Rp350 ribu hingga Rp400 ribu sekali kencan. Sedangkan bagi pelanggan yang ingin bermalam, tarifnya lebih mahal dari itu. Jika tamu hanya ingin ditemani karaoke atau sekadar minum, bayarannya Rp100 ribu per jam.

“Tergantung omongan aja, kalau sudah kenal, bisa aja murah,” ucap perempuan itu.

Makin sepinya eks lokalisasi pal 12 itu tak lepas dari keputusan pemerintah daerah menutup tempat lokalisasi itu tiga tahun lalu. Ditambah lagi makin banyak tempat prostitusi luar berkedok warung kopi di Jalan Tjilik Riwut Km 12 hingga arah Tangkiling serta di Jalan Lingkar Luar atau Jalan Mahir Mahar. Diperkirakan ada 40-50 warung kopi yang diduga menyediakan praktik prostitusi. Diduga banyak mantan PSK di eks lokalisasi pal 12 mencari pelanggan di warung-warung kopi itu.

Meski ada dugaan praktik prostitusi berkedok warung kopi, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) selaku aparat penegak peraturan daerah (perda) tidak bisa melakukan penertiban.

Baca Juga :  Kalteng Tanam Durian Gelapir

Kasatpol PP Kota Palangka Raya, Yohn B.G Pangaribuan mengatakan, penindakan yang dilakukan Satpol PP tidak seperti dahulu, karena ada undang-undang yang mengatur Satpol PP tidak boleh lagi masuk ke ranah urusan penertiban yang berkaitan dengan prostitusi, karena bertentangan dengan KUHP tentang Perzinaan.

“Di dalam KHUP Perzinahan, Satpol PP tidak diperbolehkan menindak, merazia, dan melakukan penggerebekan, kami tidak mau melanggar ketentuan itu, kalau kami gerebek atau melakukan penertiban, kami yang kena nantinya,” ucapnya, beberapa waktu lalu.

Dengan ditetapkannya KUHP Perzinahan, maka penggerebekan dan penindakan bukan lagi merupakan ranah Satpol PP. Meski ada perda, yang bisa dilakukan Satpol PP hanya bersifat penanganan WTS, bukan masalah prostitusinya.

“WTS itu bekerja di tempat resmi seperti mendiami rumah atau kompleks, contoh saja Km 12, itu kewenangan kami, tapi sekarang sudah ditutup, kalau yang praktiknya di luar itu, seperti di hotel, kos-kosan, hingga wisma bukan lagi kewenangan kami, karena itu murni tindak kriminal,” tegas Yohn.

Berkaitan dengan aktivitas seperti patroli, menurut Yohn, tidak ada lagi kewenangan, karena sudah ditutup. Meski demikian, pihaknya bisa bekerja sama dengan kepolisian untuk menelisik praktik prostitusi.

Ia menambahkan, sebenarnya untuk menutup tempat praktik prostitusi, alangkah lebih baik ada kesadaran masyarakat, bekerja sama dengan tokoh agama dan tokoh adat.

“Jadi sebenarnya bila ingin memberantas praktik itu, tentu perlu kerja sama semua pihak, bahkan imbas dari undang-undang yang baru, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” ucapnya.

Seperti diketahui, lokalisasi tidak melulu menjadi penyumbang banyaknya kasus HIV/AIDS. Justru setelah lokalisasi ditutup, maka potensi HIV/AIDS akan makin besar dan tidak terpantau.

Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kalteng Saidah Suryani mengatakan, tren penularan HIV/AIDS selama empat tahun terakhir tidak terjadi di lokasi prostitusi, sehingga tempat prostitusi tidak lagi menjadi tempat prioritas penanganan.

“Meski demikian kami akan tetap datang ke tempat-tempat itu,” katanya saat dihubungi Kalteng Pos.

Saidah mengatakan, peningkatan kasus HIV/AIDS sebenarnya tidak bergantung pada ditutup atau tidaknya tempat lokalisasi. Sebab, perilaku seks berisiko tidak hanya terjadi di dalam lokalisasi. Apalagi dewasa ini transaksi seks makin mudah dengan adanya aplikasi sosial.

“Namun keberadaan lokalisasi akan mempermudah petugas kesehatan melakukan edukasi dan pemeriksaan pada para wanita pekerja seks (WPS). Mereka wajib rutin imunisasi, mendapatkan kondom, dan pemeriksaan penyakit menular seksual,” ujarnya.

Dengan dibubarkannya lokalisasi, para pekerja seks justru membaur dengan masyarakat dan tidak mendapatkan lagi layanan kesehatan rutin. Tentunya risiko penularan HIV/AIDS dan penyakit menular seksual lainnya akan makin meningkat dan tak terkendali.

Baca Juga :  Diminati Dunia, Ikan Botia, Betutu dan Seluang Diekspor hingga Jepang

“Dengan ditutupnya lokalisasi dan kemungkinan adanya lokasi prostitusi ilegal, dalam hal pemeriksaan kesehatan tergantung kesadaran dan inisiatif pribadi, apakah mau memeriksakan diri atau tidak,” ujarnya.

Sebelumnya, saat lokalisasi yang berlokasi di Jalan Tjlik Riwut Km 12 belum dibubarkan, pihak Puskesmas Jekan Raya rutin melakukan pemeriksaan penyakit menular seksual terhadap semua WPS. Namun kini pihak puskesmas hanya bisa menawarkan pemeriksaan. Keputusan mau atau tidak tetap pada klien.

“KPA dalam tupoksinya yaitu fungsi koordinasi, hanya menjembatani pihak dinas kesehatan, dalam hal ini puskesmas untuk melakukan pemeriksaan kepada klien (WPS, red). Hasil pemeriksaan itu hanya petugas kesehatan dan klien saja yang tahu,” jelasnya.

Penularan HIV/AIDS umumnya terjadi melalui perilaku seks berisiko dengan berganti-ganti pasangan dan tanpa menggunakan kondom. Dapat pula ditularkan melalui jarum yang tidak steril, seperti saat pembuatan tato, facial, dan lainnya. Selain itu dapat juga ditularkan dari ibu yang telah terinfeksi HIV kepada anak saat melahirkan atau menyusui.

“Kita semua sebenarnya berisiko terinfeksi HIV, tapi ada yang berisiko tinggi, ada yang berisiko rendah,” sebutnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, orang yang berisiko tinggi terinfeksi, tentunya orang yang sering berganti pasangan seks. HIV tidak hanya ada di lokalisasi saja, karena orang bisa melakukan seks di mana saja. “Selain itu, pengguna narkoba juga termasuk dalam golongan berisiko tinggi tertular HIV,” tuturnya.

Sementara itu, yang berisiko rendah yakni mereka yang tidak termasuk dalam golongan seks bebas atau pengguna narkoba, tapi berpotensi tertular HIV. “Misalnya, ibu rumah tangga yang tertular dari suami,” ucapnya.

Berdasarkan data, jumlah kasus HIV/AID di Kota Palangka Raya sebanyak 745 kasus. Itu merupakan data kumulatif sejak 2018 hingga Juli 2022.

Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalteng Khairil Anwar mengatakan, pemerintah kota maupun provinsi melalui dinas terkait sebaiknya melakukan penertiban tempat-tempat yang diduga terjadi prostitusi. Dari sisi agama, hal ini melanggar ajaran agama. Juga ada banyak dampak buruk yang ditimbulkan dari adanya aktivitas negatif ini, seperti sumber penyakit seksual.

“Harapan kami, pemerintah dapat menertibkan lokasiyang diduga sebagai tempat prostitusi,” ucapnya.

Menyongsong bulan ramadan, MUI berharap masyarakat tidak mengotori diri dengan hal-hal negatif. Pemerintah juga diharapkan proaktif berkoordinasi dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.

“Karena memang seharusnya tempat-tempat prostitusi itu tidak dilegalkan, termasuk tempat-tempat yang menjadi pelarian daripada pembubaran lokalisasi yang ada sebelumnya,” sebut rektor IAIN Palangka Raya ini.

Selain itu, pemerintah daerah juga harus memperhatikan para pelaku, memberikan sosialisasi, edukasi, bahkan keterampilan kerja. (sja/ena/abw/ce/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/