Jumat, November 22, 2024
30.8 C
Palangkaraya

Menapaktilasi Jejak Perjuangan Tokoh Islam di Tanah Barito (21)

Panglima Batur Perkuat Benteng Baras Kuning

 

 

Panglima Batur bin Barui merupakan putra dusun yang lahir pada tahun 1852 di Desa Buntok Kecil, Kabupaten Barito Utara (Batara). Batur beragama Islam dan sangat taat menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Ayahanda bernama Barui, dari Suku Bakumpai, keturunan orang hulu Benteng Bahandang Balau.

 

ROBY CAHYADI, Muara Teweh

 

PANGLIMA Batur menikahi Samayap binti Kimat pada tahun 1887. Ia menikah pada usia 35 tahun, sementara sang istri Samayap binti Kimat berusia 30 tahun. Samayap binti Kimat mempunyai nama atau gelar samaran lain, Idas.

Adapun ibunda Samayap binti Kimat berasal dari keturunan Kapuas Kahayan, Petak Bahandang. Dari pernikahannya ini, Panglima Batur dianugerahi seorang putra bernama Tuwie, yang lahir tahun 1889 di Lanjas, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara.

Menurut penuturan Anggota DPRD Barito Utara Iqbal Reza Erlanda, makam Panglima Batur berada di Banjarmasin. “Makam istrinya Samayap binti Kimat ada di Kelurahan Lanjas, Muara Teweh, tepatnya di kompleks makam keluarga Tuwes bin Kimat,” ungkapnya, Jumat (14/4).

Tuwes bin Kimat itulah yang memindahkan makam Panglima Bachrun, Panglima Hujan Panas, dan lima orang korban lain yang gugur saat serbuan serdadu Belanda yang dipimpin Van Haes pada tahun 1860, dari seberang Lalutung Tuor ke dalam satu liang makam, di kompleks kuburan keluarga Tuwes bin Kimat tersebut.

Baca Juga :  Panas Dingin

Masran Tuwes dari Kelurahan Lanjas, Muara Teweh pernah menceritakan bahwa Kendet juga merupakan nama atau gelaran dari Nuri. Bahwa Nuri alias Kendet tersebut adalah kakak Tuwes.

Dalam perjalanan hidupnya, Tuwes bin Batur dan istrinya terpaksa meninggalkan kampung halaman dan menetap di Mandumai, Kabupaten Pulang Pisau, karena mendapat ancaman pembunuhan oleh seorang temanggung yang masih menyimpan dendam terhadap ayahnya. Di Mandumai inilah lahir satu-satunya putra Tuwes yang diberi nama Chairul. Di Mandumai ini pula Chairul menjalani hingga akhir hayatnya. Jenazahnya pun dikuburkan di tempat itu.

Setelah hidup berkeluarga, Chairul hanya dianugerahi seorang putra yang diberi nama Anang Syachrani. Anang Syachrani inilah buyut keturunan Batur. Dia bermukim di Handel Barunai, kilometer 18,5, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan.

Anang Syachrani merupakan pria berperawakan tinggi, berkulit hitam, dan agak pendiam. Ia bersama istri dan Muhammad Yusuf (putranya) menjalani kehidupan yang tenang sebagai keluarga petani. Ketika pernah ditanya alasan Panglima Batur semasa hidup gigih menentang penjajah Belanda, Anang menjawab bahwa moyangnya itu berjuang demi kesetiaan sumpah bersama; “Haram menyarah, manang terbilang, kalah hilang”.

Baca Juga :  Orangnya Basah Tak Masalah, Asal Jangan Korannya

“Panglima Batur, istrinya Samayap, dan anaknya Tuwes yang masih berumur 13 tahun bergabung dengan Sultan Muhammad Seman di Benteng Baras Kuning, Sungai Manawing. Panglima memimpin para pejuang membangun dan mempertahankan benteng yang dikenal sebagai Tanah Pagustian itu,” ulas Iqbal.

Lebih lanjut dikatakannya, Panglima Batur yang telah banyak membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman, akhirnya mendapat kepercayaan menjadi pembantu utama sultan. Sultan Muhammad Seman jug sangat memercayai kemampuan kepemimpinan sang panglima.

Karena kemampuan, keterampilan, dan pengabdiannya, Batur diangkat menjadi panglima sekaligus tangan kanan Sultan Muhammad Seman, sebagaimana Temanggung Surapati yang diangkat menjadi tangan kanannya Pangeran Antasari, karena telah membuktikan pengabdian, keterampilan, dan tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas yang diemban. (bersambung/ce/ala)

 

 

 

 

 

Panglima Batur bin Barui merupakan putra dusun yang lahir pada tahun 1852 di Desa Buntok Kecil, Kabupaten Barito Utara (Batara). Batur beragama Islam dan sangat taat menjalankan ajaran agama yang dianutnya. Ayahanda bernama Barui, dari Suku Bakumpai, keturunan orang hulu Benteng Bahandang Balau.

 

ROBY CAHYADI, Muara Teweh

 

PANGLIMA Batur menikahi Samayap binti Kimat pada tahun 1887. Ia menikah pada usia 35 tahun, sementara sang istri Samayap binti Kimat berusia 30 tahun. Samayap binti Kimat mempunyai nama atau gelar samaran lain, Idas.

Adapun ibunda Samayap binti Kimat berasal dari keturunan Kapuas Kahayan, Petak Bahandang. Dari pernikahannya ini, Panglima Batur dianugerahi seorang putra bernama Tuwie, yang lahir tahun 1889 di Lanjas, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara.

Menurut penuturan Anggota DPRD Barito Utara Iqbal Reza Erlanda, makam Panglima Batur berada di Banjarmasin. “Makam istrinya Samayap binti Kimat ada di Kelurahan Lanjas, Muara Teweh, tepatnya di kompleks makam keluarga Tuwes bin Kimat,” ungkapnya, Jumat (14/4).

Tuwes bin Kimat itulah yang memindahkan makam Panglima Bachrun, Panglima Hujan Panas, dan lima orang korban lain yang gugur saat serbuan serdadu Belanda yang dipimpin Van Haes pada tahun 1860, dari seberang Lalutung Tuor ke dalam satu liang makam, di kompleks kuburan keluarga Tuwes bin Kimat tersebut.

Baca Juga :  Panas Dingin

Masran Tuwes dari Kelurahan Lanjas, Muara Teweh pernah menceritakan bahwa Kendet juga merupakan nama atau gelaran dari Nuri. Bahwa Nuri alias Kendet tersebut adalah kakak Tuwes.

Dalam perjalanan hidupnya, Tuwes bin Batur dan istrinya terpaksa meninggalkan kampung halaman dan menetap di Mandumai, Kabupaten Pulang Pisau, karena mendapat ancaman pembunuhan oleh seorang temanggung yang masih menyimpan dendam terhadap ayahnya. Di Mandumai inilah lahir satu-satunya putra Tuwes yang diberi nama Chairul. Di Mandumai ini pula Chairul menjalani hingga akhir hayatnya. Jenazahnya pun dikuburkan di tempat itu.

Setelah hidup berkeluarga, Chairul hanya dianugerahi seorang putra yang diberi nama Anang Syachrani. Anang Syachrani inilah buyut keturunan Batur. Dia bermukim di Handel Barunai, kilometer 18,5, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan.

Anang Syachrani merupakan pria berperawakan tinggi, berkulit hitam, dan agak pendiam. Ia bersama istri dan Muhammad Yusuf (putranya) menjalani kehidupan yang tenang sebagai keluarga petani. Ketika pernah ditanya alasan Panglima Batur semasa hidup gigih menentang penjajah Belanda, Anang menjawab bahwa moyangnya itu berjuang demi kesetiaan sumpah bersama; “Haram menyarah, manang terbilang, kalah hilang”.

Baca Juga :  Orangnya Basah Tak Masalah, Asal Jangan Korannya

“Panglima Batur, istrinya Samayap, dan anaknya Tuwes yang masih berumur 13 tahun bergabung dengan Sultan Muhammad Seman di Benteng Baras Kuning, Sungai Manawing. Panglima memimpin para pejuang membangun dan mempertahankan benteng yang dikenal sebagai Tanah Pagustian itu,” ulas Iqbal.

Lebih lanjut dikatakannya, Panglima Batur yang telah banyak membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman, akhirnya mendapat kepercayaan menjadi pembantu utama sultan. Sultan Muhammad Seman jug sangat memercayai kemampuan kepemimpinan sang panglima.

Karena kemampuan, keterampilan, dan pengabdiannya, Batur diangkat menjadi panglima sekaligus tangan kanan Sultan Muhammad Seman, sebagaimana Temanggung Surapati yang diangkat menjadi tangan kanannya Pangeran Antasari, karena telah membuktikan pengabdian, keterampilan, dan tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas yang diemban. (bersambung/ce/ala)

 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/